Tag: satu

Muhammad Kadafi, SH., MH

No Comments

Rektor Universitas Malahayati

Melatih dan Mengembangkan Jiwa Leadership Serta Entrepreneurship Mahasiswa

Seorang pengusaha atau entrepreneur harus memiliki dua karakter yang membedakannya dari orang-orang biasa. Kedua karakter tersebut membuat pola dan cara berpikir pengusaha dalam menilai perkembangan di sekelilingnya menjadi berbeda. Perbedaan itulah yang membuat seorang entrepreneur selalu memperoleh keuntungan yang menjadikan mereka sebagai orang sukses dan terpandang.

Kedua karakter tersebut harus dimiliki oleh orang-orang yang bercita-cita menjadi entrepreneur. Sifat atau karakter yang harus dimiliki entrepreneur tersebut tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus melalui pembelajaran dan pelatihan yang berkesinambungan. Kedua karakter tersebut yaitu; pertama kreatif (creative) adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang (thinking new things). Kedua inovatif (innovative) adalah kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang (doing new things).

“Sebagai seorang pendidik saya mengajarkan mahasiswa untuk senantiasa melatih dan mengembangkan jiwa entrepreneur dan leadership mereka dengan aktif mengikuti pelatihan, training, seminar, dan symposium yang berkenaan dengan pengembangan diri. Selain itu, saya mewajibkan kepada seluruh mahasiswa untuk mengikuti dan berperan aktif dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada di universitas ini tanpa menomorduakan kuliah atau belajar mereka. Dengan begitu saya yakin mahasiswa akan memiliki jiwa kepemimpinan yang baik dan secara tidak langsung jiwa entrepreneur juga terbentuk,” kata Muhammad Kadafi, SH., MH., Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung.

Menurut Kadafi, pendidikan berorientasi entrepreneurship mutlak dibutuhkan pada saat ini. Mengingat semakin sempit dan susahnya lapangan kerja akhir-akhir ini Dengan berwawasan entrepreneur seorang mahasiswa akan lebih siap menghadapi pasar kerja dibandingkan mereka yang tidak memiliki jiwa entrepreneurship. Sesorang yang memiliki jiwa entrepreneur senantiasa mendayagunakan semua kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. “Hebatnya, orang-orang seperti ini tidak pernah menggantungkan tujuan hidupnya tersebut kepada orang lain. Berfikir kreatif dan inovatif menjadi modal dasar dari seorang entrepreneur,” tegas pemuda kelahiran Aceh Besar, 8 Oktober 1983 ini.

”World Class University”

Dalam usia masih sangat muda, Muhammad Kadafi, SH., MH, telah memiliki pengalaman matang di dunia pendidikan. Berawal dari memegang jabatan kecil di universitas, perlahan naik menjadi Rektor Universitas Malahayati. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan di salah satu universitas swasta terkemuka di Aceh.

Sebagai pengajar, banyak pengalaman yang telah dialami Kadafi. Ia memiliki dedikasi, profesionalisme dan kredibilitas sebagai dosen dalam menciptakan lulusan berkualitas mumpuni. Meskipun mengajar dengan honor kecil dan tuntutan kerja serta tinggi, semua dijalani sebagai pengalaman berharga yang sangat berkesan mendalam.

“Dalam hidup ini, saya memiliki obsesi yang masih melekat di benak saya, yakni untuk membuat Universitas Malahayati menjadi ‘World Class University’ dalam waktu dekat. Untuk mewujudkan ‘World Class Univesity’ ada tiga standar yang harus dicapai, yaitu;
 Keberhasilan dalam merekrut SDM terbaik seperti dosen, staf, karyawan dan mahasiswa,
 Kemampuan universitas dalam mengelola dan menghimpun dana dengan sukses,
 Manajemen universitas yang baik yang dilakukan secara profesional, efektif dan efisien.
Sehingga SDM yang dimiliki mampu dimanfaatkan untuk pelayanan pendidikan yang terbaik,” imbuhnya.

Kadafi mengungkapkan tingginya persaingan di bidang pendidikan tidak bisa dielakkan oleh penyelenggara pendidikan. Namun, persaingan membuat semua pihak yang berkutat di dalamnya berusaha untuk meningkatkan kualitas masing-masing. Sebagai pengelola perguruan tinggi swasta, ia sadar bahwa tanpa peningkatan mutu, kualitas pembelajaran serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, universitas swasta akan kehilangan mahasiswa. Mahasiswa yang belajar di universitas atau perguruan tinggi swasta pasti memiliki tujuan yang sama yaitu memilih universitas favorit, berkualitas, lengkap dengan sarana dan prasarana, berskala internasional dan memiliki prospek kerja yang jelas setelah lulus.

“Untuk itu kami setiap waktu selalu memperbaiki kekurangan yang ada seperti sarana dan prasarana kampus, lab, ruang belajar, sarana olahraga dan kemahasiswaan. Disamping itu pula perbaikan dibidang pelayanan dan mutu kualitas pendidikan makin hari makin ditingkatkan. Selain itu juga kami sedang mempersiapkan untuk ‘world class university’ dan sudah barang tentu kerjasama dengan universitas luar negeri dibutuhkan dalam hal ini,” ujar Vice Director RS. Bintang Amin Husada tersebut.

Dalam menjaring mahasiswa, Kadafi menyadari pentingnya iklan atau promosi di media masa. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bentuk pelayanan universitas kepada masyarakat yang masuk dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Aspek-aspek dari praktek Tri Darma Perguruan Tinggi menjadi sarana efektif untuk sosialisasi tentang kualitas, kredibilitas dan eksistensi perguruan tinggi. Program pelayanan terhadap masyarakat secara langsung misalnya, pengadaan acara-acara publik di Universitas Malahayati, pengadaan lomba, seminar, loka karya dan konferensi baik tingkat pelajar maupun mahasiswa yang menjadi agenda rutin kampus.

Menurut Ketua Yayasan Abulyatama Aceh ini, pendidik bukan sekadar pengajar melainkan mendidik para peserta didik (siswa, mahasiswa) agar “menjadi manusia”. Tugas mengajar yang dilakukan seorang pengajar tidak boleh terlepas dari tugas mendidik. Tentu saja, terdapat bahaya yang besar bila kegiatan mengajar yang dilakukan pengajar terlepas dari tugas mendidik terhadap para siswa. Secara ideal, diharapkan tugas mengajar yang dilakukan guru harus menyatu dengan tugas mendidik.

Mengajar, lanjutnya, dalam arti sempit cenderung memiliki konotasi kegiatan teknis, yaitu menyampaikan pengetahuan yang dimiliki guru kepada para siswa. Begitupun metode mengajar, cenderung memiliki konotasi teknis, yaitu cara-cara yang efektif untuk menyampaikan pengetahuan dari guru ke siswa. Sedangkan mendidik cenderung memiliki arti yang luas dan lebih mendalam, yaitu sebagai kegiatan mengembangkan potensi manusiawi yang hidup dalam diri setiap siswa yang harus dapat berkembang secara utuh dan optimal.

Kecenderungan dalam mendidik, jelas Kadafi, adalah berkaitan dengan pengembangan kepribadian. Mendidik berarti mengembangkan moralitas kejujuran, semangat kerja keras, kemandirian, kreativitas, ketabahan hati dalam menghadapi permasalahan peserta didik. Mereka juga dididik dan ditempa untuk tidak mudah putus asa, menghargai pekerjaan, toleransi dan kerjasama dengan orang lain, berpikir logis dan kritis, kerendahan hati dan kasih sayang.

“Ungkapan: ‘dalam mengajar guru harus tidak melupakan tugas mendidik’ memiliki makna yang dalam dan luas. Dalam mengajar guru jangan hanya bersifat teknis-mekanis, yaitu menyampaikan mata pelajaran saja. Tetapi lebih dari itu, guru harus berani menghidupkan ruh-ruh potensi manusiawi yang hidup dalam diri siswa, seperti kemandirian, kreativitas, moralitas kejujuran, semangat kerja keras, dan lain-lain,” tegas Direktur Kadafi Speed Shop ini.

Pemerintah Mendukung

Putra keempat dari enam bersaudara pasangan DR (HC) H. Rusli Bintang dan Dra. Rosnati Syech ini mengungkapkan besarnya peranan pemerintah dalam dunia pendidikan. Tidak hanya alokasi dana pendidikan dari APBN yang meningkat drastis menjadi 20 persen, tetapi pemerintah juga telah membuat regulasi, kebijakan dan program-program yang disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.

Regulasi pemerintah tentang minimal wajib pasca sarjana (S2) bagi pengajar atau dosen di perguruan tinggi memiliki dampak positif untuk peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan pemerintah yang dicanangkan oleh Mendiknas untuk mendorong PTS atau PTN berkelas dunia yang mengacu pada pasar bebas di era globalisasi. Pemerintah juga membuat program HIBAH kepada PTN maupun PTS dalam peningkatan sarana dan prasarana perkuliahan.

“Perlu kita ketahui bahwa mengacu pada peraturan pemerintah dalam otonomi pendidikan baik swasta maupun negeri, menjadi kebijakan perguruan tinggi swasta maupun negeri itu sendiri untuk mengelola dengan baik sistem maupun manajemen kurikulum pendidikan yang ada. Di sisi lain setiap perguruan tinggi dituntut untuk dapat mencapai standar pendidikan yang ditetapkan pemerintah,” ungkapnya.

Oleh karena itu, jelasnya, akan menjadi problem setiap perguruan tinggi negeri maupun swasta, di pusat maupun di daerah dalam pencapain standar tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu proses penyampaian informasi mengenai program-program pendidikan yang dapat memacu proses pendidikan agar ilmu pengetahuan dapat terserap dan diterima peserta didik dengan baik. “Untuk itu saya akan tetap berjuang serta mengabdikan diri, agar cita-cita bangsa Indonesia umumnya bisa terwujud demi kemajuan pendidikan di Indonesia yang semakin baik,” tambahnya.

Kadafi melihat belum maksimalnya kontribusi pendidikan tinggi dalam membangun Intellectual Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient bangsa Indonesia. Penyebabnya, pendidikan tinggi di Indonesia pada dasarnya mengacu pada peningkatan mutu dan kualitas peserta didik dalam hal intelektual, mental dan spiritual. Dalam pelaksanaannya, pendidikan di Indonesai hanya mengedepankan perkembangan kecerdasan Intelektual (IQ) semata dan seringkali melupakan pentingnya kecerdasan emosional serta spiritual.

“Perlu diketaui, tingkat kesuksesan seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh kecerdasan emosional. Sebagai contoh seorang yang kuat intelektualnya tetapi lemah emosional dan spiritualnya akan menjadi seorang yang otoriter. Contoh lain akan pentingnya Intellectual Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient adalah dalam pembentukan entrepreneur yang sejati. Seorang entrepreneur yang sejati akan menyeimbangkan ketiga unsur tersebut. Pada intinya ke depan pendidikan di Indonesia harus menyeimbangkan perkembangan ketiga unsur tersebut demi tercipta SDM yang berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi di kancah internasional,” tuturnya.

Minim Dukungan Politik

Sebagai penyelenggara pendidikan, Kadafi merasakan dunia pendidikan di Indonesia semakin berkembang. Selain dukungan dana 20 persen dana APBN untuk pendidikan, sejak lama pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar sembilan tahun. Program ini membuat tingkat pendidikan di Indonesia meningkat dan mampu menekan tingkat angka tenaga kerja yeng tidak memiliki keahlian dan pendidikan dasar. Namun, cukup disayangkan bahwa program-program yang dijalankan pemerintah menjadi tidak maksimal akibat adanya pihak atau oknum yang tidak bertanggung jawab. Contohnya, pendanaan untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) banyak mengalami korupsi dimana-mana.

“Untuk kebijakan politik yang berdampak langsung terhadap dunia pendidikan masih bisa dibilang minim. Terlihat dari system penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) dan honorer yang masih belum transparan hingga saat ini. Pemerintah seharusnya meninjau ulang terhadap kebijakan-kebijakan yang berkenaan langsung dengan system pendidikan yang ada, sebagai contoh tentang kurikulum yang diterapkan di Indonesia. Kurikulum dan segala kebijakan yang ada masih sebatas konseptual tapi belum aplikatif, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi yang aplikasinya masih mengedepankan konsep atau teori ketimbang aplikasi teori tersebut,” tuturnya.

Menurut Kadafi, Indonesia membutuhkan pendidikan yang sanggup melahirkan generasi yang siap menjalin pengetahuan berbasis integritas, mengejar pengetahuan untuk kemajuan bangsa dan mengembangkannya pengetahuan tersebut untuk bangsanya sendiri. Langkah awal yang harus ditempuh adalah menekankan pendidikan tiga tahun sesudah sekolah dasar untuk kewarganegaraan, pembentukan karakter, dan kehidupan bersama dalam masyarakat.

“Seperti yang diterapkan Jepang, sehingga ketika siswa memasuki jenjang menengah atas dan Perguruan Tinggi, siswa memiliki rasa cinta, berkarakter dan perilaku yang bertujuan untuk kemajuan bangsa. Untuk itu diperlukan kondisi ekonomi, politik, hukum, dan keamanan sangat berpengaruh terhadap jalannya proses pendidikan. Kondisi ekonomi yang stabil, politik yang santun, tertib dan elegan, supremasi hukum yang tegak dan tidak memihak akan menciptakan keamanan masyarakat. Pada akhirnya akan berdampak pada sektor pedidikan yang berkualitas,” tuturnya.

Secara berkelakar, Kadafi berandai-andai menjadi Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Seandainya menjabat Mendiknas, ia akan menyarankan kepada petinggi eksekutif dan legislatif agar alokasi anggaran APBN untuk pendidikan tidak hanya 20 persen, jika memungkinkan 50 persen bahkan kalau bisa lebih. Karena pendidikan harus menjadi prioritas utama dengan anggaran yg besar. Ia yakin, dengan anggaran sebesar itu, semua program pendidikan akan terealisasi. “Seperti yang pernah terjadi di Uzbeckistan. Hanya dalam satu dasawarsa jumlah sarjana yang dihasilkan di negara tersebut melebihi Perancis. Hebat,” ujarnya sembari tertawa.

Meskipun dalam kondisi pendidikan seperti sekarang, Kadafi tetap yakin bahwa generasi muda akan mampu melanjutkan ‘tongkat estafet’ kepemimpinan bangsa. Keyakinan tersebut dilandasi adanya keinginan pemerintah untuk memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia yang semakin intensif dilakukan. Semua itu dilakukan untuk menyiapkan kualitas generasi muda sebagai tulang punggung negara yang akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bangsa di masa mendatang.

“Kalau pemudanya berkualitas maka berkualitas juga negara tersebut dan kalau pemudanya tidak berkualitas maka nasib negara tersebut pasti akan mengalami kemunduran. Dalam hal ini kita harus optimis bahwa pemuda sekarang sebagai generasi penerus bangsa akan mampu menjawab tantangan zaman. Untuk itu kita harus mempersiapkan mereka dengan kualitas pendidikan yang baik agar kelak mampu meneruskan tongkat estafet kepemimpinan ini di masa yang akan datang,” kata Muhammad Kadafi, SH, MH.
Sekilas Universitas Malahayati

Latar belakang pendirian Universitas Malahayati dimulai saat Rusli Bintang, putra sulung pasangan Bintang Amin dan Halimah yang lahir pada hari Jum’at 28 April 1950. Beliau dikenal sebagai seorang usahawan yang cukup sukses, selain itu juga dikenal sebagai pendiri Yayasan dan Universitas Abulyatama Aceh.

Beliau adalah figur seorang anak yatim yang sukses dalam mengarungi kehidupannya. Sukses yang dicapai tersebut dibangun dari kerja keras dan tekat pantang menyerah. Sukses yang diraihnya sama sekali tidak membuat beliau takabur, tinggi hati dan lupa terhadap sesamanya.

Salah satu wujud kepedulian H. Rusli Bintang terhadap sesamanya adalah peran aktif di dunia pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Sangat disadari oleh beliau bahwa pendidikan saat ini sangat diperlukan oleh masyarakat sebagai salah satu sarana pengembangan diri agar kelak mereka mampu mempertahankan hidup dan pengembangan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Niat baik inilah yang mendorong beliau untuk mendirikan Yayasan Alih Teknologi (ALTEK) dan Universitas Malahayati di Bandar Lampung.

Yayasan ALTEK Bandar Lampung berdiri tanggal 20 Juni 1992 yang tertuang dalam Akte Notaris Nomor 114 tahun 1994. Didirikan dengan tujuan umum untuk mengembangkan dan mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi melalui jalur pendidikan tinggi.

Adapun tujuan khusus yang hendak diwujudkan oleh Yayasan ALTEK adalah:
 Membina, mengembangkan, dan menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri, bertanggung jawab, dan dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional
 Membina, mengembangkan, dan menghasilkan para pendidik dan karyawan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berkualitas, mandiri, bertanggungjawab dan dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional

Sebagai tindak lanjut untuk mewujudkan tujuan umum dan tujuan khusus, Yayasan ALTEK mendirikan suatu perguruan tinggi yang diberi nama UNIVERSITAS MALAHAYATI. Universitas Malahayati didirikan berdasarkan SK. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Rl No.02/D/0/1994 tanggal 28 Januari 1994.

Nama Malahayati diambil dari nama seorang panglima perang wanita berasal dari Aceh, yaitu Laksamana Malahayati. Malahayati merupakan figur seorang wanita Aceh yang cerdas, memiliki semangat juang tinggi, berani, tegas, ulet, tangguh, dan bertanggung jawab, yang senantiasa dilandasi oleh sinar keimanan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran Islam. Atas keperwiraannya itu Laksamana Malahayati dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.

Untuk menghormati dan melanjutkan semangat juang Malahayati tersebut Perguruan Tinggi ini diberi nama Universitas Malahayati yang bertekat bulat untuk ikut serta secara nyata dalam pembangunan nasional bersama-sama, seiring dan sejalan dengan perguruan tinggi lain yang lebih awal hadir di Provinsi Lampung. Sebagai kiprah awal Universitas Malahayati, pada tahun ajaran 1994/1995 dibuka tiga fakultas pelopor dan satu akademi. Ketiga fakultas tersebut adalah:
1. Fakultas Kedokteran
2. Fakultas Teknik dengan empat jurusan: Teknik Mesin, Teknik Sipil, Teknik Manajemen Industri, dan Teknik Lingkungan
3. Fakultas Ekonomi dengan dua jurusan: Akuntansi dan Manajemen, sedangkan akademi yang dibuka adalah Akademi Keperawatan

Pada tahun 2002 didirikan Fakultas Kesehatan Masyarakat berdasarkan SK Dikti: No.137/D/T/2002, dan pada tahun 2004, sesuai dengan surat izin No. 44/0/D/T/2004 DIKTI tanggal 12 November 2004, Universitas Malahayati membuka Program Studi Keperawatan Strata Satu (S-1) yang ditempatkan di bawah Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.

Pengadaan fakultas-fakultas itu melalui pertimbangan rasional yang matang, seperti pengadaan Fakultas-fakultas Bidang llmu Kesehatan dilakukan dengan pertimbangan antara lain untuk mengantisipasi dan memenuhi tenaga dokter dan para medis yang saat ini masih dirasakan kurang, pengadaan Fakultas Teknik tiada lain untuk mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang teknologi canggih, sementara pengadaan Fakultas Ekonomi tiada lain untuk mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang Akutansi dan Manajemen yang mampu menciptakan serta memperluas lapangan pekerjaan.

Yayasan ALTEK juga menyediakan beasiswa bagi calon mahasiswa dan mahasiswa Universitas Malahayati yang berprestasi dan berpotensi yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ada pun program ini bertujuan untuk:

 Ikut serta membantu memecahkan masalah-masalah yang ada di lingkungan masyarakat sesuai dengan kapasitas yang dimiliki
 Mengupayakan program penempatan kerja bagi peserta didik

Tujuan Universitas Malahayati adalah:
 Membentuk manusia Indonesia seutuhnya, senat jasmani dan rohani, memiliki
 pengetahuan dan keterampilan, kreatit dan bertanggung jawab, beriman dan bertaqwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, serta berjiwa Pancasila
 Mengembangkan dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dalam bidang-bidang Kedokteran, Ilmu-ilmu Sosial, llmu-iimu Alam, Teknologi dan seni
 Menyiapkan sarjana yang Pancasilais, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berpengetahuan luas dan bertanggung jawab untuk mengabdi, kepada bangsa, negara dan agama

Universitas Malahayati, sejak tahun Akademik 1996/1997 telah memiliki dan menernpati kampus sendiri yang terletak di atas perbukitan yang sejuk, nyaman dengan pemandangan yang indah ke arah Ibu Kota Provinsi. Lingkungan yang asri ini sangat mendukung proses belajar dan mengajar

Visi – misi Universitas Malahayati
 Untuk menciptakan manusia yang sehat, dengan pikiran sehat dan tubuh. Dikaruniai dengan pengetahuan, kreativitas dan keterampilan. Menanamkan dengan nilai-nilai tanggung jawab, iman dan kepercayaan yang lebih besar
 Untuk mengembangkan dan menyebarkan pengetahuan ilmiah di bidang kedokteran,ilmu sosial dan lingkungan serta seni dan teknologi
 Untuk mempersiapkan lulusan yang memiliki iman dan keyakinan yang kuat dengan pengetahuan yang luas, sehingga mereka akan berguna masyarakat bangsa dan agama

Program-program yang ada di Universitas Malahayati antara lain yaitu:
 Beasiswa untuk anak yatim piatu
 Santunan tehadap anak yatim yang diadakan setiap 2 kali dalam sebulan dan pada acara-acara yang diadakan oleh universitas malahayati.
 Program wajib asrama bagi seluruh mahasiswa/i Universitas Malahayati
 Program wajib mengikuti English for matriculation
 Progam pertukaran pelajar ke luar negeri
 Program beasiswa bagi dosen Universitas Malahayati
 Program standarisasi penjamin mutu bagi staf dan dosen dilingkungan Universitas Malahayati
 Program kunjungan belajar baik dosen maupun mahasiwa keluar negeri (comparative study program)
 Program kejasama dengan universitas luar negeri dalam bidang science dan research

Biodata Singkat:

Nama : Muhammad Kadafi
Tempat dan tanggal lahir: Aceh Besar, 8 Oktober 1983
Nama orang tua:
Ayah DR (HC) H. Rusli Bintang
Ibu Dra. Rosnati Syech
Anak ke-4 dari 6 Bersaudara

Pendidikan:

 2010 – hingga sekarang, Universitas Diponegoro, program doktor ilmu hukum.
 2007 – 2009 Lampung University, Lampung Law Masters
 2002 – 2006 Lampung University, Lampung
 Majoring: S1, Law/the best graduates of law faculty
 1998- 2001 Senior High School at SMA Negeri 9 Bandar Lampung
 1995 – 1998 Junior High School at SMP Negeri 1 Banda Aceh
 1989 – 1995 Elementary School at Madrasah Ibtidaiyah Negeri I Banda Aceh

 

Drs. Hadi Sutjipto, MT

No Comments

SMK Negeri 2 Salatiga

Mengembangkan Konsep Kebersamaan dan Keterbukaan Dalam Mengelola Sekolah

Setelah Timor Leste lepas dari Indonesia pasca jajak pandapat tahun 1999, Drs. Hadi Sutjipto, MT kembali ke Indonesia. Sepuluh tahun berkarier sebagai guru STM Dili harus ditinggalkan dan dipindahkan ke SMK Negeri 2 Salatiga. Saat itu, sekolah belum memiliki gedung dan terpaksa menumpang di SMEA.

Perlahan-lahan SMK Negeri 2 Salatiga membangun gedung sendiri. Saat Drs. Reza Pahlevi ditunjuk sebagai Kepala Sekolah pertama, Hadi menjadi staf pengajar. Setelah sempat ditunjuk oleh rekan-rekannya untuk menjadi Ketua Jurusan Teknik Bangunan, pada bulan November 2009 ia diangkat sebagai Kepala Sekolah SMK Negeri 2 Salatiga.

 Di bawah pimpinannya, SMKN 2 Salatiga terus berbenah. Sebagai “orang dalam” ia tahu persis kelebihan dan kekurangannya. Langkah yang dilakukannya adalah dengan meningkatkan kelebihan serta menutup kelemahan yang terdapat di sekolah. Upayanya mendapat dukungan penuh dari seluruh jajaran staf pengajar dan karyawan yang memiliki satu visi dalam memajukan SMK Negeri 2 Salatiga.

Yang kami terapkan adalah memperbaiki pola yang pernah dikelola beliau, yakni konsep kebersamaan dan keterbukaan. Kami tidak pernah menganggap ada saingan atau duri, seluruh staf dan karyawan adalah teman-teman kerja sehingga barangkali inilah yang mendidik saya menjadi semakin dewasa. Mungkin sebelum menjadi Kepala Sekolah saya belum dewasa, tetapi Alhamdulilah seperti inilah yang kami lakukan,” katanya.

Untuk meneruskan program kelembagaan, sejak menjabat Kepala SMK N 2 Salatiga prestasi SMK N 2 semakin meningkat dengan bukti diantaranya mampu meraih Juara 1 tingkat provinsi pada LKS di kota Tegal untuk 3 mata Lomba ( Cabinet Making, Joinery, dan Industrial Control), Juara 2 OSTN tingkat Nasional untuk Mata Lomba ICT. Sedangkan pencapaian nilai rata;rata UN untuk tahun 2010/2011 merupakan tertinggi selama 10 tahun meluluskan.

 Bagi Hadi, semua prestasi tersebut berkat kerja keras, perjuangan dan kepercayaan seluruh staf pengajar. Di sisi lain, staf pengajar yang merasa mendapat kepercayaan dari pimpinannya dan “dibiarkan” melakukan berbagai inovasi semakin terpacu berkat kebijakan tersebut. Hasilnya segera terlihat, SMKN 2 Salatiga tetapmenduduki peringkat satu di Salatiga dan naik ke peringkat 9 untuk provinsi Jawa Tengah.

 Untuk saat ini, SMK Negeri 2 Salatiga memiliki delapan program dengan 1468 siswa. Program-program tersebut adalah pertama Teknik Bangunan meliputi teknik gambar bangunan, teknik konstruksi bangunan dan teknik konstruksi kayu. Kedua TeknikElektronika yang terdiri atas elektronika industri dan teknikaudio video, ketiga mesin adalah teknikpermesinan dan teknikmekanik otomotif. Untukteknik informatika adalah program teknik komputer dan jaringan.

Target kami, tahun 2013 jumlah siswa akan mendekatiantara 1500 s.d 2000. Karena kami menargetkan bahwa SMKN 2 Salatiga akan menjadi sekolah yang besar, baik dari sisi jumlah, kuantitas maupun kualitas. Mudah-mudahan kita menjadi Sekolah Bertaraf Internasional atau SBIyang sesungguhnya,” katanya.

Untuk mencapainya, Hadi sudah menetapkan program jangka pendek, menengah dan panjang. Dalam jangka pendek, ia melakukan pembenahan masalah yang berhubungan langsung dengan masa depan anak. Misalnya dengan menyalurkan lulusan yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi pada perusahaan-perusahaan yang sesuai. Langkah tersebut terbukti pada tahun 2010-2011 sebanyak 35 persen siswa kelas III sudah diterima bekerja sebelum lulus.

 “Berkat prestasi tersebut, dalam dua tahun belakangan saat PSB kami menolak banyak siswa. Memang ada program-program tertentu yang menjadi idola tetapi ada juga program yang kurang diminati. Akan tetapi berkat perjuangan teman-teman, peminat sekolah ini cukup banyak sehingga kami ‘bisa’ memilih-lah. Yang jelas kami memiliki komitmen untuk menjadi yang terbaik dan dengan memiliki SDM yang mumpuni target kami akan tercapai,” ujarnya.

Untuk membentuk staf pengajar mumpuni, Hadi menggunakan unsur kepercayaan. Dengan memberikan kepercayaan kepada staf-stafnya, mereka akan bekerja dengan sungguh-sungguh. Berkat kepercayaan mereka akan enjoy dan bekerja dengan seluruh kemampuan yang dimiliki. Kondisi tersebut akan sangat berbeda kalau staf selalu diawasi, dikontrol dan lain-lain. “Kami memberikan kepercayaan untuk improvisasi tetapi koordinasi tetap sehingga nyambung. Ini mungkin yang membuat akselerasi setiap SDM mengeksploitasi kemampuannya secara maksimal,” imbuhnya.

Hadi bersyukur perhatian pemerintah terhadap SMK Negeri 2 Salatiga yang dipimpinnya cukup besar. Dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, bantuan pemerintah kota -provinsi maupun pusat- baik dalam bentuk fisik maupun non fisik terus mengalir. Pemkot Salatiga sendiri sangat membantu dan saat ini meminta untuk membuat proposal pembangunan gedung serbaguna senilai Rp1,5 miliar.

Ke depan, Hadi berharap agar pemerintah tidak menghentikan bantuannya demi kemajuan sekolah. Meskipun demikian, sebagai pengelola sekolah ia bertanggung jawab atas bantuan yang diterima dan berusaha menjadi yang terbaik sebagai bentuk pertanggungjawaban. “Intinya kami ingin bahwa pemerintah betul-betul lega dan percaya, bahwa mereka tidak salah membantu SMK N 2 Salatiga. Saya ingin menunjukkan bahwa SMKN2 berhasil dan layak dipercaya,” tambahnya.

Dengan bantuan pemerintah, kelengkapan SMK Negeri 2 Salatiga terus berkembang. Meskipun sekarang sudah melebih sekolah lain, namun Hadi telah merancang program untuk pengembangan sekolah dua atau tiga tahun ke depan. Salah satunya adalah setiap kelas pada tahun ini telahharus menggunakan IT sehingga penggunaan kertas dalam ulangan kedepan ulangan umum tidak menggun akan kertas lagi.

Semua serba computerize. Sekarang sebenarnya sudah tetapi kami terus sempurnakan. Selain itu, kami harus membimbing anak-anak agar soft skill mereka sesuai dengan kebutuhan industri. Jangan sampai kami mendidik anak tetapi ternyata skill mereka tidak sesuai dengan industri. Karena tujuan kami industri, ya kami belajar bagaimana bentuk-bentukseluk-beluk yang dibutuhkan industri,” ungkapnya.

Attitude dan Disiplin

Kemajuan pesat yang ditunjukkan SMK Negeri 2 Salatiga ternyata menarik perhatian dunia industri. Banyak perusahaan yang “berani” merekrut siswa SMK Negeri 2 Salatiga saat mereka bahkan belum lulus. Beberapa perusahaan lebih ekstrim lagi denganbahkanmengadakan kerjasama yang bersifat lebih khusus. Yang paling menonjol adalah PT Astra Daihatsu Motor (ADM), lewat implementatif kurikulum dan soft skillnya. Kemudian PT SIS yang mengembangkan class industry dengan membangun satu kelas di sini dengan alat-alat difasilitasi perusahaan tersebut.

Saya penasaran kenapa perusahaan-perusahaan tersebut memilih SMK Negeri 2 Salatiga. Ternyata sikap kita yang “nguwongke” serta kharisma SMK Negeri 2 Salatiga menarik mereka ke sini. Selain itu, ternyata anak-anak kami memiliki karakter yang dibutuhkan perusahaan. Kami sendiri menerapkan selection ratedisiplin tata tertibyang sangat tinggi sehingga ketika anak-anak sudah bergabung di perusahaan-perusahaan, attitude dan disiplinnya lebih tinggi dari alumni sekolah lain. itulah kenapa perusahaan-perusahaan memilih ke sini,” tuturnya.

Menurut Hadi, sejak sekolah berdiri sudah terjalin keinginan untuk mengubah image. Sesuai program Kemendiknas, dari “STM yang tawur menjadi SMK yang bisa” dan menggandeng CSR perusahaan otomotif, PT Astra Internasional SMKN 2 Salatiga terus berkembang. Di sinilah era penggemblengan para siswa SMKN 2 Salatiga menuju dunia industri. Utamanya bagi mereka yang tidak ingin melanjutkan pendidikan.

Kita memberikan didikan kepada siswa yang mengarah pada dunia industri, bukan melanjutkan pendidikan, maupun mampu berwirausaha. Mereka siap bekerja dan kami usahakan bekerja sesuai bidangnya di industri yang besar sehingga kesejahteraan mereka terjamin. Kami kan tidak ingin mereka memiliki masa depan mereka suram. Keinginan kami mereka maju melebihi para guru. Kami memberikan treatment kepada anak-anak agar mereka menunjukkan bahwa merekalah yang terbaik,” ujarnya.

Sejak itu, nama SMKN 2 Salatiga harum dan terkenal di mana-mana. Hasil gemblengannya ternyata membuahkan anak-anak yang unggul dalam segi etika, norma dan disiplin dibandingkan dengan alumni sekolah lain. Tentu saja dengan kualifikasi dan skill yang ditunjukkan alumni SMKN 2 Salatiga sangat menarik bagi dunia industri untuk merekutnya. Akhirnya perwakilan dari beberapa perusahaan mencari alumni SMKN 2 Salatiga untuk dipekerjakan di perusahaan masing-masing.

Kami punya BKK yang bekerjasama dengan beberapa industri untuk mengadakan rekruitmen di SMK N 2 Salatiga. Kadang industri tertentu peminatnya sampai 900 orang, dan kami juga melibatkan BKK sekolah lain yang selalu berkomunikasi untuk bisa bersaing dalam rekruitmen di tempat kami. Intinya dengan kerjasama BKK kami dengan industri, sangat membantu alumni kami“, ungkapnya.

Dengan kondisi yang dicapai tersebut, Hadi merasa mendapat tantangan yang sangat berat untuk mempertahankan image tersebut. Berkaca dari bangsa ini yang mudah mencetak juara namun sangat sulit untuk mempertahankannya. Baginya, inilah PR yang harus dikerjakan dengan selalu berupaya agar anak-anak didiknya tidak jenuh, bekerja dengan senang, bermotivasi tinggi dan lain-lain.

Kamiharus mampukesulitan untuk mempertahankan prestasi. Mungkin untuk sekadar meningkatkan masih gampang. TetapiKarenasekolah lain pun berlomba dan berjuang untuk bisa sepertimelebihikami. Meskipun demikian kami tetap membuka kesempatan sekolah lain untuk belajar agar seperti kami,” ujarnya.

Sebisa mungkin, Hadi mencegah terulangnya hubungan antara Indonesia dan Malaysia di masa lalu pada sekolahnya. Yakni Malaysia yang dahulu mengirimkan mahasiswa untuk belajar di Indonesia sekarang kondisinya berbalik. Bangsa Indonesia yang harus datang ke Malaysia untuk belajar kepada orang-orang yang dahulu dibinanya. Semua itu disebabkan karena bangsa Indonesia tidak bisa mempertahankan prestasi yang telah berhasil diraihnya.

Itu yang kami jaga agar sekolahkami tidak malah disalip oleh sekolah yang belajar pada kami. Prinsip kami, sekolah harus berbeda dengan sekolah lain, slogannya yang penting kita buktikan, kita bicara dengan fakta. Seperti kita bisa buat mobil sendiri, sehingga Direktorat Pendidikan sudah tahuPSMK tahu, akhirnya kami dipercaya untuk merakit mobil nasional SMK” ungkapnya,

Pembuatan mobil, lanjutnya, dilakukan setelah mendapat bantuan mesin mobil Daihatsu Terios dari AstraADM. Mesin tersebut kemudian dibuatkan body mobil mewahala Roll Royce, yang dibuat selama empat bulan secara handmade. Biaya pembuatan body mobil mencapai Rp57 juta dengan stir kiri bergaya Amerika. “Kami dipercaya oleh Direktorat untuk tidak sekadar merakit tetapi membuat. Kami memimpin 22 SMK untuk merakit mobil nasional SMK, mungkin nanti dari satu mobnas SMK ini, lima atau sepuluh tahun ke depan akan mampu menjadi mobil nasional sungguhan,” imbuhnya.

Workshop dan Training

Untuk mencetak tenaga-tenaga siap pakai alumni SMK Negeri 2 Salatiga diperlukan guru-guru yang mumpuni. Karena dari guru, para siswa memperoleh ilmu untuk diterapkan di dunia industri nantinya. Pengalaman dan pengetahuan guru menjadi sangat mutlak untuk ditingkatkan mengingat percepatan perkembangan dunia industri juga sangat tajam. Terutama menyangkut teknologi yang terus mengalami peningkatan dengan cepat.

Penyegaran, itu kuncinya. Kami selalu mengadakan penyegaran dalam bentuk in house training maupun workshop untuk meningkatkan keterampilan para guru. Kami adakan up date setiap tahun agar kurikulum dan guru-guru kami tidak ketinggalan. Itu langkah kami agar tidak ketinggalan dengan sekolah yang tadinya berguru kepada kami. Begitu juga dengan guru-guru yang ingin melanjutkan pendidikan S2 juga kita dorong,” tuturnya.

Menurut Hadi, sepuluh persen guru SMK Negeri 2 Salatiga sudah memiliki gelar S2. Program training sertifikasi guru-guru pun dilakukan pihak sekolah bekerjasama dengan lembaga pelatihan guru di Malang dan lain-lain. Bahkan sertifikasi kompetensi dari lembaga lain pun pihaknya mendorong agar pendidik mengikutinya. Keuntungan pribadi bagi guru dengan adanya program tersebut cukup banyak seperti diundang sebagai assessor ke mana-mana.

Sebenarnya untuk mengambil program S2 banyak guru-guru yang sudah sepuh malas. Karena mungkin untuk pendapatan sudah cukupmerasa sudah tua dan sudah tidak mampu, jadi tidak memerlukan hal-hal seperti itu. Tetapi saya tetap mendorong dengan berbagai cara agar mereka meningkatkan kompetensinya. Sekarang sudah mulai memiliki kesadaran untuk maju karena sebenarnya tidak ada yang tidak bisa, kalau kita tekuni. Orang kasat mata kok,” tandasnya.

Dalam mengatur SMK Negeri 2 Salatiga dengan 160 gurudan karyawan, Hadi menggunakan manajemen kolektif dengan menerapkan keterbukaan dan kebersamaan. Bukan one man power tetapi kolektif, di mana Kepala Sekolah mengarahkan dan akan dilepaskan begitu program berjalan untuk mencari inovasi baru. Kepercayaan dari Kepala Sekolah itulah yang akan menjadi sumber semangat dari seluruh guru.

Biasanya yang miss itu bukan masalah uang, tetapi informasi. Jadi yang terpenting adalah komunikasi supaya informasi itu nyambung dan tidak mbulet. Untuk itu, pada minggu ke-IV setiap bulan kami mengadakanmeetingstaff. Dan per unit juga mengadakan meeting untuk dilaporkan hasil program yang disusun. Sebenarnya sederhana sekali kalau dilakukan dengan ikhlas,” katanya.

Semua program dan kebijakan yang diterapkan di SMK Negeri 2 Salatiga tidak lepas dari visi dan misi yang telah ditetapkan. Adapun visi dan misinya adalah sebagai berikut:

Visi

Menyiapkan tamatan yang mampu bersaing di era global dan berimtaq tinggi”

Misi

  1. Menyiapkan tamatan yang menguasai Iptek dan Imtaq

  2. Menyiapkan tamatan siap masuk kerja

  3. Menyiapkan tamatan yang mempunyai jiwa kewirausahaan

  4. Menyiapkan tamatan yang cerdas, jujur, dan bermoral

  5. Menyiapkan tamatan dengan kompetensi bertaraf internasional

  6. Menyelenggarakan sekolah dengan pelayanan bertaraf internasional

Untuk mengajari berwiraswasta, kami memberi modal dengan kewajiban mengembalikan lebih besar. Jadi,Siswa disinitidak hanya kami fasilitasi agar match dengan industri, dengan perguruan tinggi tetapi kami juga menerapkan pendidikan wirausaha. Agar lahir wirausaha mandiri di Salatiga, jangan sampai nanti pengusaha di Salatiga malah datang dari daerah lain,” katanya.

Kepada generasi muda, Drs. Hadi Sutjipto, MT berpesan agar mereka menjadi pejuang bukan pecundang. Pesan itulah yang selalu ditanamkannya kepada anak-anak didiknya. Ia menekankan bahwa untuk mencapai kesuksesan memerlukan perjuangan dan proses sehingga tidak bisa secepatnya diraih.

Tetapi raihlah kesuksesan itu dengan penuh perjuangan. Kalau kalian menjadi pejuang, pasti natinya akan sukses. Tetapi kalau sejak awal inginyang dibayangkansukses dahulu kalian akan menjadi pecundang. Kalah sebelum bertanding dan di tengah jalan akan menyerah. Berjuanglah untuk menjadi sukses, jangan berharap kesuksesan diraih dengan mudah,” tambahnya.

Hadi mencontohkan bagaimana sebelum menjadi Kepala Sekolah SMK Negeri 2 Salatiga, selama sepuluh tahun menjadi guru di Timor Timur. Ia juga pernah menjalani profesi sebagai tukang ojek,agar merasakan bagaimana sulitnya mencari uang. Selain itu, profesi sebagai kenek angkutan umum yang disambung menjadi sopir juga pernah dijalani. Tidak heran, ia bisa diterima di setiap kalangan, mulai preman, pejabat, ulama dan lain-lain.

Saya malu kalau difasilitasi, karena akan merasa “berutang budi”. Bagaimanapun sulitnya lebih baik atas usaha sendiri. Prinsip saya, “lebih baik menolong daripada ditolong”, kata Drs. Hadi Sutjipto, MT.

Dessy Arnas

No Comments

Runway Indonesia – Personality School

Mengajar Pengembangan Diri Sebagai Passion Kehidupan

Setelah menjalani rutinitas pekerjaan selama bertahun-tahun, adakalanya kejenuhan menghinggapi seseorang. Apalagi kalau selama menekuni pekerjaan dilakukan dengan penuh semangat, hingga lupa diri dalam bekerja dan tanpa terasa karier sudah tidak bisa meningkat lagi.

Kondisi seperti ini hanya bisa disikapi dengan menetapkan tiga pilihan. Pertama menyerah terhadap tuntutan pekerjaan sampai memasuki masa pensiun dan menikmati segala konsekuensinya. Kedua melepaskan diri dari seluruh aktivitas pekerjaan untuk menikmati istirahat. Sedangkan ketiga adalah menciptakan tantangan baru sehingga menumbuhkan semangat untuk terus berkembang.

“Saya merasa lelah setelah dua belas tahun bekerja pada sekolah pengembangan diri internasional. Setelah karier dirasa mentok, saya berpikir untuk berdiri sendiri. Apalagi saya ditegur Allah dengan sakit yang cukup keras karena bekerja terlalu ngoyo. Saya kemudian memutuskan untuk istirahat setelah selama bertahun-tahun agak lupa diri dalam bekerja,” kata Dessy Arnas, Runway Indonesia – Personality School.

Dessy kemudian mencari pekerjaan yang tidak terlalu menyita waktu seperti mengajar. Belajar dari pengalaman sebagai marketing yang hampir-hampir tidak memiliki waktu luang, ia mengajukan pengunduran diri dan bergabung di Runway Indonesia, April 2011. Perusahaan pengembangan diri internasional tempatnya bergabung selama 12 tahun pun ditinggalkan.

Sedangkan Runway Indonesia sendiri sebelumnya merupakan sekolah modeling dan acting sejak tahun 2007. Pendirinya Agung Saputra adalah pemilik sebuah management artis dan Nonny Chirilda yang memiliki management model. Keduanya sepakat mengembangkan sekolah yang mereka miliki menjadi personality school atau sekolah pengembangan diri, terbentuklah Runway Indonesia.

“Kemudian bergabunglah saya yang experience di sekolah pengembangan diri, personality. Di sini, saya tidak hanya sekadar mengajar yang sudah menjadi passion kehidupan saya. Tetapi saya juga membuat design program training, desain program kelas, nanti murid-muridnya bisa kita encourage agar dapat lebih mendapatkan sesuatu, begitu,” kata salah satu stakeholder Runway Indonesia ini.

Dessy telah menyusun program pengembangan diri di Runway Indonesia yang terbagi dalam tiga program, yakni program anak-anak, remaja dan dewasa. Bagi kelas dewasa diutamakan untuk mempelajari Self Improvement untuk meningkatkan kepercayaan diri. Kelas anak-anak bisa belajar percaya diri dan kemandirian sehingga terlepas dari ketergantungan pada ibunya, suster dan lain-lain. Sementara kelas remaja -masa transisi yang kritis dan harus diwaspadai- sehingga harus diberikan wawasan agar tidak melenceng, mampu mengatur diri sendiri, manajemen waktu dan lain-lain.

“Kalau bidang entertainment, seperti model dan artis, kemudian bidang karir, semua itu kita terus kembangkan. Karena sasaran kita memang untuk kalangan anak muda, seperti program karier bagi mahasiswa untuk menyiapkan diri dalam berkarier. Seperti bagaimana mereka ‘menjual dirinya’ saat melamar pekerjaan. Karena kebanyakan perusahaan ingin karyawan yang sudah jadi. Di sini, lama pendidikan hanya dua bulan atau 12-14 pertemuan saja,” katanya.

Terbiasa Hidup Mandiri

Perempuan kelahiran 12 Desember 1972 ini mengisahkan, ketertarikannya ke dunia kerja tidak lepas dari peran sang ibu –Hj Suharti- yang seorang wanita karier. Istri H Nasrun Ismail –ayah Dessy- ini bekerja sebagai Sekretaris Kepala Telkom dan sempat melakukan tugas mengepang rambut tiga anak perempuan, menyiapkan perlengkapan satu anak laki-laki serta kebutuhan suaminya.

“Ibu bahkan masih sempat menyasak rambut sendiri, menyetir mobil ke kantor sendiri dengan sepatu hak tinggi. Kayaknya enak banget ya menjadi wanita karier. Makanya sejak sekolah saya ikut sanggar dan kegiatan lain yang menghasilkan uang. Saya terbiasa hidup mandiri meskipun kedua orang tua secara finansial tidak kekurangan. Pada semester 6, saya ikut menjadi pramugari seasonal di Garuda saat musim haji,” katanya.

Ayahnya terusik melihat “keusilan” anak ketiganya ini. Dessy pun mendapat teguran untuk memilih salah satu dengan serius, melanjutkan kuliah atau bekerja mencari uang saja. Sebagai orang yang konsekwen atas pilihannya, Dessy pun kemudian bekerja. Saat usianya menjelang 22 tahun, ia bekerja di Surabaya dan memutuskan untuk menikah satu tahun kemudian.

Sayang, saat karier Dessy sudah bagus dan mapan, suaminya dipindah tugaskan ke Banda Aceh. Dengan perasaan campur aduk antara marah, kecewa dan lain-lain, karier yang sudah dibangunnya pun ditinggalkan begitu saja. Dengan kondisi seadanya, sebagai istri ia patuh terhadap suami. Selama lima tahun (1997-2002), Dessy menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.

“Setelah dipindahkan ke Jakarta, suami mengijinkan saya untuk kembali bekerja. Atas rekomendasi mantan atasan ditempat bekerja terdahulu, saya bekerja di cabang Jakarta perusahaan lama. Setelah lima tahun di Aceh, saya merasa seperti orang kampung. Saya sangat minder, tetapi mantan atasan saya selalu memotivasi. Dalam tiga minggu saya sudah dapat client dan bulan berikutnya sudah dapat client salah satu bank swasta terkemuka,” tuturnya.

Karier Dessy Arnas dengan cepat meroket. Hanya dalam waktu tiga tahun, ia diangkat sebagai General Manager di perusahaan tersebut. Ia menganggap perusahaan tempatnya bekerja tersebut merupakan sekolah kehidupan baginya. “Ini menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi saya untuk tetap survive hidup di Jakarta. Dan juga saya memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan karir imbuh ibu dari Rakha Aditya Afrizal dan Rania Adelia Afrizal ini.

Belajar dari perjalanan hidupnya, Dessy Arnas mengimbau generasi muda untuk tidak salah persepsi tentang emansipasi. Baginya, seorang perempuan tidak mungkin mampu mengalahkan seorang laki-laki. Bahkan dalam ajaran agama pun lelaki adalah imam, sehingga sebagai perempuan harus tunduk pada laki-laki. Perempuan-perempuan yang mempunyai potensi, seharusnya disalurkanlah ke tempat yang benar dalam waktu yang benar pula.

“Aturlah diri kita sebagai perempuan yang harus bisa berfungsi dan berguna buat orang lain. Tidak usah karier kantoran seperti sayalah, ibu rumah tangga juga sebuah karier yang sangat mulia. Saya sangat respek pada ibu rumah tangga karena saya sudah mengalaminya selama lima tahun, full time hanya dirumah” kisahnya.

Saat menjadi ibu rumah tangga, Dessy merasakan bagaimana sulitnya untuk sekadar membuat menu makanan harian. Menurutnya, perempuan boleh memiliki ambisi besar tetapi harus tetap pada porsinya dan tidak terlalu berlebihan. Ukuran yang digunakan adalah rumah tangganya sendiri, sehingga ketika berhasil mengorganisasi sebuah organisasi terkecil -yakni rumah tangga- pasti akan berhasil mengelola organisasi yang lebih besar.

“Pagar dan aturannya memang harus ada, mana yang porsi laki-laki mana yang porsi perempuan. Kalau ada yang tidak pas, kan ada kompromi yang bisa kita lakukan. Kalau sudah memutuskan berkarier, kita juga harus bertanggungjawab terhadap karier kita. Tetapi jangan melupakan tanggung jawab terhadap keluarga dan harus benar-benar bisa mempertanggungjawabkan keduanya,” imbuh pemilik motto “Never Stop to Learn” ini.

Setiap Orang Memiliki Kelebihan

Menurut Dessy, setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik. Pendidikan kepribadian membantu orang untuk meningkatkan nilai tambah sehingga dalam setiap kesempatan selalu terlihat lebih bernilai dan menonjol. Meskipun demikian, kebanyakan orang menganggap bahwa pendidikan kepribadian bukanlah sesuatu yang penting.

“Tidak belajar pun juga tidak apa-apa karena sudah ada dalam diri setiap orang. Biasanya orang malah khawatir, setelah mengikuti pendidikan di sini akan menjadi jaim dan lain-lain. Tetapi kami yakinkan bahwa kita hanya men-suggest dalam segala sesuatu. Tidak cantik atau tidak ganteng tidak apa-apa tetapi tetap percaya diri. Saya ingin menularkan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita berusaha membangkitkan self control yang baik sehingga kita bisa menampilkan citra positif serta potensi diri yang kita miliki,” tandas sarjana Marketing & Communication ini.

Dalam menyikapi persaingan bisnis, Dessy menanggapinya dengan wajar. Baginya, setiap institusi memiliki segmen berbeda-beda lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Di Runway Indonesia dengan konsep yang baru serta para pengajar yang memiliki visi sama, ia yakin akselerasinya pun lebih kencang.

“Saya bilang kepada staf, kalau kita lari sudah tidak bisa direm. Kalau jatuh itu wajar, harus segera bangun dan lari lagi.Terjatuh dan segala kendala lain merupakan hal yang biasa dan bagian dari sekolah saya. Karena semua itu terkait dengan proses yang akan terus berkembang seiring dengan pengalaman,” kata perempuan yang menganggap stafnya sebagai adik-adiknya sendiri ini. “Kalau menegur pasti dalam jam kerja, diluar itu tidak saya lakukan,” tambahnya.

Istri Hendri Afrizal, SE, MM ini berharap agar lembaga yang dikelolanya menjadi lebih besar dan memiliki beberapa cabang. Dengan memiliki cabang di tempat lain, ia mampu berbagi dengan orang yang ingin mengembangkan diri. Ia juga berharap agar program pengembangan diri ini bisa masuk ke sekolah-sekolah. Untuk itu, pemerintah harus memiliki program terkait bagaimana seorang anak belajar soft skill, mengelola stress dan kepercayaan diri.

“Bidang saya kan di pendidikan, saya ingin sekali agar bidang ini tidak ketinggalan. Kenapa bisnis seperti ini laku, karena kita ini kurang pede seperti bangsa lain di dunia ini. Padahal, rasa percaya diri itu bisa ditumbuhkan dan dimulai dari lingkungan terkecil, keluarga. Nilai-nilai yang bisa dieksplore ya harus dikeluarkan. Kita harus konsen terhadap nilai-nilai tersebut agar kita tidak ketinggalan. Jadi sekarang bagaimana caranya untuk membangun kepercayaan diri kita dengan mengeksplore apa yang ada di dalam diri kita menjadi ‘sesuatu’ yang bisa diandalkan,” kata penyuka liburan di pantai ini.

 

 
Personality School
Wajah Baru Runway Indonesia

Selama empat tahun, Runway Indonesia sudah berhasil mencetak hampir 300 talenta yang sukses menghiasi panggung mode dan layar kaca di Tanah Air. Kini, Runway Indonesia hadir dengan wajah baru sebagai Personality School.

Runway Indonesia pertama kali hadir pada 2008 dan mengambil lokasi di Jalan Boulevard Raya-Blok CN2 No. 10, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saat itu, program yang diperkenalkan lebih fokus pada dunia Modelling dan Acting. Para lulusan dari sekolah ini hampir mencapai 300 orang dan sebagian di antara mereka bersinar sebagai public figure yang membintangi beberapa sinetron dan film layar lebar. Selain itu, mereka juga sering dilibatkan untuk ikut berpartisipasi di ajang peragaan busana karya desainer papan atas.

Melihat perkembangan yang bagus setiap tahun, maka Founder Runway Indonesia yang terdiri atas Nonny Chirilda, Agung Saputra, dan Dessy Arnas yang masing-masing memiliki pengalaman di bidang modeling, talent management dan kepribadian ini, berupaya memberikan ruang yang lebih luas lagi kepada para talenta di Indonesia untuk mendapatkan ilmu Personality yang menjadi modal mereka lebih percaya diri dan mampu berkomunikasi secara baik dengan orang lain.

Saat ini Runway Indonesia memiliki konsep baru sebagai Personality School. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan setiap individu untuk bisa tampil menarik serta percaya diri, sehingga profesi apapun yang akan digeluti, akan berhasil dengan baik. Apakah itu di bidang entertainment, ataupun di bidang karir dan bisnis.

Program-program unggulan yang ditawarkan Runway Indonesia, meliputi Self Improvement, Career Enrichment, Proficient MC & Presenter, Runway Modelling, Professional Acting, Teens Clique, dan Kiddos.

Runway Indonesia menerima anak didik mulai dari tingkat anak-anak (4-10 tahun), remaja (11-16 tahun), dan dewasa (17 tahun ke atas). Mereka akan menerima materi pengajaran selama 14 sesi, dan bisa dilakukan setiap hari, seminggu dua kali, atau setiap Sabtu. Untuk setiap pertemuan akan dilakukan selama 2-3 jam.

Selain kelas regular, Runway Indonesia juga memiliki Corporate Training, dimana materi pelatihannya disesuaikan dengan kebutuhan dari klien atau perusahaan yang bersangkutan.

Adapun pengajar yang diberikan kepercayaan untuk berbagi ilmu Runway Indonesia adalah para praktisi yang sudah berpengalaman di bidang masing-masing. Setiap pengajar akan memberikan materi pelajaran berdasarkan tingkat usia dan kebutuhan peserta, baik itu di kelas regular atau kelas perusahaan.

Target ke depan, bahwa Runway Indonesia – Personality School dapat membantu setiap individu untuk menjadi apa yang mereka inginkan, sesuai dengan potensi yang ada didalam diri mereka. Sehingga apapun yang mereka cita-citakan dapat terwujud dengan baik.

-Run your Way to Success with Runway Indonesia-

Berlilana S, PS.Kom, MSi

No Comments

Ketua STMIK AMIKOM Purwokerto

Menciptakan SDM Berbasis Teknologi Informasi

Perkembangan dunia sekarang tidak bisa dilepaskan dengan teknologi informasi (IT). Hampir seluruh kebutuhan manusia bisa dipastikan menggunakan teknologi informasi sebagai penunjang kegiatannya. Bisa dikatakan, sejak bangun tidur sampai menjelang tidur lagi, manusia dikelilingi peralatan yang didalamnya memiliki unsur teknologi informasi.

Meskipun demikian, perkembangan dunia IT di Indonesia bisa dikatakan tertinggal dibandingkan negara lain. Seperti Singapura dan Malaysia, jauh meninggalkan Indonesia dalam penggunaan IT bagi warganya. Faktor biaya akses IT yang mahal di Indonesia merupakan salah satu hambatan besar yang membuat tertinggal. Sementara dari sisi SDM, sebenarnya masyarakat Indonesia tidak kalah berkualitas. Apalagi banyak pendidikan tinggi yang mendedikasikan pengembangan SDM khusus IT di Indonesia.

“Kami memiliki visi dan misi menciptakan SDM yang mampu bersaing di dunia internasional, berbasis pada teknologi informasi atau IT. Untuk itu, kami menyusun kurikulum menyesuaikan dengan dunia kerja dengan dukungan fasilitas memadai. Semua itu untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di dunia IT yang menurut pantaun saya masih agak tertinggal. Itu menjadi persoalan dan PRODUK bersama agar kita menyusul dan menyamai perkembangan dunia IT di negara lain,” kata Berlilana S, PS Kom, MSi., Ketua STMIK AMIKOM Purwokerto.

Menurut Berlilana, kondisi tersebut disebabkan oleh efek pembangunan yang tidak merata di Indonesia. Akibatnya, insfrastruktur yang disediakan pemerintah hanya dinikmati oleh penduduk di wilayah tertentu seperti perkotaan. Sementara bagi penduduk pedesaan harus hidup dengan segala keterbatasan dan harus mengandalkan potensi alam yang ada.

Kondisi seperti itulah, yang menghambat perkembangan dunia IT di Indonesia. Akibat pembangunan infrastruktur yang tidak merata, berimbas pada dunia IT di Indonesia meskipun potensi untuk berkembang sangat besar. Menurut Berlilana, untuk mempercepat akselerasi kemajuan IT di Indonesia ada beberapa hal yang harus dibenahi. Pertama dengan memompakan semangat dari dalam diri sendiri dalam menyikapi kemajuan negara-negara luar agar terpacu untuk menjadi lebih baik.

“Setidaknya, minimal harus menyamai mereka. Tetapi semua itu membutuhkan dukungan pemerintah, dalam rangka membuat kebijakan agar teknoloni informasi yang ada di negara kita berkembang dengan baik. Kita bersyukur dengan adanya Keminfo menunjukkkan pemerintah sudah memiliki komitmen terhadap perkembangan IT di negara kita. Mudah-mudahan, adanya kementerian khusus seperti itu, kita mampu bersaing di negara luar,” ujarnya.

Filosofi Pohon Pisang

Berlilana S, PS.Kom, MSi, lahir di Jakarta, 2 Desember 1973. Setelah lulus kuliah dan bergelar sarjana, ia berusaha mewujudkan cita-citanya, menjadi dosen. Langkah yang dilakukannya adalah dengan melamar pekerjaan sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta maupun Purwokerto. Nilai indeks prestasi yang pas-pasan adalah alasan ditolaknya lamaran yang diajukannya.

“Akhirnya saya bekerja di asuransi serta beberapa perusahan swasta di Jakarta. Tetapi saya tidak betah karena jiwa pendidik dan cita-cita sebagai guru/dosen begitu tinggi. Akhirnya cita-cita saya kesampain, pada bulan Maret 1998 saya diterima sebagai dosen di Lembaga Pendidikan IMKI Prima. Lembaga ini merupakan grup Primagama yang bergerak di bidang pendidikan diploma Profesi Komputer 1 tahun,” kisahnya.

Berlilana bekerja mengawali karier di IMKI Prima sebagai tenaga humas dan pengajar. Tahun 2002, ia dipercaya menjadi pimpinan cabang IMKI Prima Purwokerto. Dibawah pimpinannya, perkembangan IMKI Prima Purwokerto mengalami kemajuan yang sangat pesat sampai tahun 2005. Melihat perkembangan IMKI Prima Purwokerto yang sangat pesat tersebut, Manajemen Pusat dan STMIK AMIKOM Yogyakarta tertarik dan mendirikan STMIK AMIKOM Purwokerto. Di bawah arahan dan binaan Prof. Dr. M. Suyanto, Berlilana terpilih untuk menjadi Ketua STMIK AMIKOM Purwokerto hingga sekarang ini.

Semua yang dilakukan Berlilana, tidak terlepas dari pesan almarhum ayahnya pada saat kecil. Pelajaran yang sangat berharga adalah bagaimana seseorang mampu menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Seorang manusia harus bisa menyerupai pohon pisang dalam kehidupan. Karena pohon pisang, dari akar sampai pucuk daunnya dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Menurut sang ayah, akar pohon pisang dapat digunakan sebagai obat-obatan, batangnya untuk panggung pagelaran wayang kulit, daunnya untuk membungkus, buahnya sangat bergizi, kulit buah untuk pakan ternak dan lain-lain.

“Yang lebih hebat lagi, pohon pisang tidak akan mati sebelum menghasilkan sesuatu yang berguna yaitu buah. Kalau ditebang sebelum berbuah dia akan tumbuh lagi dan apabila sudah berbuah, dia siap mati tetapi sudah menyiapkan tunas-tunas pisang baru yang siap menggantikan posisinya. Filosofi ini sangat membekas sekali di hati dan membuat saya berusaha terus hidup sampai menghasilkan sesuatu untuk diri sendiri, keluarga dan bangsa ini. Saya baru siap ‘mati’ setelah menyiapkan tunas-tunas pengganti, generasi penerus yang lebih handal. Salah satunya adalah mahasiswa-mahasiswa saya yang walaupun bukan anak sendiri tetapi bisa sukses itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi diri saya,” tuturnya.

Sebenarnya, cita-cita Berlilana di masa kecil adalah menjadi seorang pilot meniru kesuksesan pamannya yang bekerja sebagai pilot. Namun, karena filosofi pohon pisang lebih kuat menariknya untuk berguna bagi orang lain dengan menjadi pendidik. Setelah tercapai cita-citanya menjadi pendidik, ia merasa sangat puas apalagi tanggapan masyarakat terhadap profesi yang ditekuninya pun sangat baik. Semua itu menjadi “benteng” baginya untuk tidak berbuat salah yang dapat mencemari profesinya sebagai seorang pendidik

Berlilana mengakui bahwa menjadi seorang pendidik merupakan kebahagian tersendiri. Apalagi ia berkesempatan merintis perguruan tinggi ini –STMIK AMIKOM Purwokerto- dari awal berdirinya sampai sekarang. Dari modal seadanya dan kampus menumpang, sekarang mempunyai kampus sendiri yang cukup megah, lima lantai dengan fasilitas lengkap. Semua pencapaian itu, tidak lepas dari dukungan luar biasa dari keluarganya. Karena mereka merelakan ayah dan suaminya bekerja sampai larut malam dan mengurangi jatah libur bersama.

“Keluarga sangat mendukung. Terutama istri saya, Dwi Murni Handayani dan ke tiga anak saya, Muhammad Agriawan Satria Utama, Kayla Fatimatuzzahra, Aisyah Mulia Permata Akhir. Bagi saya, profesi apapun yang nanti ditekuni anak-anak akan saya bebaskan asalkan mereka nantinya bisa menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Seperti filosofi pohon pisang yang diajarkan kakeknya,” ungkapnya.

Barlilana menilai, perkembangan pendidikan di Indonesia sudah cukup baik. Meskipun demikian, perbaikan dan pemerataan antara kota dan desa perlu diperhatikan yang terkait dengan fasilitas pendukung proses pembelajaran. Begitu juga perbedaan lembaga pendidikan negeri dan swasta, di mana sekolah/perguruan tinggi negeri sepenuhnya disubsidi dan dibantu pemerintah. Sementara lembaga pendidikan swasta jauh lebih mandiri meskipun harus diakui menjadi salah satu penyebab kesenjangan dan ketimpangan yang sangat jauh pada dunia pendidikan di Indonesia.

“Perkembangan dunia pendidikan kita sudah bagus, terbukti banyak prestasi-prestasi anak bangsa di level perlombaan tingkat dunia. Hanya saja kadang komitmen penyelenggara pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan lagi. Jangan sampai dengan semakin banyaknya putra bangsa yang berprestasi, justru bangsa lain yang memanfaatkan kecemerlangan dan kemampuan otaknya,” tegasnya.

Agent of Change

Sebagai orang yang terbiasa membina generasi muda, Berlilana sangat memahami kondisi generasi muda sekarang ini. Dengan membanjirnya informasi melalui TV dan teknologi IT, tentu saja cukup banyak dampak negative dan positif yang ditimbulkan. Positifnya, kehadiran teknologi apabila disikapi dengan baik akan sangat membantu kehidupan manusia. Namun, apabila disikapi secara keliru sisi negative dari teknologi juga sangat mengkhawatirkan.

Ia mencontohkan bagaimana internet sekarang sudah sangat merakyat. Seluruh lapisan masyarakat mampu mengakses jaringan internet dengan bebas dan murah. Apalagi, teknologi hand phone yang semakin canggih dengan tariff operator murah, membuat internet bisa diakses dari mana saja. Namun sangat disayangkan sesuatu yang baik itu tidak bisa digunakan, sekadar iseng, ikut-ikutan atau penggunaan tidak bermanfaat lainnya.

Dalam pandangannya, salah satu “korban” dari perkembangan teknologi informasi tersebut adalah generasi muda. Dengan kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, telah menyeret generasi muda untuk beralih kepada segala sesuatu yang serba cepat, praktis, instant dan lain-lain. Celakanya, kondisi tersebut diperparah dengan tayangan televisi yang tidak mendidik dan hanya menjual mimpi saja.

“Semua itu jelas-jelas mematikan kreativitas generasi muda. Ini sangat berbeda dengan generasi muda di zaman saya atau sebelumnya. Padahal, sebagai generasi muda kita harus siap menjadi agent of change terkait perubahan teknologi yang sangat cepat itu. Sebagai generasi muda kita harus siap menerima perubahan tadi, karena teknologi kalau digunakan dengan benar sangat ampuh bagi kemajuan kita. Tetapi di sisi lain, teknologi apabila disalahgunakan akan menjadi mesin pembunuh bagi karakter kita sendiri,” tandasnya.

Salah satu ketakutan yang timbul terhadap tayangan televisi yang tidak mendidik adalah minimnya kelahiran pemimpin di negeri ini. Kreativitas dari generasi muda yang kering dan tidak bermakna, membuat perkembangan bangsa ke depan cukup mengkhawatirkan. Artinya, ke depan Indonesia akan semakin sedikit melahirkan entrepreneur handal di bidangnya masing-masing. Padahal, entrepreneur membuat ketahanan bangsa terhadap krisis ekonomi sangat tinggi.

“Pendidikan entrepreneur sangat penting karena negara kita sangat sedikit orang-orang yang berwira usaha. Contohnya di Singapura 2 % penduduknya adalah seorang wirausaha, sedangkan di Indonesia masih jauh, sekitar 0,6 % saja. Karena kebanyakan pendidikan sekarang banyak menciptakan seorang karyawan atau pekerja saja,” ungkapnya.

Sekolah Tinggi Nomor Satu

STMIK AMIKOM Purwokerto setelah lima tahun berjalan semakin menunjukkan perkembangan yang baik. Berbagai kerjasama dengan pihak lain terus dijalin sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas lulusan sekolah tinggi ini. Selain mempekerjakan 62 dosen muda bergelar S2, STMIK juga mengundang dosen tamu dari wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

Kerjasama juga dilakukan dengan alumni STMIK AMIKOM Purwokerto yang sudah bekerja di perusahaan-perusahaan. Tujuannya agar mengajak adik-adiknya untuk bekerja di perusahaan-perusahaan mereka agar bisa mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama kuliah. “Kita bekerjasama dengan Microsoft Indonesia. Kita juga ditunjuk oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk menyelenggarakan sertifikasi Profesi di Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan dan industri di Indonesia sudah mempercayai AMIKOM,” tuturnya.

STMIK AMIKOM Purwokerto cukup menarik minat calon mahasiswa di sekitar eks Karesidenan Banyumas. Artinya masyarakat di wilayah kabupaten Banyumas, Purwokerto, Cilacap dan lain-lain, mempercayai AMIKOM sebagai perguruan tinggi yang menjadi rujukan utama. Bahkan dari website Dikti, AMIKOM menduduki level tertinggi dari jumlah mahasiswa se Jawa Tengah. Di Purwokerta sendiri, terdapat 11 perguruan tinggi yang sama, tetapi STMIK AMIKOM Purwokerto tetap menjadi yang nomor satu bahkan di tingkat Jawa Tengah untuk perguruan tinggi swasta bidang komputer.

Beberapa program unggulan AMIKOM sangat diminati oleh mahasiswa. Antara lain, multimedia, yakni kemampuan multimedia yang berbeda dengan perguruan tinggi lain. Di mana para mahasiswa dibekali agar betul-betul menguasai materi dengan baik. STIMIK juga memberikan soft skill kepada mahasiswa berkaitan dengan pengembangan diri, dimulai sejak mahasiswa baru sampai menjelang kelulusan.

“Tujuannya agar mahasiswa nanti memiliki pengembangan kepribadian yang positif. Ketiga, desain kurikulum kita itu lebih kita arahkan agar mereka mampu menjadi technopreneur seperti bisa membuka usaha, berusaha atau bahkan bekerja pada saat mereka masih berstatus mahasiswa. Ini yang membedakan antara STMIK AMIKOM Purwokerto dengan perguruan tinggi lainnya,” ungkapnya.

Jumlah mahasiswa STIMIK AMIKOM Purwokerto sampai memasuki tahun kelima mencapai 1600 mahasiswa dan meluluskan tiga kali angkatan. Berlilana berharap, lima tahun pertama AMIKOM menjadi perguruan tinggi IT terbesar di Jawa Tengah. Harapan tersebut tercapai dengan sukses –sesuai data Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah sehingga ditingkatkan target programnya. Target lima tahun kedua adalah membangun STMIK menjadi lebih besar dan bisa berbicara di level internasional.

“Di mana ada target-target khusus, bahwa perguruan tinggi kami tahun ini bisa teakreditasi dari BAN PT. Target kedua menyusun standar mutu internasional yang akan didukung dengan ISO maupun standar mutu nasional yang mana standar mutu tersebut membuat semua pekerjaan di semua lini sudah tersistem dengan baik. Ketiga, bahwa kita tetap menjaga kepercayaan masyarakat agar STMIK AMIKOM ini tetap positif dan keberadaannya bisa diterima masyarakat luas. Seperti induk kami, STMIK AMIKOM Yogyakarta yang dipilih UNESCO menjadi perguruan tinggi percontohan tingkat dunia yang dikelola secara entrepreneur,” tegas Berlilana.

Drs. Syamsul Bahri TRB, MM, CPA, Ak.

No Comments

Drs. Syamsul Bahri TRB, MM, CPA, Ak.
Pemilik dan Managing Partner KAP SYAMSUL BAHRI TRB & REKAN

Diharapkan Menjadi Pendidik, Besar Sebagai Akuntan Publik

Bagi orang zaman dahulu, profesi sebagai guru alias pendidik adalah pekerjaan sangat mulia dan terhormat. Guru adalah pintu ilmu pengetahuan yang tiada habisnya sehingga posisinya sangat disegani di tengah masyarakat. Seorang guru dijadikan suri tauladan bagi masyarakat sekitarnya. Tidak heran, di berbagai daerah guru sekaligus juga tokoh masyarakat yang diikuti kata-kata dan tingkah lakunya.

Harapan untuk menjadi seorang pendidik “pernah” dilambungkan oleh kakek dan nenek Drs. Syamsul Bahri TRB, MM, CPA, Ak., kepada cucunya tersebut. Setiap libur sekolah dan pulang kampung dari Banda Aceh, pertanyaan apakah sang cucu sudah menjadi guru selalu terlontar. Apalagi ketika cucu kesayangannya tersebut mulai beranjak dewasa, pertanyaan serupa selalu diulang dalam berbagai kesempatan.

“Baik kakek dari pihak ayah maupun ibu, selalu memberikan pertanyaan yang senada, ‘Apa kamu sudah jadi guru?’ Di mata mereka guru adalah profesi mulia meskipun generasi kakek maupun ayah jarang mengecap pendidikan formal yang dikelola kaum kolonial. Akibatnya, mereka buta aksara latin tetapi melek aksara arab yang didapatkan dari pendidikan non-formal. Sejak itu, menjadi guru selalu terpatri di hati saya agar dapat mengabdikan diri kepada masyarakat. Walaupun guru adalah profesi yang tidak memberikan banyak materi, tetapi sangat dihormati masyarakat karena pengabdiannya,” kata Pemilik sekaligus Managing Partner KAP SYAMSUL BAHRI TRB & REKAN ini.

Anak kelima dari sembilan bersaudara pasangan Teuku Radja Badai dan Tjut Syah Indra ini, menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Banda Aceh. Berbekal dukungan kedua orang tua yang sangat menginginkan agar anak-anaknya dapat menempuh pendidikan setinggi mungkin, ia merantau ke Medan. Tujuannya adalah menuntut ilmu di perguruan tinggi nomor satu di Propinsi Sumatera Utara, yaitu Universitas Sumatera Utara (USU).

Namun bukan jurusan kependidikan yang ditujunya seperti harapan sang kakek. Ia memilih untuk mengambil jurusan kedokteran seperti cita-cita masa kecilnya. Penyebabnya, rasa kemanusiaannya yang tergugah melihat kondisi kampung halamannya tidak memiliki tenaga dokter. Maklum, kampung halamannya di Kecamatan Meureudu (sekarang ibu kota Kabupaten Pidie Jaya) berjarak ± 150 kilometer dari Banda Aceh dan 40 kilometer dari Sigli, sebuah kecamatan pada masa itu yang belum memiliki tenaga dokter.

“Masyarakat di kampung saya kebanyakan petani yang mengandalkan pelayanan kesehatan kepada para mantri, perawat atau bidan yang ada di sekitar mereka. Nah, salah satu mantri kesehatan yang ada di desa kami adalah paman yang sering meminta saya membantu beliau saat liburan di kampung. Hal tersebut memperkuat keinginan saya untuk kuliah di kedokteran menyusul kakak dan saudara sepupu yang telah lebih dalulu kuliah di Fakultas Kedokteran USU, karena profesi ini dapat mengabdikan diri dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,” ujarnya.

Tetapi pria yang akrab dipanggil Achun ini harus mengubur impiannya untuk menjadi dokter dalam-dalam. Ia hanya bertahan menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran USU Medan pada Tingkat pertama saja. Beberapa alasan membuat cita-citanya kandas di tengah jalan, kuliahnya terhenti begitu saja. Putus asa dan frustasi, ia menyalahkan siapa saja yang dianggapnya menghambat cita-citanya. “Mulai SMA dibawah standar, kemampuan financial orang tua kurang, ditambah saya sendiri tidak pandai mendekatkan diri kepada dosen. Bahkan sempat terpikir Tuhan tidak sayang sama saya,” imbuhnya.

Namun, Achun akhirnya tersadar bukan itu penyebab kegagalannya. Melalui introspeksi diri yang mendalam, dengan berkaca pada kondisi orang lain yang lebih parah dari dirinya, ia bangkit dari keterpurukan. Semangat bahwa dirinya bisa berbuat seperti yang dilakukan orang lain terus menggelora. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk melakukan semampu yang mungkin dilakukannya.

Pada saat seperti itu, terngiang di telinga Achun petuah-petuah dari kakek tercinta. Salah satu yang paling membantunya bangkit dari keterpurukan adalah nasihat yang berbunyi: “berbuatlah sebisamu jangan dipaksakan”. Dari situ ia sadar, dunia kedokteran bukanlah karier yang tepat baginya. Ia kemudian melirik profesi yang pada saat itu masih langka di masyarakat dan sangat asing baginya, menjadi seorang akuntan, yang nantinya meneruskan berpraktek sebagai akuntan publik.

“Profesi akuntan publik saat itu masih jarang sekali, hanya ada di kota-kota besar saja. Tetapi yang jelas, profesi ini juga dapat mengabdikan diri kepada masyarakat. Bisa membuka praktek untuk melayani orang lain, sama seperti dokter. Tetapi dengan banting stir ini, saya harus kerja keras menekuni sesuatu yang begitu asing. Sesuatu yang belum pernah terbayangkan dan begitu abstrak bagi saya. Tetapi dengan kemauan keras untuk berhasil, saya bertahan,” ujar pengagum pengusaha “nyentrik” Bob Sadino tersebut.

Achun kemudian mengambil kuliah pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi USU. Kurikulum yang berlaku saat itu mahasiswa harus memperoleh ijazah sarjana muda terlebih dahulu sebelum melanjutkan pendidikan tingkat sarjana. Karena akuntansi sejak dahulu hingga sekarang merupakan jurusan favorit, mahasiswanya pun sangat banyak. Dengan dosen “hanya” delapan orang yang bergelar akuntan saat itu, tingkat kelulusannya pun menjadi rendah. Tidak heran mahasiswa yang menamatkan kuliah hingga delapan tahun pun masih dianggap normal. Standar kelulusan sesuai kurikulum saat itu adalah lima tahun, namun mahasiswa yang berhasil menempuh pendidikan lima atau enam tahun dianggap luar biasa.

Setelah memperoleh gelar sarjana muda, Achun mendapat tawaran dari fakultas untuk bergabung menjadi tenaga pengajar. Karena saat itu, FE USU masih kekurangan tenaga pengajar dalam jumlah besar terutama untuk jurusan akuntansi. Teringat kakeknya yang selalu menanyakan kapan dirinya menjadi guru, ia pun menerima tawaran tersebut. Meskipun secara administratif, ia terganjal sistem yang mengharuskan seorang dosen adalah sarjana.

“Maka jadilah saya pegawai negeri berstatus tenaga administrasi yang bertugas di bidang akademik. Yang jelas, saya terpanggil karena teringat keinginan kakek yang mengharapkan cucu-cucunya mengabdikan dirinya menjadi guru, melayani masyarakat walaupun penghasilan tidak seberapa. Nah, jadilah saya asisten dosen,” kisah penyuka liburan di pantai atau pegunungan tersebut.

Disamping menjadi asisten dosen, Achun juga bekerja magang sebagai tenaga auditor di beberapa kantor akuntan publik (KAP). Dengan bekerja di KAP, ia memiliki penghasilan tambahan disamping mengajar. Di sini, ia tidak hanya memperoleh penghasilan yang memadai, tetapi juga tambahan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi kariernya kelak.

“Pokoknya, selain masalah finansial tidak menjadi problem lagi, saya juga dapat ilmunya. Malah kucuran dari orang tua hanya bersifat insidentil saja, kalau butuh baru minta. Sangat puas bisa menikmati hasil keringat sendiri, di samping dapat meringankan beban orang tua yang sudah kurang begitu produktif lagi,” tuturnya.

Menekuni Profesi

Akhirnya Drs. Syamsul Bahri TRB berhasil menyelesaikan gelar sarjana akuntansi dan secara resmi menjadi tenaga pengajar di almamaternya, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Bersama enam rekannya sesama staf pengajar FE USU, ia kemudian mendirikan Kantor Akuntan Publik (KAP). Dengan pertimbangan komersiil, sengaja nama KAP mengambil nama salah seorang pendiri yang telah memiliki dua gelar master akuntansi.

Sepuluh tahun kemudian, enam rekan sepakat untuk memecah perusahan menjadi dua KAP sehingga masing-masing KAP memiliki tiga partner. Pertimbangan melakukan hal tersebut adalah asumsi bahwa enam orang ahli terlalu ramai untuk satu persekutuan perdata. Hasilnya luar biasa, karena setelah memisahkan diri tumbuh tekad dan tantangan baru untuk berkembang dan berhasil.

“Dengan tekat untuk berbuat semampu yang bisa kita capai, ternyata hasilnya luar biasa. Hanya dalam tempo tiga tahun, kerja keras kami melampaui apa yang kami kerjakan sepuluh tahun bersama enam rekan KAP terdahulu. Dalam tiga tahun pertama operasi kami mampu membeli sebuah ruko tiga lantai untuk kantor di daerah yang berpotensi untuk berkembang. Kami juga mampu mengerjakan proyek-proyek besar sendiri maupun dengan konsorsium bersama KAP lain,” katanya.

Achun mengakui bahwa dalam menekuni bidang akuntan publik cukup banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah datang dari penilaian masyarakat terhadap profesi AP terkait kasus-kasus yang terjadi, baik di dalam negeri maupun negara-negara besar lainnya. Akibatnya, untuk sekadar memperoleh kepercayaan masyarakat adalah pekerjaan rumah yang sangat berat bagi akuntan publik.

Sedangkan kendala intern terjadi akibat penumpukan pekerjaan yang biasa terjadi pada akhir atau awal tahun. Pada saat-saat seperti itu, intensitas pekerjaan sangat tinggi sehingga memerlukan tenaga lapangan yang banyak.  Sementara pada pertengahan tahun, pekerjaan yang diperoleh bahkan tidak mencukupi untuk didistribusikan kepada staf auditor yang terlanjur direkrut.

“Oleh karena itu, perputaran tenaga auditor di lapangan menjadi tinggi. Ini membuat KAP akan terkuras energinya untuk mendidik tenaga junior setiap tahun. Karena setelah mapan dan memiliki ‘nama’ mereka akan mencari pekerjaan yang dianggap lebih favorit. Biasanya, staf auditor belum merasa bangga dengan status mereka di KAP, walau secara finansial hal ini sudah dapat disetarakan dengan profesi yang lebih favorit lainnya,” ungkap ayah empat anak ini.

Kendala lain adalah pemerintah sebagai pemegang regulasi mengeluarkan aturan-aturan yang tidak banyak membantu dunia AP. Akibat peraturan-peraturan yang ada belum mendorong profesi akuntan publik ke posisi yang lebih baik. Tidak heran, apabila dikaji lebih dalam profesi AP masih harus menempuh jalan panjang untuk bisa berkembang sebagaimana mestinya. Banyak tantangan yang harus dihadapi dan dipecahkan masalah yang timbul agar profesi AP mampu mencapai posisi ideal di tengah masyarakat.

Di sisi lain, lanjut Achun, minat untuk menekuni pekerjaan sebagai akuntan publik sangat kecil. Tidak terjadi penambahan jumlah Akuntan Publik (AP) secara signifikan dari tahun ke tahun. Data yang dibeberkannya menunjukkan sesuatu yang mencengangkan dalam profesi AP. Dari sekitar 230 juta jiwa penduduk Indonesia, hanya 905 orang yang berprofesi sebagai akuntan publik. Angka ini jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN bahkan dengan Filipina sekalipun.

Data yang dilansir oleh Media Investor Daily, 4 Agustus 2010, halaman 1, menunjukkan bahwa Singapura memiliki AP 15.120 orang dengan jumlah penduduk hanya 5 juta jiwa, Filipina 15.020 AP dengan penduduk 88 juta jiwa, Thailand 6.070 AP dengan penduduk 66 juta jiwa, Malaysia 2.460 AP dengan penduduk 25 juta jiwa dan Vietnam 1.500 AP dengan penduduk 85 juta jiwa.

“Selain itu, RUU Akuntan Publik yang saat ini sedang digodok oleh Pemerintah dan DPR, juga belum memihak kepada pengembangan dunia usaha. Disamping pandangan masyarakat kepada akuntan publik sendiri secara umum masih kurang baik. Seolah-olah AP adalah tukang yang siap mengerjakan sesuatu sebagai barang tempahan, pesanan sesuai selera konsumen. Ini merupakan tantangan bagi AP untuk merubah image negatif ini ke gambaran yang lebih objektif,” imbuhnya.

Padahal, lanjut Achun, harus diakui bahwa kebutuhan dunia usaha akan peran Akuntan Publik untuk memberikan opini sebagai pihak yang independen untuk berbagai keperluan tidak bisa dihindari. Faktor ini menyebabkan banyak kelompok kepentingan yang membuat kebijakan sendiri-sendiri untuk memilih AP yang menurut mereka memenuhi spesifikasi/ persyaratan kelompok masing-masing. Ia mencontohkan, keberadaan AP-Bapepam, AP perbankan, AP BPK dan lain-lain, yang untuk dapat memenuhi syarat dimaksud memerlukan biaya dan waktu sehingga membuat harga pokok jasa akuntan menjadi tinggi.

“Ketidak jelasan masa depan akuntan publik membuat generasi muda mempunyai minat yang rendah untuk menekuni bidang ini.  Hal ini terlihat dari kecilnya minat mengikuti Pendidikan Profesi Akuntansi (PPA) dan Ujian Sertifikasi Akuntansi Publik (Certified Public Accountant : CPA),” keluhnya.

Untuk memecahkan masalah tersebut, Achun sangat berharap terjadinya perubahan besar pada profesi yang digelutinya saat ini. Ia sadar, keinginannya tidak mungkin terwujud tanpa dukungan dari berbagai pihak, utamanya lembaga legislatif dan eksekutif dalam menetapkan regulasi pada profesi ini. Ia mengakui, peran Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sebagai wadah para akuntan publik sudah cukup baik. Ia berharap agar peran IAPI di masa mendatang terus ditingkatkan agar profesi ini dapat dihargai sebagaimana mestinya.

“Selain itu, terjadinya persaingan yang kurang sehat antar KAP, pemahaman masyarakat terhadap peran AP dalam dunia usaha serta berbagai pihak yang terkait dengan kelanjutan profesi ini sangat diperlukan. Karena profesi akuntan publik di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, di mana umur akuntan publik yang aktif mayoritas dikuasi oleh AP yang berumur diatas 51 tahun sebesar 64 persen. Usia AP antara 41 – 50 tahun sebesar 25 persen dan usia 26 – 40 tahun hanya 11 persen. Semua itu, kalau tidak ditangani dengan serius profesi ini hanya tinggal kenangan,” katanya.

Menghargai Orang Lain

Selama menjalani kariernya, Achun merasa mendapat dukungan penuh dari keluarga. Istri dan keempat anaknya, sangat mendukung dan mengerti atas profesi suami dan ayahnya. Bahkan, tumbuh rasa kebanggaan dari anak-anaknya terhadap profesi sang ayah. Tidak heran, dua dari empat anaknya mengikuti jejak ayahnya dan menempuh pendidikan untuk menjadi akuntan.

“Sedangkan anak tertua meneruskan cita-cita ayahnya yang gagal menjadi dokter. Si bungsu, sebagai satu-satunya anak perempuan masih duduk di kelas tiga SMA dan belum menentukan pilihan profesi apa yang nantinya akan dijalani. Yang jelas, naik turunnya keberhasilan KAP terus mendapat support keluarga secara positif,” tegas suami Radhiatun Mardiah, SE, MSi tersebut.

Dukungan keluarga yang besar, sudah dirasakan Achun sejak awal. Ayah dan ibu sangat berkeinginan agar anak-anaknya dapat menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat dan merasakan bagaimana upaya kedua orang tuanya dalam membiayai pendidikan keluarga besarnya. Tujuannya hanya satu, supaya semua anak-anak dan kemenakan-kemenakannya mampu menyelesaikan studi serta meraih cita-cita masing-masing.

“Untungnya, kehidupan keluarga kami tergolong berkecukupan dibanding saudara-saudara ayah maupun ibu. Meskipun tidak tergolong kaya raya tetapi bisa digolongkan keluarga berada. Ayah adalah seorang pedagang yang berkemauan keras, dan selalu tidak puas sebelum berhasil mewujudkan apa yang ingin dicapainya. Walaupun pada akhirnya ada beberapa anaknya tidak berhasil meraih gelar sarjana,” katanya.

Achun masih teringat bagaimana ayah dan kakeknya menanamkan sikap untuk menghargai orang lain. Petuah yang disampaikan secara turun temurun tersebut dimaksudkan agar timbul penghargaan dari orang lain karena mereka juga merasa dihargai. Meskipun pesannya sangat sederhana, tetapi baginya cukup sulit untuk diterapkan. Kesulitan yang paling berat baginya adalah untuk menghargai waktu bagi diri sendiri.

“Kalau memposisikan diri kita menjadi orang lain yang waktunya dikorbankan untuk kepentingan kita, akan kita sadari betapa naifnya kita. Makanya, sampai seusia sekarang saya masih terus belajar bagaimana dapat mengelola waktu dengan baik,” kata pria kelahiran Takeungon, Aceh Tengah, 7 Juli 1951 ini.

Dalam menjalani kehidupan baik untuk diri sendiri, keluarga, atau masyarakat Achun memiliki slogan sebagai pegangan. Slogan tersebut berbunyi; “Buatlah sesuatu yang bermanfaat, sekecil apapun itu dan semampu kita mewujudkannya untuk diri sendiri maupun orang lain. Jangan menilai segala sesuatu dari apa yang akan kita peroleh tetapi apa yang telah kita perbuat”.

“Dengan mengamalkan ini, kita akan memperoleh kepuasan tersendiri. Bahwa  kita sebenarnya bermanfaat, memiliki potensi yang berguna untuk diri sendiri maupun orang lain. Ini yang selalu saya tekankan kepada keluarga maupun karyawan dalam menjalani kehidupan. Dengan bermodalkan hal ini, akan lebih mudah untuk mencapai cita-cita serta memperoleh ketenangan hidup,” kata Drs. Syamsul Bahri TRB, MM, CPA, Ak.

Ruslan Effendy

No Comments

Ruslan Effendy
Ketua Koperasi Jasa Marga Bhakti I

Pengurus Tidak Boleh Memiliki Kepentingan di Koperasi

Usaha bersama dengan semangat kerakyatan yang kental adalah “roh” dari koperasi. Bentuk usaha yang menjadi “soko guru” perekonomian bangsa tersebut bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, utamanya anggota koperasi. Sebagai pilar perekonomian, koperasi yang dikelola dengan baik akan memberikan manfaat yang besar. Tidak hanya bagi anggota koperasi tetapi juga masyarakat di sekitarnya.

Namun sebuah koperasi hanya bisa menjadi tumpuan perekonomian apabila dikelola dengan baik. Untuk mengelola koperasi memerlukan orang-orang yang benar-benar kompeten, menguasai bidang perkoperasian dan memiliki naluri bisnis yang tajam. Selain itu, seorang pengurus koperasi harus tahu akan dibawa ke mana koperasi yang berada dibawah kendalinya.

“Sebagai pengurus koperasi harus memahami perkoperasian dengan baik. Memahami UU Perkoperasian, aturan-aturannya, bentuk, anggota dan tujuan pendirian koperasi. Satu catatan untuk pengurus koperasi adalah mereka tidak boleh memiliki kepentingan di dalam koperasi. Kalau itu dilakukan koperasi akan maju karena itu tidak gampang, memerlukan mental yang kuat,” kata Ruslan Effendy, Ketua Koperasi Jasa Marga Bhakti I.

Mental yang kuat dipelukan untuk mencegah pengurus “bermain” dalam pengelolaan bisnis koperasi. Karena koperasi sebagai institusi bisnis memiliki peluang-peluang besar untuk mendatangkan keuntungan besar yang sangat “menggoda” iman. Salah-salah, pengurus koperasi yang tidak kuat mental akan menggunakan kesempatan tersebut bagi keuntungannya sendiri. Bisa dikatakan tidak mudah menjadi pengurus yang tetap bertahan tanpa kepentingan di koperasi.

Selain itu, lanjutnya, pengurus koperasi juga harus “open” kepada keluarga. Karena sifat kepengurusan di koperasi lebih banyak sosial yang tidak banyak mendatangkan materi. Sementara tugas sebagai pengurus koperasi sangat menyita waktu kebersamaan dengan keluarga. Apalagi bagi pengurus koperasi yang “merangkap” sebagai karyawan seperti dirinya, memerlukan waktu ekstra untuk melaksanakan kedua tugasnya.

“Kegiatan koperasi dari Senin sampai Jumat, Sabtu untuk kuliah. Sementara tugas di PT Jasa Marga tidak mengenal waktu, bahkan hari libur nasional pun kami tetap masuk. Nah, keluarga yang melihat kesibukan luar biasa yang kami lakukan akan menuntut sebagai kompensasinya. Karena mereka merasa tidak mendapat apa-apa,” ujarnya. Ia bersyukur, mendapat kepercayaan sepenuhnya dari keluarga. Sang istri, Mardahlena dan anak-anaknya tidak keberatan ia hanya menyisihkan waktu beberapa saat bersama mereka. “Mereka memahami meskipun saya pergi pagi dan pulang pagi. Mungkin beberapa tahun lagi saya akan melepaskan semuanya dan lebih fokus pada keluarga,” imbuhnya.

Untuk itu, Ruslan sedang menggodok sistem yang menetapkan honor dan target pengurus Koperasi JMB I. Dengan standar yang jelas dan pasti, seorang pengurus koperasi memiliki kejelasan tentang hak dan kewajibannya. “Jangan sampai anggota punya target, tetapi pengurus tidak punya kebebasan gerak dan honor yang pasti,” tegasnya.

Adu Bidding

Dalam tiga periode kepemimpinannya, Ruslan Effendy belakangan membawa koperasi berkiprah “keluar” dan lebih fokus pada penawaran jasa outsourcing dan investasi. Meskipun untuk itu, koperasi harus berhadapan langsung dengan sektor swasta yang lebih berorientasi keuntungan. Karena itu, diperlukan strategi yang tepat untuk memainkan peran dalam ketatnya persaingan bisnis.

“Kalau kurang punya strategi sudah pasti kita akan kalah. Makanya kita kemudian banyak ikut tender pengadaan, terutama di lingkungan PT Jasa Marga. Kita bekerja sama dengan perbankan untuk pendanaannya, karena rasanya berat kalau pakai dana sendiri. Kita juga bekerja sama dengan perusahaan otomotif seperti PT Astra Internasional dalam pengadaan kendaraan. Kerjasama seperti inilah, yang membuat kita berani ‘adu bidding’ dengan perusahaan swasta,” tuturnya.

Menurut Ruslan, dukungan dari pihak luar seperti itulah yang harus dipertahankan oleh koperasi. Apalagi di tengah persaingan global yang semakin sengit, pengurus koperasi harus “cerdas” mengembangkan koperasinya. Kalau hanya berkutat pada satu unit usaha saja koperasi tidak akan berkembang. Seperti diatur dalam UU Koperasi, disebutkan bahwa koperasi bisa mengembangkan usaha seluas-luasnya. Dengan mengembangkan diri, koperasi akan mampu memenuhi kebutuhan anggota yang setiap tahun bertambah dan meningkat.

“Tentu memerlukan kebijakan pengurus untuk mendorong dan memotivasi perkembangan koperasi. Koperasi kita sendiri sudah menerapkan sistem penggajian yang sangat rapi, naik secara gradual dan sistematis. Nah, kalau tidak diimbangi dengan pengembangan usaha atau usahanya mandeg, mungkin untuk menggaji karyawan sudah suli. Koperasi bisa hancur,” tandasnya.
Strategi yang diterapkan Ruslan adalah dengan membuat publik percaya atas kiprah Koperasi Jasa Marga Bhakti I. Selain itu, koperasi harus tetap menjaga hubungan baik dengan anggota maupun mitra usaha. Untuk ekspansi usaha, koperasi mendirikan anak perusahaan sebagai sarana memperlancar penetrasi bisnis. Ia mencontohkan, bagaimana koperasi bersama perusahaan “maju bersama” dalam proses penawaran lelang sebuah proyek.

“Ini strategi kita, bukan curang. Saya tahu strategi ini banyak digunakan orang dalam sebuah lelang. Saya pernah mendapati bahwa lima perusahaan lawan lelang saya, pemiliknya hanya satu orang. Dari pengalaman saya, kalau tidak mengikuti sistem seperti itu koperasi tidak akan pernah menang. Meskipun proyek tersebut berasal dari Jasa Marga,” tegasnya.

Efek Keseimbangan

Ruslan Effendy menuturkan, Koperasi Jasa Marga Bhakti I memiliki dua seksi usaha, anggota dan non-anggota. Seksi usaha anggota lebih mengedepankan sisi sosial, yang meliputi penyediaan barang-barang kebutuhan anggota, simpan pinjam dan waserba (warung serba ada). Koperasi juga melayani usaha penyediaan barang bagi anggota mulai kendaraan roda dua, roda empat bahkan sampai kredit perumahan.

“Bahkan pembuatan SIM dan STNK pun kita fasilitasi. Pokoknya setiap keinginan anggota untuk memenuhi kebutuhannya, kita usahakan untuk dapat direalisasikan. Unit usaha ini tidak mengambil keuntungan dan lebih bersifat sosial. Untuk itu, kami memberikan subsidi yang didatangkan dari kegiatan non anggota,” tuturnya.

Unit usaha non anggota yang dijalankan koperasi, lanjut Ruslan, meliputi bisnis yang cukup besar. Karena induknya pengelola jalan tol, koperasi memiliki unit usaha armada derek jalan tol. Kemudian rental kendaraan dengan kekuatan 60 armada mobil keluaran terbaru siap disewakan kepada anggota dan umum. Selain itu, koperasi memiliki usaha service AC, pemasangan dan pemeliharaan lengkap dengan teknisi untuk urusan pendingin ruangan tersebut. Usaha lain yang dijalankan adalah unit fotokopi dan ATK, jasa cleaning service dan jasa outsourcing untuk pekerjaan-pekerjaan sipil yang bersifat tidak rutin, seperti pembuatan marka jalan dan lain-lain. Koperasi juga memiliki unit usaha bengkel di beberapa lokasi yang cukup mendatangkan pendapatan memadai.

“Untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat bisnis pengurus turun langsung. Karena kalau kita pakai manajer, nanti pengurus tidak terlibat langsung dan santai-santai saja,” katanya.

Meskipun begitu, disadari bahwa dengan tidak menggunakan manajer koperasi akan menyalahi ketentuan perundangan. Karena sudah diatur dalam UU, bahwa koperasi karyawan yang berkembang besar harus menggunakan jasa manager dalam pengelolaannya. Sementara Koperasi Jasa Marga Bahkti I memiliki 565 anggota dengan aset sekitar Rp 18 miliar dan dikelola oleh tiga orang pengurus merangkap sebagai manajer. “Pembagian tugas manajerial berkaitan dengan anggota ditangani bendahara, kegiatan bisnis sekretaris, tetapi semua keputusan berada di tangan ketua koperasi. Bukannya kita tidak percaya manajer, tetapi cukup susah mengubah budaya bangsa kita ini,” ungkapnya.

Meskipun tanpa manajer, lanjut Ruslan, koperasi mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi anggota. Program baru yang diluncurkannya adalah memberikan pinjaman lunak bagi anggota untuk meneruskan kuliah hingga selesai. Biaya kuliah -di universitas manapun- akan dilunasi oleh koperasi dan anggota tinggal mencicil pinjaman tanpa bunga tersebut setiap bulan. Setiap anggota memiliki satu hak untuk mendapatkan pinjaman tersebut yang bisa digunakan untuk anggota tersebut atau keluarganya.

“Idenya datang dari seringnya anggota meminjam untuk biaya kuliah, dengan begini anggota tidak perlu pusing tiap enam bulan sekali memikirkannya. Koperasi juga memberikan beasiswa dari tingkat SD-SMA, yang diberikan setiap bulan November kepada lebih dari 30 orang, sehubungan dengan Ultah Jasa Marga cabang Tangerang. Beasiswa ini berpatokan pada nilai yang diperoleh siswa yakni bagi anak-anak dengan nilai rata-rata di atas 8,” ungkanya.

Ke depan, koperasi akan terus harus mengembangkan sayap utamanya kepemilikan aset tak bergerak. Karena selama ini koperasi banyak mempunyai aset bergerak seperti kendaraan baik operasional maupun yang disewakan. Sebagai ketua, Ruslan ingin membuat aset-aset tidak bergerak diperbanyak di masa-masa mendatang. Dalam waktu dekat koperasi akan membuat kontrakkan dengan fasilitas lengkap terdiri dari minimal 40 kamar, dengan lokasi yang strategis dan harga sewa rendah. Pendapatan koperasi akan diperoleh dari toko kebutuhan hidup yang berada di tengah areal kontrakkan, listrik, keamanan dan lain-lain.

Dengan program-program tersebut tidak heran banyak anggota yang sayang melepaskan keanggotaannya meskipun dimutasi ke daerah lain. Banyak manfaat yang diberikan koperasi Jasa Marga Bhakti I dibawah kepemimpinan Ruslan Effendi bagi anggota. Bahkan saat lebaran, koperasi mengadakan bazar dan anggota memperoleh uang tunai serta voucher belanja, untuk digunakan membeli keperluan menyambut hari raya. Koperasi juga menyediakan angkutan antar jemput bagi anggota untuk membawa hasil belanjanya tersebut.

“Anggota yang dimutasi tetapi sayang melepas keanggotaannya, membuat pernyataan kalau tidak mau keluar dari keanggotaan koperasi. Kita angkat mereka sebagai anggota luar biasa. Bahkan kita merubah Aanggaran Dasar, yakni ketika anggota berhenti dari keanggotaan, ia tetap mendapatkan haknya dari dana cadangan,” katanya. Prinsipnya, saat tercatat sebagai anggota asset koperasi hanya ratusan juta, sehingga akan tidak adil ketika 20 tahun kemudian seorang anggota yang keluar hanya mendapatkan uang pokok saja. Padahal asset koperasi telah berkembang menjadi puluhan miliar. “Karena saya pernah belajar efek keseimbangan dan itu saya berikan di koperasi ini,” imbuhnya.

ISO Koperasi

Memasuki tahun 2010, Ruslan Effendy memiliki rencana besar untuk pengembangan koperasi. Seiring dengan diterapkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan China Free Trade Area (CFTA), ia mencoba sebuah sistem di Koperasi Jasa Marga Bhakti I yang sangat kuat. Dengan sistem yang kuat tersebut, siapapun yang akan menggantikannya kelak akan mampu membawa koperasi semakin maju.

“Untuk itu saya sedang berusaha agar koperasi bisa memperoleh ISO. Kalau sistem sudah bagus, siapapun yang masuk tidak menimbulkan masalah, karena kita sudah siap. Jadi bukan hanya kaderisasi orang, tetapi juga penguatan sistem. Memang membutuhkan biaya besar, tetapi mau tidak mau koperasi di Indonesia itu harus di-ISO-kan. Karena untuk jangka panjang saya yakin sangat berguna,” ujarnya.

Oleh karena itu, sebelum Ruslan mengakhiri masa jabatan sebagai ketua koperasi untuk ketiga kalinya, ia memantapkan sistem. Semua itu belajar dari pengalamannya saat pertama kali mengemban amanat sebagai ketua. Ia saat itu tidak tahu apapun mengenai perkoperasian. Hanya dengan kemauan kuat dan kesadaran untuk belajar –melalui berbagai pelatihan- ia mampu membesarkan Koperasi Jasa Marga Bhakti I. Dari koperasi karyawan yang “amburadul” disulap menjadi koperasi beraset belasan miliar yang akan terus tumbuh membesar.

“Kalau sekarang koperasi sudah cukup besar. Saya khawatir begitu saya tinggalkan nanti anggota bertanya-tanya mengenai koperasinya. Kalau sistem sudah terbentuk dan mantap, begitu saya meninggalkan koperasi tidak akan menimbulkan masalah. Saya tidak ingin koperasi ini menjadi hancur seperti tahun 1998 lalu,” katanya. Ruslan mengungkapkan bahwa dengan sistem yang tertata rapi, kepengurusan bisa diserahkan kepada siapa saja. “Kemampuan manajerial pengurus akan digembleng melalui pelatihan-pelatihan,” imbuh penyuka liburan di Malang dan Bali ini.

Drs. Paulus Yohanes Sumino, MM, OFS

No Comments

Drs. Paulus Yohanes Sumino, MM, OFS
Pria Jawa yang Membangun Papua Melalui Kaderisasi Kepemimpinan
Salah satu saksi hidup perjuangan Papua adalah tokoh satu ini. Sebagai aktifis gereja, ia memasuki Papua -saat itu Irian Barat- tahun 1970 menyusuk pamannya yang telah lebih dulu menjadi sukarelawan di sana. Belakangan, sang paman yang tadinya sukarelawan guru melihat peluang di Irian beralih profesi sebagai pengusaha.
Ketertarikan Drs. Paulus Yohanes Sumino, MM, OFS karena aktivitas sosial masyarakat Papua saat itu. Ia membayangkan, dengan perekonomi- an di Jawa pasca pemberontakan G30S/PKI yang sangat buruk, apalagi di daerah luar Jawa seperti Papua. Paulus yang saat itu sudah bekerja di Surabayadengan gaji yang sudah “aman”, memutuskan pergi ke Bumi Cenderawasih guna membantu saudara-saudaranya.
“Saya keluar dari Surabaya dengan gaji yang safety. Tetapi karena ada ide, saya tetap menuju ke sana. Menggunakan kapal laut, saya bertolak ke Papua yang memakan waktu 21 hari. Saking lamanya, berat badan saya sempat turun sampai 10kg. Selama di Jayapura saya bekerja dengan om saya

sebagai distributor film. Kerja siang malam dan bersemangat karena mendapat uang banyak membuat saya melupakan kesehatan.  Saya harus operasi usus buntu,” kata pemilik CV. Widya Mandala ini.
Padahal lanjutnya, selama masih kuliah di Madiun ia tidak pernah jatuh sakit. Namun, faktor lingkungan dan kerja keras yang dilakukannya membuat tubuhnya tidak mampu mendukung padatnya aktivitas yang dilakukan pria kelahiran Magetan, 1 Desember 1948 ini. Saat berada di rumah sakit itulah ia bertemu dengan pastur yang mengisahkan mengenai tugas pelayanan yang dijalaninya di pedalaman Papua.
Tersentuh oleh kisah pastur tersebut, Paulus menyampaikan keinginannya untuk turut memberikan pelayanan kepada umat. Ia sadar, selama ini yang dilakukan di bumi Papua adalah bekerja berdasarkan nilai-nilai uang belaka. Berbeda saat dirinya bekerja di Surabaya yang lebih banyak menyandarkan pada nilai moral dan pelayanan kepada Tuhan. Meskipun demikian, kisah-kisah yang diceritakan saudaranya mengenai suku pedalaman Papua, pada detik terakhir ia membatalkan kepergiannya.

“Meskipun tiket sudah di tangan, saya membatalkan kepergian ke Sentani. Saya melarikan diri dari Keuskupan. Mungkin Tuhan melihat keraguan dalam diri saya sehingga Dia memberikan sakit malaria. Saya dirawat dan pada kesempatan itu menimbang-nimbang langkah, apakah harus tinggal atau mengabdi di pedalaman. Saya terus menggali motivasi, apakah jalan yang saya tempuh sudah tepat atau belum. Akhirnya saya berangkat ke pedalaman menjadi sukarelawan di gereja Katolik dengan fokus pada pendidikan dan kesejahteraan sosial,” ujarnya.
Di pedalaman, Paulus mengajar di sebuah SD milik misionaris. Setelah memiliki kelulusan, gereja sepakat untuk mendirikan SMP agar bisa menampung semangat belajar anak-anak tersebut. Ia sebagai aktifis gereja ikut membidani berdirinya sekolah yang juga mendapat bantuan dari pemerintah berupa guru-guru PNS tersebut. Meskipun sebenarnya mereka guru SD, tetapi yang ingin memiliki pendapatan tambahan bisa mengajar di SMP. Gereja juga membuka asrama yang diperuntukkan bagi para siswa.
“Sesuai pengalaman saya memegang asrama. Puji syukur Alhamdulilah, anak-anak yang saya didik di asrama

berhasil menjadi orang berkualitas.  Mereka diantaranya ada yang menjadi ketua MRP, bupati, anggota DPRD, polisi, tentara, pegawai negeri dan pejabat. Saya mengajar di sana dengan kondisi masyarakat yang memang sangat berbeda. Pekerjaan saya adalah mendampingi pastur mengunjungi penduduk dari kampung ke kampung dan mengajari mereka bercocok tanam serta masak-memasak,” tegasnya.
Pertobatan Nasional
Sebagai anggota DPD dari Papua, Paulus dengan sangat berani memperjuangkan konstituen yang memilihnya. Selama satu tahun duduk di lembaga tersebut, ia merasa tidak terbebani oleh apapun dan tidak tunduk kepada siapapun. Berbeda dengan kalau dirinya menjadi anggota DPR mewakili rakyat yang tersandera kepentingan partai pengusungnya. Ia mencontoh-kan bagaimana anggota DPR di Pansus Century atau Gayus yang tidak bisa bertindak sesuai hati nurani.
“Karena kepentingan yang di atas mereka berlawanan dengan nilai dan hati nurani. Kalau orientasi nilai kebenaran pasti sama, tetapi orientasi kekuasaan dan uang pasti berbeda, itu yang terjadi. Makanya, kita harus mengadakan pertobatan nasional,

karena nilai-nilai kejujuran dan keadilan sudah terbunuh dan mati. Mau masuk PNS, bupati, gubernur, semua harus bayar. Kalau kita jujur pada nilai, inilah pembunuhan terhadap nilai yang mengakibatkan nurani kita tumpul dan mati. Tidak heran kalau benih korupsi menjadi tumbuh subur di banyak tempat,” tuturnya.
Disinilah sebenarnya, jelas Paulus, bahaya terbesar bagi Indonesia. Ia tidak merasa heran ketika para tokoh lintas agama menyampaikan seruan kepada pemerintah. Artinya, ada sesuatu yang terjadi di masyarakat seperti bendungan besar yang siap meledak. Yakni rasa keadilan, kejujuran dan kemanusiaan yang tidak ada serta keserakahan yang sangat dominan.
Paulus sangat menyayangkan bagaimana Indonesia yang berlandaskan Pancasila kalah jauh dari China yang komunis. China banyak menerapkan humanisme hubungan antara rakyat dan pemerintah. Ia mencontohkan pemerintah China yang memberikan “ganti untung” bagi masyarakat yang lahannya terkena proyek pemerintah. Sementara di Indonesia, pemerintah selalu memberikan “ganti rugi” kepada

rakyatnya sendiri tanpa ada solusi yang pasti.
“Negara dan rakyat kita menjadi korban karena para pemimpin mengingkari nilai kerakyatan, faktanya seperti itu. Coba sekarang masalah pertanahan, di mana tanah rakyat yang diambil dengan sembarang itu harus dikembalikan. Dahulu karena sangat berkuasa, pemerintah menindas rakyat semena-mena. Begitu juga dengan kebijakan penetapan UMR, yang memposisikan rakyat sebagai orang miskin. Yakni dalam kondisi minimal, setidaknya minimal bisa makan. Ini yang membuat nurani saya terusik setiap membicarakan masalah nilai-nilai bangsa ini. Karena di Indonesia karyawan tidak dihargai, hanya dianggap sebagai mesin dan alat produksi saja. Mestinya buruh dan karyawan harus dinilai sebagai aset perusahaan, sebagai share holder, maka kesejahteraan harus berkorealsi positif dengan keuntungan perusahaan,” tegasnya.
Pria yang mendapat dukungan penuh keluarga ini, mengungkapkan pentingnya generasi muda dalam membangkitkan kembali nilai-nilai kebangsaan. Mereka juga harus memiliki keberanian untuk menegakkan nilai-nilai tersebut. Karena saat ini bangsa Indonesia

memerlukan waktu satu generasi lagi untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut. Harus diakui bahwa para pemimpin sekarang lebih berorientasi pada material daripada moral.
“Orang sekarang menggunakan agama sebagai cap pembenaran diri dalam mendukung nilai-nilai yang dirusaknya sendiri. Semua orang Indonesia beragama dan percaya pada Tuhan tapi tidak menyembah Allah dalam Kebenaran dan Roh yang Kudus. Agama lebih sebagai pakaian politik dan alat pencitraan diri daripada sebagai jalan menuju ke Surga. Lihatlah pelanggaran sumpah jabatan yang melahirkan pejabat-pejabat korup karena kehilangan Roh dan Nilai. Banyak orang yang seakan-akan agamawis, tetapi sebenarnya merupakan pembenaran terhadap nilai-nilai yang menindas nuraninya sendiri. Makanya diperlukan keberanian generasi muda untuk bangkit dari sisi nilai. Tetapi kadang kita juga over acting sehingga bukan bagaimana sebuah masalah diperbaiki, tetapi justru dibebani dengan masalah baru,” ungkapnya.
Membentuk Kaderisasi
Drs. Paulus Yohanes Sumino, MM, OFS terus melanjutkan langkah untuk mengabdikan diri bagi kepentingan

masyarakat Papua. Beberapa kali tawaran untuk menjadi PNS saat terbentuk pemerintah administratif baru ditolaknya. Ia tetap memilih untuk melayani masyarakat melalui gereja. Ia sempat bersinggungan dengan dunia politik saat salah satu Pastur menjadi anggota DPRD, Pastur Michael Chosmas Angkur, OFM (sekarang menjadi Mgr. Michael Chosmas Angkur, OFM – Uskup Bogor). Saat itulah sebelum Pastur bersidang di gedung DPRD, ia sering berdiskusi membicarakan kondisi bangsa Indonesia.
“Saya kemudian diminta pastur untuk masuk ke dunia politik, membantu DPRD Jayawijaya yang baru saja terbentuk. Karena saya dulu juga mantan anggota dewan mahasiswa sehingga terbiasa dalam organisasi. Saya membantu bagaimana berorganisasi, rapat, dan lain-lain. Tahun 1975-an, saya membuat kaderisasi karena harus diby pass untuk menyiapkan SDM. Kalau harus dibiarkan berkembang secara alamiah, terlalu lama. Kaderisasi saya pilih untuk mempercepat proses penyiapan SDM menjadi pemimpin lokal,” tandasnya.
Tahun 1973 – 1974 dibentuk KNPI dan sebagai tokoh pemuda, Paulus dipercaya menjabat sebagai Ketua

KNPI sampai tahun 1978. Pada kesempatan itu, ia memimpin kaderisasi yang sebelumnya tidak pernah ada. Paulus meluncurkan bebagai program untuk keperluan keseimbangan bagi generasi muda Papua serta mempercepat pemahaman terhadap perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Di antaranya adalah pengenalan terhadap uang, rumah sehat, makanan sehat, dan lain-lain.
Saat itu lanjutnya, pastur memperkenalkan perapian dengan cerobong asap seperti di Eropa. Karena rumah adat di Papua, honai, mengakibatkan asap tidak bisa keluar rumah sehingga penghuninya mengidap ISPA akut. Perlahan-lahan, sebagai tokoh pemuda pada tahun 1982, ia berhasil mendamaikan dan menyatukan suku di sana. Posisinya sebagai pengurus Golkar membuatnya cepat dikenal baik di pemerintahan maupun di tengah masyarakat.
Menghentikan Perang Suku
“Di Wamena, saya sering mengadakan kaderisasi. Saya bina dan komunikasi-kan semua itu, meskipun saat itu tidak ada alat komunikasi apapun.  Tahun 1977 saya menjadi anggota DPRD sehingga mendapat tempat yang lebih formal untuk mengadakan

pembaharuan yang lebih radikal dengan tetap mengedepankan nilai kemanusiaan. Berbeda dengan pemerintah yang melakukan pendekatan radikal dengan operasi militer yang meskipun baik tetapi menindas nilai kemanusiaan. Seperti operasi koteka, karena dianggap orang berkoteka itu rendah dan tidak cocok,” tuturnya.
Sedangkan Golkar dan misionaris, menggunakan pendekatan pendidikan melalui sistem nilai terlebih dahulu. Semua itu dilakukan secara perlahan-lahan sampai mereka sendiri merasa membutuhkan seperti penggunaan baju di tengah cuaca dingin sebagai penghangat badan. Misionaris juga memiliki suster yang ditugaskan untuk mendidik generasi muda perempuan agar hidupnya lebih bernilai. Intinya, misionaris melakukan perubahan melalui pendidikan dan penamaan nilai-nilai kehidupan, sementara pemerintah melakukan perubahan secara radikal melalui program yang sering terjadi benturan kekerasan.
Akibatnya, misionaris menjadi tempat perlindungan masyarakat dari tekanan pemerintah. Sebagai aktifis gereja, Paulus sering berbicara lantang mengenai perubahan yang harus dilakukan secara manusiawi, bukan militeristik. Untuk kepentingan itu, ia

memperluas kaderisasi nilai-nilai tersebut di kalangan generasi muda baik swasta maupun pemerintahan. Oleh karena itu, ia semakin dikenal dan diterima masyarakat yang sangat berguna untuk membangun Golkar di Papua, saya menjadi direktur.
“Saya mengawinkan antara nilai misionaris dan Golkar yang baik dan berguna bagi masyarakat, melalui nilai-nilai yang baik. Tetapi semua itu malah menimbulkan kecemburuan di kalangan anggota DPRD dari ABRI (sekarang TNI). Saya dicurigai ingin menjadi ketua DPRD. Padahal saya tidak ingin menjadi pemimpin, tetapi menciptakan pemimpin sehingga saya membuat program kaderisasi. Tetapi karena saya memiliki pengaruh besar baik di masyarakat maupun pemerintahan, saya menjadi pimpinan informal untuk pendidikan dan pelatihan kader Golkar bekerja sama dengan ABRI. Saya lakukan kaderisasi untuk mencetak pemimpin,” kata sulung dari tiga bersaudara pasangan Petrus Sukardi dan Maria Sukini tersebut.
Akibat kecemburuan tersebut, Paulus sempat ditahan tanpa pernah diadili. Ia dituduh menghina (alm) Presiden Soeharto. Ia mengalami betapa kejinya rezim terdahulu yang menyandera

orang-orang yang vokal dan kritis. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah tokoh-tokoh yang berkuasa itu memiliki wawasan yang sangat sempit sehingga menterjemahkan kondisi masyarakat dengan sangat berbeda. Akibatnya, orang-orang sipil yang kritis dan cinta negara tetapi tidak setuju dengan cara-cara mereka, harus dikorbankan.
Setelah bebas, Paulus membina organisasi kepemudaan AMPI untuk menciptakan kader dan aktif dalam kepengurusan GOLKAR. Bersama Bapak Yapto Suryosumarno dan Bapak Yorris Raweyai, ia mendirikan organisasi pemuda underbow Golkar yang sangat fenomenal di tanah air, Pemuda Pancasila di Papua. Selain itu, ia juga mengkader pengusaha kecil di Wamena agar mereka mampu mandiri dalam wadah KUKMI.
“Tahun 1982 saya terpilih menjadi anggota DPRD. Sebenarnya tahun itu juga ia dinyatakan menang dan tinggal dilantik tetapi dipaksa mundur oleh gubernur. Meskipun saat itu saya dibela oleh Bapak Mayjen. Amir Soemartono. Setelah ada pembicaraan antara Jakarta dan Irian Jaya (sekarang Papua), saya disuruh turun (red-keluar) dari Wamena. Tetapi saya sudah terikat betul dengan masyarakat Wamena. Ketika ada gerakan OPM di
sana, beberapa kader saya lari ke hutan karena ketakutan terhadap OPM dan tentara. Saat keluar dari hutan, mereka diciduk tentara. Saya minta kebebasan mereka yang berakibat catatan hitam sebagai pembela OPM bagi saya,” tandasnya.
Ketika reformasi di tubuh Golkar, Paulus berada di depan memimpin perubahan. Tahun 1999, ia dicalonkan sebagai anggota DPRP bagi Golkar Papua dan bertahan selama dua periode. Sebenarnya ia masih bisa terpilih untuk ketiga kalinya. Namun, jiwanya yang ingin menciptakan pemimpin membuatnya memberikan jalan bagi yang lebih muda, yang dipersiapkan secara sungguh-sungguh.
Selama dua periode sebagai anggota DPRP, Paulus menjadi Ketua Komisi B (membidangi ekonomi), ia meletakkan pondasi dasar bagi perekonomian rakyat Papua. Paulus membidani lahirnya Perdasus Perekonomian Rakyat, pemanfaatan hutan, dan lain-lain, sehingga setelah dua periode ia merasa selesai dan mengundurkan diri dari dunia politik. Ia memilih jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Papua sebagai sarana menyalurkan aspirasi rakyat Papua ke pemerintah pusat di Jakarta.
“Saya sepuluh tahun menjadi Ketua Komisi B di DPRP Papua, tidak pernah menggunakan fasilitas negara. Saya memang mendapat mobil dinas, tetapi tetap menggunakan mobil pribadi meskipun mobil tersebut sudah berusia tua. Kalau rusak mobil saya perbaiki sendiri dan enaknya ketika masa jabatan berakhir, mobil saya serahkan ke negara. Tidak harus menahan-nahan, karena tidak pernah memakai. Di sinilah nilai ajarannya,” ungkapnya.
Sebenarnya Paulus sangat menyayang-kan dan tidak setuju perubahan Golkar menjadi partai. Karena ia menyadari cita-cita awal pendirian Golkar adalah untuk mengkaryakan Indonesia tanpa menjadi ideologi. Membentuk masyarakat kekaryaan Indonesia dimana masyarakat dibagi atas kekaryaan bukan atas ideologi dan partai politik. Sesuai dengan cita-cita, Golkar boleh bubar asalkan Pancasila terus dan Pembukaan UUD 1945 tetap menjadi ajaran nilai-nilai kebangsaan. Menurut Paulus, Golkar sekarang sudah menyimpang dari tujuan awalnya yang tidak menghendaki partai sampai jauh menjangkau masyarakat desa.
“Seharusnya partai cukup di kabupaten saja. Makanya saya happy di DPD meskipun saya tetap kader Golkar,
tetapi bukan Golkar sekarang yang cenderung pragmatis. Anti korupsi bukanlah nilai, tetapi bukan juga untuk diperjualbelikan. Jadi ketika Pemberantasan korupsi sudah menabrak kekuasaan dan uang banyak, maka terjadilah negosiasi yang berujung damai. Semua bisa dibeli, dan ini secara politik sudah membudayakan dan membenarkan nilai-nilai yang salah. Ketika memperjuangkan nilai yang salah, di situlah martabat menjadi hilang. Uang hanya diperlukan bukan untuk tujuan,” sesal Drs. Paulus Yohanes Sumino, MM, OFS menutup kisahnya.

Ny Jeveline Lengkong Hilliard

No Comments

Ny Jeveline Lengkong Hilliard
Ketua Yayasan Talitha Cumi

Membangun Yayasan untuk Membangkitkan Spirit Anak Terlantar

Hidup nyaman di luar negeri, tidak membuat Ny Jeveline Lengkong Hilliard melupakan tanah leluhurnya. Setelah lima belas tahun bermukim di Skotlandia, panggilan jiwa untuk pulang ke tanah air sangat kuat. Begitu kuatnya panggilan itu, sehingga ia rela meninggalkan kehidupan mapan dan modern negara maju di kawasan Eropa tersebut.

Tahun 2000, ia bersama sang suami kembali ke Indonesia. Kebetulan keduanya aktif memberikan pelayanan kerohanian gereja, karena suami Ny Jeveline adalah pendeta. Keduanya sering keliling Indonesia untuk memberikan kotbah dan kebaktian bagi umat. Hingga suatu saat, sekitar tahun 2003, ketika memberikan pelayanan di tempat kelahirannya, Kalimantan, Jeveline melihat banyak anak-anak usia sekolah berkeliaran di jalanan.

“Pendeta di sana bilang, kalau mereka kebingungan untuk ‘melempar’ anak-anak tersebut. Kebiasaan di sana, orang tua yang memiliki anak usia sekolah mencari tempat penampungan bagi anaknya. Karena biasanya mereka memiliki anak banyak-banyak. Ibu saya yang tahu kalau saya suka anak kecil mendorong untuk mengurus anak-anak itu,” kata Ketua Yayasan Talitha Cumi ini.

Meskipun awalnya keberatan, Ny Jeveline meminta pertimbangan suaminya. Akhirnya disepakati –setelah melihat anak-anak usia sekolah ditelantarkan dan dijadikan pekerja tambang emas oleh orang tuanya sendiri- untuk mengambil beberapa anak sesuai kemampuannya. Pasangan ini ingin berusaha semaksimal mungkin mengubah nasib anak-anak terlantar tersebut.

Untuk langkah pertama, mereka mengambil 45 anak dan dibawa ke Bogor.  Karena targetnya hanya lima belas anak tetapi membengkak tiga kali lipatnya, Ny Jeveline kebingungan. Untungnya, saat di Skotlandia ia mengambil diploma tentang pengurusan orang jompo, Alzheimer dan lain-lain. Ilmu dari situ dipraktekkan untuk merawat anak-anak tersebut.

“Mungkin Tuhan sudah menunjukkan jalan ke arah ini. Karena saat belajar itu saya sudah tua. Saya iseng saja mengambil diploma karena di Scotland, orang-orang berumur diatas 50 tahun tetapi sekolah lagi, biayanya gratis bahkan malah dibayar. Kita sebagai orang tua dianggap produktif,” kisahnya.

Dari situ, Ny Jeveline tahu betul kapan harus bersikap keras atau lembut terhadap anak-anak. Awalnya sangat susah untuk menerapkan disiplin tinggi kepada anak-anak yang terbiasa hidup seenaknya. Namun, perlahan-lahan pengaruh Mami –begitu Ny Jeveline dipanggil- merasuk ke dalam diri anak-anak tersebut. Mereka yang tadinya hidup tanpa arah yang jelas, kehilangan orientasi masa depan bahkan semangat hidup dan mulai menata pondasi kehidupan masing-masing.

Anak-anak yang tadinya hanya sempat sekolah sampai kelas II atau IV SD, bisa melanjutkan sekolah kembali. Mereka tidak lagi terbebani pekerjaan sebagai penambang, membantu orang tua di ladang atau sekedar bermain bersama teman-teman senasib. Berlindung Yayasan Talitha Cumi membuat mereka -seperti anak-anak seusianya- fokus meretas harapan menuju masa depan yang lebih baik.

“Angkatan pertama sekarang sudah ada yang lulus S1. Tadinya, berbohong, mencuri dan merokok sudah menjadi keseharian mereka karena tanpa pengawasan orang tua yang disiplin. Memang, menurut kita orang Dayak itu sangat malas karena tergantung pada nature, alam. Untuk makan mereka berburu dan  bercocok tanam sedikit. Saya sendiri ada darah Dayak dari nenek saya, seorang anak raja Dayak Tunjung di Kaltim,” kata perempuan berdarah Dayak, Portugis dan Manado ini.

“Kemalasan” orang Dayak sebenarnya disebabkan alam telah menyediakan segala keperluan hidupnya. Kekayaan alam yang luar biasa tersebut membuat mereka tidak pernah kekurangan dalam urusan hajat hidup, seperti makan dan minum. Namun, kemajuan zaman membuat kekayaan alam dieksploitasi dan mereka tersisih serta terpinggirkan di rumahnya sendiri.

Di sisi lain, tradisi Dayak yang dipegang teguh turut memberikan andil dalam memperburuk keadaan. Seperti tradisi bahwa anak perempuan berumur 14 tahun sudah harus menikah dan untuk laki-laki berumur 18 tahun. Akibatnya ketika memasuki usia tersebut, remaja putra dan putri tidak bisa konsentrasi untuk melanjutkan sekolah. Mereka memilih “kabur” dari sekolah dengan berbagai alasan untuk menikah.

“Melalui Yayasan Talitha Cumi saya mencoba membangkitkan spirit mereka. Seperti di Alkitab, Talitha Cumi artinya bangkit anakku bangkit. Mereka harus bangkit untuk mengelola kekayaan daerahnya sendiri. Jangan seperti sekarang, kalau orang datang dan ingin memanfaatkan potensi alam, mereka sudah ‘ngajak’ perang saja,” tandasnya.

Saat ini, lanjut Ny Jeveline, Yayasan Talitha Cumi memiliki beberapa unit kegiatan. Mulai panti asuhan, sekolah –play group hingga SMA- dengan tujuh macam izin kegiatan sosial. Yayasan juga memberikan bantuan dana pendidikan bagi anak-anak terlantar di luar yayasan tanpa memandang agama, suku dan ras. Anak-anak di panti asuhan yayasan juga diajarkan pada setiap menjelang Idul Fitri mengumpulkan beras dan mie untuk dibagi-bagikan kepada saudara-saudaranya yang sedang merayakan hari bahagia tersebut.

“Saya tidak tanggung-tanggung dalam memberikan bantuan. Bahkan rumah kami di Scotland sudah kami jual, agar anak-anak di sini mendapat penghidupan yang layak. Anak-anak dididik disiplin, mandiri, kebersihan, sopan santun dan menghormati orang lain terutama orang tua. Akhirnya setiap anak punya kamar dan satu loker, serta bisa sekolah setinggi mungkin. Saya hanya memberikan sedikit yang saya miliki untuk membantu pemerintah dalam program mencerdaskan bangsa. Saya kutip kata-kata Presiden John F. Kennedy yang berbunyi, ‘jangan tanya apa yang negara bisa berikan padamu, tanyalah apa yang bisa kau berikan kepada negara (Do not ask what the nation can give to you, but ask what can you give to the nation),” tuturnya.

Hidup Susah

Kedermawanan Ny Jeveline Lengkong Hilliard tidak bisa dilepaskan dari kisah pahit masa lalunya. Sejak kecil, ia termasuk “orang susah” yang harus berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri. Keluarga besar dengan delapan anak, membuat ia sebagai anak sulung kurang mendapat perhatian dan limpahan kasih sayang.

Apalagi situasi negeri ini yang pada masa kecilnya sangat tidak kondusif. Perang Dunia II baru saja usai dan situasi politik dalam negeri sedang bergolak di mana-mana. Peristiwa Permesta (pemberontakan di Menado dan Padang) serta G30S/PKI menambah situasi tanah air semakin kacau sehingga rakyat tidak terurus karena pemerintah disibukkan urusan politik.

“Sejak kecil saya terbiasa hidup susah. Untuk sekolah saja harus berjalan lima kilometer, tanpa uang saku dan tanpa buku. Untunglah, Tuhan memberikan talenta yang banyak, sehingga saya cepat menyerap apapun yang saya pelajari,” ujarnya.

Selagi SMEA, pada usianya yang ke-18 Ny Jeveline bekerja di Japex dan mampu melakukan inspeksi kapal. Tugasnya antara lain menentukan apakah sebuah kapal diizinkan berlayar atau tidak dengan muatan yang ada di dalamnya. Cita-citanya saat itu adalah menjadi syahbandar wanita pertama di Indonesia.

Namun salah satu pamannya melarang untuk melanjutkan pendidikan kesyahbandaran. Ia justru menyarankan sang keponakan untuk bekerja sebagai pramugari. Saran pamannya diikuti oleh Ny Jeveline dan berkarier sebagai pramugari di Garuda Indonesia Airways pada tahun 1966. Ia juga bekerja menjadi pramugari di maskapai penerbangan milik Belanda, KLM hingga tahun 1970. “Penguasaan bahasa Belanda saya cukup baik, karena terbiasa di rumah,” katanya.

Seolah balas dendam terhadap masa lalunya yang suram, setelah menjadi pramugari Ny Jeveline membeli buku banyak-banyak. Ia juga membeli sepatu sejumlah dua belas pasang karena sebelumnya tidak pernah memiliki sepatu yang layak. “Sebelumnya tidak pernah punya buku dan sepatu, sehingga ketika beli langsung 12 pasang. Saya sudah janji sama Tuhan, gaji pertama akan saya kasih orang tua. Saya diberi satu talenta untuk selalu suka memberi, sama siapapun,” tandasnya.

Setelah menikah, Ny Jeveline beberapa kali menjadi pramugari seasonal untuk pelayanan haji. Tahun 1979, Ny Jeveline berkarier di perhotelan selama lima tahun dengan jabatan terakhir Assistant Public Relation, dibawah arahan bosnya, Rae Sita Supit. Ny Jeveline kemudian keluar untuk menekuni bisnis pemasaran komoditi di Indonesia. Sebelum akhirnya menetap di Skotlandia, ia memegang perwakilan American Airlines di Indonesia.

“Saya kemudian menetap di Skotlandia dan punya rumah makan dengan nama Indonesian  Jev’s  Tea Room. Saya tidak tahu kenapa Tuhan memberikan bermacam-macam bakat kepada saya, sehingga saya lebih mendalami kerohanian,” tuturnya.

Saat memutuskan kembali ke Indonesia dan menekuni kegiatan sosial, ketiga anak Ny Jeveline memprotes keras. Menurut mereka, ayah dan ibunya seharusnya menikmati masa tua dengan tenang. Dari ketiga anaknya, hanya satu anak yang ikut ke Indonesia dan turut membantunya mengurus yayasan, sementara dua anaknya yang lain tetap tinggal di Skotlandia.

“Keliling dunia, tour dengan kapal pesiar dan lain-lain. Itu mau mereka, tetapi saya ini orangnya workaholic banget. Sejak dulu, saat menjadi pramugari saya sering di-grounded oleh dokter penerbangan. Saya dianggap kebanyakan jam terbang karena anytime siap berangkat ke mana-mana. Sampai sekarang umur sudah 66 tahun saya masih workaholic, tetap seperti itu. Karena saya memang diberkati Tuhan dengan berbagai bakat,” ungkapnya penuh syukur.

Generasi Baik

Ny Jeveline merasa rencana jangka pendek ketika memutuskan untuk mendirikan yayasan sudah tercapai. Dengan memiliki sekolah hingga tingkat SMA, ia berencana untuk mendirikan universitas. Ia berharap, untuk mendirikan sekolah pemerintah memberikan fasilitas sosial (fasos) berupa sebidang tanah karena hingga sekarang masih menyewa ruko dengan harga tinggi. Bertempat di ruko sangat tidak sehat bagi para siswa karena ruang geraknya menjadi sangat terbatas.

“Kami sudah usaha tanya sana sini, tapi katanya untuk sekolah swasta tidak dapat fasilitas sosial. Sama seperti yayasan kami, dalam kurun waktu tujuh tahun ini kami belum pernah mendapat bantuan dana dari Depsos. Padahal anak-anak jumlahnya cukup banyak, 98 di dalam dan 24 di luar yang kami bantu dengan beras dan lain-lain. Jika ada kelebihan, agar anak-anak siap pakai saya ingin mendirikan sekolah kejuruan,” katanya.

“Itu kalau ada orang yang mau menangani. Saya juga senang membina olahraga dan sekarang sedang sangat involve dalam penyelenggarakan kejuaraan sepakbola. Kita menjadi promotor Sunday League kerjasaa dengan BRITCHAM (British Chambers of Commerce) yang diikuti 112 SD  di Bogor. Dan kebetulan kompetisi terakhir dihadiri oleh Mr Ian Rush. Pemain sepakbola legendaries Liverpool yang berlangsung di LSB Sumantri Brojonegoro. Sayangnya anak-anak kami hanya juara II, kalah adu penalti,” ujarnya.

Perempuan yang memberikan pelayanan setiap Minggu ini berharap generasi yang berada dalam bimbingannya akan menjadi generasi muda yang jujur dan tulus. “Paling tidak untuk 50 tahun ke depan, akan lahir generasi berikutnya yang sama baiknya. Itu akan terus berkembang dan kita harus mulai dari satu titik,” imbuhnya.

Kepada generasi muda, Ny Jeveline berpesan agar perempuan belajar tentang masalah kewanitaan. Karena masalah tersebut sangat penting bagi kelestarian dan kelangsungan keluarga. Yang apabila mampu memanage dengan baik, keberhasilan akan diraih dalam dua arah.

“Di dalam keluarga berhasil, pasti di luar juga berhasil dengan baik. Karena itu perempuan harus belajar jujur, sama suami dan anak, untuk melahirkan anak-anak yang jujur. Berusaha menopang suami, jangan menjadi konsumtif, jangan saingi suami. Begitu juga suami harus menyayangi istri, kita harus selalu saling terbuka satu sama lain,” kata wanita tegas yang tidak pernah membedakan agama, suku dan ras ini.

Gartono, SH, MH, DR (ip)

No Comments

Gartono, SH, MH, DR (ip)
Advokat dan Dosen

Pemilu Bukan Pesta Demokrasi Tetapi Seleksi Kepemimpinan

Pemilu Legislatif yang dilakukan setiap lima tahun sekali masih menyisakan tanya. Harapan rakyat membuncah untuk memilih pemimpin yang mampu berbuat siddiq, amanah, fatonah dan tabligh. Memiliki pemimpin dengan sifat-sifat mulia Nabi Muhammad tersebut, membuat rakyat “tenang” menitipkan negara untuk diurus orang yang tepat.

Namun, pada penyelenggaraan pemilu ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Karena dalam prakteknya, banyak tindakan-tindakan tidak terpuji yang dilakukan demi memenangkan pemilu. Seperti membagi-bagikan uang, membeli surat suara, menyuap atau pun menggelembungkan jumlah surat suara. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi dalam pemilu legislatif, justru pada saat Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Presiden pun  praktek serupa semakin vulgar dilakukan.

“Pemilu disosialisasikan dan dimaknai sebagai ‘Pesta Demokrasi’ sehingga dalam pelaksanaannya adalah hura-hura dan bagi-bagi uang (angpao seperti Imlek) tanpa menggunakan logika dan hati nurani. Akibatnya, hanya orang-orang yang memiliki uang akan terpilih sebagai ‘pemimpin’ yang perilakunya mencuri dan menipu rakyat. Hakekat pemilu adalah proses seleksi kepemimpinan. Yakni memilih pemimpin yang baik, bermoral, berkualitas, jujur, penuh dedikasi dan memiliki integritas tinggi. Itu hakekat pemilu yang benar,” kata Gartono, SH, MH, DR (ip), tokoh Advokat di Bogor.

Oleh karena Pemilu lebih mengutamakan unsur pestanya yang bernuansa fun, sementara unsur  demokrasinya terdistortif. Implikasi dari Pesta Demokrasi tersebut, maka terpilihlah penguasa yang mengendalikan negara untuk kepentingan kelompoknya dan dirinya. Penguasa yang menjadi kaki tangan asing dengan memfasilitasi kepentingannya yakni kemudahan mendapatkan konsesi dan monopoli serta mendapatkan kesetiaan rakyat Indonesia untuk bersedia bekerja dengan upah rendah.

Hal ini tidak lepas dari politik neo colonial yang diterapkan oleh penguasa-komprador yang mana pendidikan berorientasi pada ketersediaan buruh upah rendah dan intelektual yang tidak produktif seperti halnya “politik etis” kolonial Belanda pada awal abad 20.

Keadaan ini sebagai konsekuensi logis dari kegagalan kita ketika pemilu yakni salah memilih “pemimpin”. Karena kebanyakan rakyat telah menjual suara kepada para caleg tukang suap. Konsekuensinya terpilihlah tukang suap yang kemudian menjadi “penguasa oportunis” dengan orientasi memperkaya diri sendiri dan jauh dari seorang patriot yang berjiwa volunteer yang melayani rakyat.

Dengan memiliki pemimpin yang berjiwa patriot dan seorang volunteer -bukan petualang- Gartono yakin bahwa pembangunan Indonesia akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Pembangunan yang semula hanya memberikan kesejahteraan bagi segelintir orang akan menjadi merata secara signifikan.

Gartono sangat yakin bahwa bangsa ini mampu menjadi bangsa besar, sejahtera dan bermartabat dengan perubahan di tingkat kepemimpinan. Untuk saat ini diperlukan pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas bagi masa depan bangsa, bukannya pemimpin oportunis pencari kekuasaan. Untuk itu, diperlukan pembangunan mental dan moral-spiritual melalui revitalisasi peran agama. Dengan demikian maka si miskin dan si melarat sekalipun akan memiliki harga diri dan tidak akan menggadaikan lagi suara kedaulatannya dengan Supermi ketika pemilu, Pilkada maupun Pilpres.

“Ke depan agar kita tidak hanya dikenal sebagai bangsa yang banyak utang dan korup, maka sebagai condito sine quo non bangsa ini harus melaksanakan Trisakti, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian bidang kebudayaan. Bahwa Trisakti ini ini hanya bisa dilaksanakan oleh pemimpin sejati yang sederhana. Negara kita harus berdikari dengan membiasakan rakyat, dari pejabat rendah sampai presiden harus hidup sederhana. Pokoknya seluruh elemen bangsa harus mau berkorban untuk negara,” ujar pria yang siap menjadi Presiden Republik Indonesia ini. “Insya Allah bilamana ditakdirkan menjadi presiden, saya akan membentuk kabinet yang terdiri dari para patriot dan volunteer yang akan melakukan upaya luar biasa dan bekerja dengan jujur serta tidak takut akan dimakzulkan oleh rakyat. Karena toh, jabatan adalah amanah,” imbuhnya.

Supremasi Hukum

Menurut Garnoto, pemimpin dalam setiap komunitas senantiasa diperlukan keberadaannya. Pemimpin memiliki makna positif yakni seseorang yang mempunyai kelebihan (shidiq, amanah, fatonah dan tabligh) dan menjadi suri tauladan yang dapat diikuti oleh masyarakat yang dipimpinnya. Dalam konsep demokrasi, rekrutmen dan seleksi kepemimpinan dilakukan melalui pemilihan umum. Konsep kepemimpinan di Indonesia bobotnya semakin meningkat secara hierarkis, seperti RT untuk memimpin sekitar 200 orang, RW 1000 orang. Sementara anggota DPR RI yang berjumlah 560 orang adalah pemimpin untuk membuat kebijakan bagi 225 juta penduduk Indonesia.

Memilih anggota DPR RI tentu sama hakekatnya dengan memilih pemimpin dalam skup kecil seperti RT. Di dalam proses pemilihan baik dalam skup kecil maupun besar, harus dihindari praktik jual beli suara. Anggota DPR RI yang terpilih dengan jalan membeli suara bukanlah pemimpin sejati. Karena dia adalah penguasa atau penyuap yang keberadaannya dimodali oleh sponsor atau penyuap – cukong. Akibatnya kebijakan yang diputuskan anggota DPR RI -yang merupakan produk politik dengan konsekuensi hukum- akan menguntungkan bagi dirinya sendiri, kelompoknya, para cukong (sponsor) kampanye dan para pelobi oportunis yang mencari kesempatan. “Kepentingan masyarakat menjadi urutan kesekian”. Fenomena ini tampak jelas dalam konfigurasi dan perilaku kekuasaan Orde Baru dan Rezim Reformasi sekarang baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Kejadian tersebut mengakibatkan sebuah pemilu yang memakan biaya besar hanya menghasilkan penguasa. Akibatnya, hukum tidak lagi menjadi panglima sebagai sarana mewujudkan keadilan dan kebenaran. Tetapi produk hukum akan menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan “seenak udelnya” oleh anggota parlemen.

Dengan berhasil memilih pemimpin atau wakil rakyat melalui pemilu secara jujur dan adil tanpa suap, maka diharapkan aparat penegak hukum yang diseleksi oleh DPR RI seperti Jaksa Agung, KPK, MK, MA dan Komisi Yudisial serta Kapolri pun akan memiliki komitmen mewujudkan supremasi hukum, tanpa tebang pilih. Karena jika hukum sebagai panglima bagi siapapun, niscaya keadilan dapat menyinari bumi pertiwi dan tidak akan terjadi kebohongan publik secara sistematik yang dilakukan oleh Jaksa Agung, KPK, MK, MA dan Komisi Yudisial serta Kapolri seperti halnya dalam kasus “cicak vs buaya”  – Century Gate.

Jejak Rekam

Gartono, SH, MH dilahirkan di kota Bogor, 11 April 1965, merupakan anak pasangan HR. Kunrachmat dan Hj Hudjenah. Sebagai sorang advokat, Gartono menyukai slogan tentang pendobrakan, perjuangan dan penegakan keadilan. Tidak aneh, sebab ia sudah lama malang melintang di dunia kepengacaraan dan pergerakan. Gartono pernah satu kantor dengan advokat ternama, HM Dault dan Muchtar Pakpahan.

Ia juga bergaul dengan tokoh-tokoh garis keras seperti almarhum Prof. Deliar Noer dan Letjen (purn) HR Dharsono, H Ali Sadikin dan Hariman Siregar.

Gartono menamatkan SD dan  SMP di Bogor, tetapi menamatkan SLTA di SMA Muhammadiyah Pekalongan, tetapi lulus di SMA PGRI Kendal, Jawa Tengah. Meskipun pada awalnya bercita-cita menjadi wartawan, tetapi guratan nasib membawanya kuliah selama tujuh tahun di Fakultas Hukum Universitas Pakuan yang diselesaikannya pada tahun 1991 dengan predikat wisudawan terbaik. Ia menyelesaikan pasca sarjana (S2) di UNTAG Jakarta dengan IPK tertinggi. Sekarang menjalani proses pendidikan Strata 3 di universitas yang sama. Berdasarkan prinsip primus inter pares, maka rekan-rekannya sesama pengacara memercayai Gartono sebagai Sekjen Bogor Lawyer Club (BLC) pada tahun 2000.

Saat kuliah, Gartono adalah seorang aktivis pergerakan mahasiswa yang tidak pernah surut semangatnya. Tahun 1987-1989, Gartono terpilih sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa FH UNPAK. Satu tahun kemudian, ia menduduki posisi sebagai Presidium Badan Kontak Mahasiswa se-Jawa Barat dan Koordinator Presidium Senat Mahasiswa UNPAK.

Saat meletus Perang Teluk pada awal tahun 1990-an, Gartono mengibarkan bendera pembelaan terhadap rakyat Irak dengan mengambil posisi sebagai koordinator Komando Solidaritas Indonesia untuk Irak. Dalam rentang waktu 1992-1994, ayah dua putra dan satu putri ini menjadi koordinator Forum Pemurnian Kedaulatan Rakyat Wilayah Jabar dan Koordinator PCPP (Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila) Wilayah II Bogor, Gartono juga memegang posisi Ketua DPD GRM (Gerakan Rakyat Marhaen) Jabar.

Minat Gartono sangat luas, termasuk dalam bidang olahraga. Bahkan penggemar musik country ini tidak setengah-setengah dalam menekuni cabang olahraga pencak silat. Terbukti, ia pernah menjadi juara II Lomba Pencak Silat Kelas A se-Bogor tahun 1981. Olahraga renang dan lari pagi merupakan aktivitas yang dijalaninya dengan rutin. Sementara di bidang politik, sebelum menjadi Caleg No 1 DPR RI periode 2009-2014 dari Partai Matahari Bangsa, Gartono adalah kader utama Partai Amanat Nasional (PAN). Bahkan ia pernah terpilih sebagai Ketua DPD PAN Kabupaten Bogor pada tahun 2000. Karakter yang terbuka dan pemberani, sedikit banyak dipengaruhi oleh Bung Karno dan Jenderal Soedirman yang dikaguminya.

Banyak hal yang telah dilakukan Gartono bagi kota Bogor. Ia aktif memantau kinerja birokrat yang diindikasikan terlibat dalam korupsi dengan mendirikan Bogor Corruption Watch (1999). Ia juga melakukan pembelaan terhadap masyarakat miskin melalui LBH Merdeka sejak tahun 1991 yang didirikannya bersama Eggy Sudjana dan Dedi Ekadibrata (mantan tapol). Pada tahun 1998, ketika pengaruh Orba masih kuat mencengkeram, dengan berani Gartono mencalonkan diri sebagai Bupati Bogor bersaing dengan Kolonel Agus Utara Effendy. Pada tahun 2002, Gartono melakukan gugatan class action terhadap Menag RI Said Aqil Husein Al Munawar sehingga ia dijuluki sebagai Pendekar situs Batutulis. Berdasarkan sepak terjangnya tidak heran bilamana pada tahun 2008 Gartono mendapat apresiasi dari koran Jurnal Bogor dengan anugerah Jurnal Bogor Award.

Gartono sangat mencintai keberadaan Kebun Raya Bogor sebagai ikon kota hujan. Gartono sangat terkesan dengan keindahan dan keasrian Kota Bogor yang sangat klasik seperti pada tahun 1970-an. Kenangan masa kecilnya mengingatkan, di kiri kanan jalan protokol Kota Bogor dipenuhi pohon kenari sebagai peneduh jalan. Namun, sebagai warga Bogor, ia menyayangkan mental masyarakat Bogor yang sangat individualis sehingga dengan mudah ditekan penguasa.

Suami dari Ir. Safni ini berharap Kota Bogor bisa dijadikan kota wisata sejarah dan religi di samping wisata belanja. Selain itu, melihat sarana – prasarana dan SDM yang tersedia, Kota Bogor juga berpoensi untuk menjadi kota pelajar dan mahasiswa. Kunci untuk itu, terletak pada bagaimana kebijakan pengelola Kota Bogor, Pemkot dan DPRD. Mereka harus memiliki rasa cinta pada Bogor dan tidak hanya mencari kekayaan melalui jabatan yang diembannya.

Biodata:

Nama                : Gartono, SH, MH, DR (ip)
Tempat tanggal lahir    : Kota Bogor, 11 April 1965
Pendidikan             :
1.    SD Empang III Bogor
2.    SMP Negeri I Bogor
3.    SMA Muhammadiyah Pekalongan/SMA PGRI Kendal
4.    Fakultas Hukum UNPAK
5.    Pasca Sarjana UNTAG Jakarta
6.    Kandidat Doktor UNTAG Jakarta
7.
Pekerjaan             : Advokat
Organisasi            :
1.    Ketua DPP IKADIN 2007 – 2012
2.    Ketua Dewan Kehormatan DPC IKADIN Kab. Bogor
3.    Ketua Peradi Bogor Raya 2009-2012
4.    Sekjen MPS Gerakan Rakyat Marhaen
5.    Sekjen Komnas Pilkada Independen 2007
6.    Ketua Umum Senat Mahasiswa UNPAK 1987-1989
7.    Presidium Badan Kontak Senat Mahasiswa Jawa Barat 1989

Riwayat perjuangan        :
1.    Melakukan Aksi-aksi Pembelaan terhadap Petani Cimacam, Korban Lapangan Golf pada tahun (1989-1992)
2.    Melakukan Aksi-aksi Pembelaan terhadap Korban Waduk Kedungombo pada tahun (1988-1990)
3.    Melakukan Aksi-aksi Pembelaan terhadap Petani Rancamaya, Korban Lapangan Golf pada tahun (1989-1992)

Ir. Leo Nababan

No Comments

Ir. Leo Nababan
Staf Khusus Menko Kesra

Penganut Kristiani yang Menjadi Pengurus Masjid

Kekerasan yang mengatasnamakan agama belakangan ini marak terjadi di Indonesia. Bahkan konflik horizontal terjadi antara para pemeluk agama yang seharusnya hidup berdampingan secara damai. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia dengan berbagai macam budaya, adat, suku dan agama, “pernah” bersatu dan hidup rukun. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi tetap satu telah menjadi pedoman hidup dan menjadi perekat bangsa sejak ribuan tahun lalu.

Namun, seiring perjalanan waktu sikap seperti itu mulai luntur. Perbedaan yang harusnya menjadi kekuatan dan kekayaan bangsa ini, justru dianggap sebagai kelemahan. Berbagai upaya dipaksakan untuk membuat orang-orang yang berbeda pandangan, mengikuti keyakinan dan aturan-aturan yang dianggap benar oleh sekelompok orang.

Meskipun begitu, tidak semua orang Indonesia berpendapat sama. Di tengah masyarakat banyak sikap-sikap yang menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan dan sekat-sekat telah melebur menjadi satu kesatuan yang harmonis. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Ir. Leo Nababan untuk masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Staf Khusus Menko Kesra tersebut memberikan contoh yang luar biasa bagaimana hidup bermasyarakat. Yakni menjadi pengurus masjid -yang mungkin satu-satunya di Indonesia- meskipun ia sendiri seorang penganut Kristiani taat.

“Agama adalah masalah pribadi, antara manusia dan Tuhan. Kesalahan bangsa ini adalah selalu mencampuradukkan agama dan kehidupan. Itu yang susah, habluminallah dan habluminannas-nya harus seimbang. Saya memang seorang Kristen dan saya bersyukur karena itu. Tetapi saya juga pengurus Masjid Jami’ Al Mukminin di Kayumanis 10, sebagai koordinator pencarian dana pembangunan masjid,” katanya.

Dari sudut pandang Kristiani, Leo Nababan merasa hidupnya tidak berguna apabila mengabaikan nasib tetangganya. Oleh karena itu, ketika melihat kesibukan tetangga-tetangganya yang muslim membangun masjid, ia juga melibatkan diri. Penerimaan warga muslim terhadapnya pun cukup terbuka dan menerimanya sebagai bagian dari kepanitiaan pembangunan masjid. Ia tidak menyia-nyiakan kepercayaan saudara-saudara muslimnya, dan melaksanakan tugasnya dengan baik.

Leo Nababan sangat menyesalkan adanya kelompok-kelompok yang membawa-bawa agama dalam setiap permasalahan. Jumlah penganut paham ini semakin lama membesar dan terang-terangan memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang tidak sepaham. Agama telah menjadi bahan konflik, meskipun dalam kitab suci Al Quran jelas-jelas diajarkan bahwa “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”.

“Itu adanya pengakuan bahwa ada agama lain selain Islam. Nabi Muhammad pun mengajarkan kasih sayang kepada sesama manusia, apapun agamanya. Saya adalah seorang Kristen yang setuju pembakaran gereja, karena secara logika TIDAK MUNGKIN gereja dibakar asalkan gereja tersebut “tidak menjadi MENARA GADING” bagi masyarakat di sekitarnya. Artinya, gereja membiarkan tetangga-tetangganya miskin dan kelaparan, tetapi malah membangun menara. Tidak mungkin gereja dibakar kalau gereja melihat kondisi tetangganya,” tandasnya.

Menurut Leo, bangsa Indonesia tidak akan marah kalau ada orang yang mengaku sebagai orang Kristen atau agama lainnya. Karena negara juga mengakui agama sah dan Indonesia: Islam, Katolik, Kristen, Buddha, dan Hindu. Sebenarnya bangsa Indonesia sejak zaman dahulu terbiasa hidup damai berdampingan. Hal tersebut tidak hanya sekedar wacana, tetapi benar-benar dipraktekkan dalam hidupnya. Hampir setiap akhir pekan, ia mengajarkan kehidupan yang luas dan damai kepada kedua anaknya.

“Saya mengajaknya ke pesantren (kebetulan saya dekat dengan Pak Kyai, Prof. DR. Achmad Mubarok –Wakil Ketua Umum Partai Demokrat- dan juga Ketua Umum Pondok Pesantren se-Indonesia yang mempunyai Pondok Pesantren di sekitar Jabotabek)  supaya bisa bergaul dengan sesama anak bangsa dan berbagi dengan mereka. Kehidupan bangsa ini harus dimulai dari hal-hal kecil seperti itu,” tuturnya. Leo juga mengkritik pelajaran agama di sekolah, yang harus memisahkan anak-anak beragama lain ketika pelajaran sedang berlangsung. “Secara tidak sadar, kita menitipkan permusuhan sejak kecil,” imbuhnya.

Dunia Inovatif

Ir. Leo Nababan dilahirkan pada 30 Oktober 1962 di Sei Rampah, sebuah desa di pedalaman Sumatera Utara. Ia berasal dari keluarga yang sangat bersahaja, marginal dan golongan bawah. Sang ayah, H. Nababan adalah seorang guru jemaah gereja sementara ibunya, L. Simanjuntak (almh) adalah seorang guru SD. Kedua orang tuanya mendidik Leo dengan disiplin keras dalam segala hal menyangkut kehidupannya.

“Tetapi saya tidak pernah menyesali dilahirkan dari keluarga biasa-biasa saja. Saya terus bersyukur karena Tuhan Yesus Maha Besar dan selalu mengandalkan-Nya dalam hidup saya. Dari perjalanan hidup yang sedemikian itu membuat saya sangat concern dalam kemanusiaan, memperjuangkan kaum marginal, kelas bawah dari mana saya berasal,” tegasnya.

Kaum marginal, lanjutnya, harus dituntun dan diberdayakan dengan memberikan dan membuka lowongan pekerjaan seluas-luasnya. Begitu juga dengan memberikan modal agar mereka bisa membuka usaha dan mampu membangun kemandirian. Untuk itu, ia sangat mendukung program pemerintah dibawah koordinasi Menko Kesra seperti penyaluran kredit melalui KUR, program PNPM dan bantuan beasiswa bagi anak miskin berprestasi. “Pendidikan merupakan salah satu terobosan untuk mengubah orang-orang yang terpinggirkan,” tandasnya.

Di sisi lain, menurut Leo, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar apabila mampu mengelola SDM dan sumber daya alam dengan baik. Karena seiring dengan kemajuan teknologi di era globalisasi, tantangan yang dihadapi bangsa ini ke depan semakin berat. Mendidik SDM handal dan hebat tidak cukup untuk menghadapinya. Apalagi CFTA (China Free Trade Area) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang tahun ini mulai berlaku membuat persaingan semakin ketat. Tidak hanya produk dari China dan negara-negara ASEAN yang bebas dipasarkan, tetapi juga pasar tenaga kerja terbuka dan bebas beroperasi di Indonesia.

“Makanya saya mengajak bangsa Indonesia untuk kreatif, karena tantangan ke depan bukan lagi SDM yang hebat. Tetapi SDM inovatif dan kreatif yang akan menjadi andalan bangsa ini ke depan. Kita tidak bisa menutup mata, adanya kemungkinan bahwa negara kita hanya sekadar menjadi pasar dunia luar. Saya minta dengan sangat untuk memacu generasi muda agar berkepribadian dan berjati diri, tetapi juga memiliki inovasi dan kreativitas, agar diakui bangsa lain,” tegas pria 48 tahun yang sudah mengunjungi 36 negara ini.

Leo berharap, bangsa Indonesia tidak bersedih hati dan meratapi kondisinya yang terpuruk sekarang ini. Indonesia adalah negara besar yang “hanya” memerlukan pengelolaan yang benar. Seluruh elemen bangsa harus menatap masa depan yang cemerlang dan melupakan kepahitan masa lalu. Jangan pernah menyesal telah menjadi bangsa Indonesia dan harus bangga karenanya. Kuncinya, harus menggembleng generasi muda menjadi generasi kreatif dan inovatif di era globalisasi ini.

“Saya tegaskan sekali lagi, bangsa ini harus menatap masa depan cemerlang. Dengan catatan bahwa nasionalisme harus terus, jangan menyesali kita ini orang Indonesia dan jangan merendahkan bangsa sendiri. Di rumah saya pasang foto besar saat berkunjung ke Eropa, sepatu saya disemir oleh orang bule. Ini merupakan rangsangan bagi bangsa bahwa jangan menganggap orang bule segalanya. Itu mental bangsa terjajah, toh kenyataannya, sepatu orang Melayu bisa disemir oleh bule,” tegasnya.

Tiga C

Perjalanan panjang Ir. Leo Nababan sebagai anak kampung termarjinalkan yang berhasil menaklukkan berbagai rintangan pantas dijadikan teladan. Sederet prestasi gemilang telah diukir oleh ayah dua anak hasil pernikahannya dengan Dr. Fabiola Alvisi Latu Batara ini. Tokoh Batak insipiratif ini pada usia 35 tahun telah menjadi anggota MPR RI. Kini, tanpa pernah menjadi PNS sebelumnya saat usianya 47 tahun diangkat sebagai pejabat Eselon IB di Kantor Menko Kesra.

Meskipun begitu, alumnus Lemhanas RI KRA XXXIX tahun 2006 ini tidak pernah sombong. Justru sikap yang selalu ditampilkan adalah kerendah hatian, selalu menaruh kepedulian serta penuh kasih kepada sesama. Latar belakang sebagai orang marjinal yang pernah menjadi penggembala kerbau dan itik (parmahan) selalu terbawa.

Pria cerdas yang sejak SD hingga SMA selalu menjadi juara kelas ini, diterima di Institute Pertanian Bogor (IPB) tanpa tes tetapi menyelesaikan studi S1 di Universitas Diponegoro, Semarang. Ia adalah peserta terbaik pertama Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas) Pemuda Tingkat Nasional (1994), terbaik pertama International Standard Learning System (Effective Communications and Interpersonal Relation Skill, 1997), 10 besar terbaik Penataran P4 Pemuda Tingkat Nasional (1995) dan mendapat penghargaan KRA – XXXIX Lemhanas RI (Republik Indonesia) tahun 2006.

“Ketika masuk Lemhanas, terjadi pemikiran-pemikiran yang komprehensif integral tanpa memandang suku, agama dan lain-lain. Itu yang selalu membuat dalam menjalankan hidup saya selalu memberikan hal-hal yang the best bagi bangsa Indonesia. Apapun yang terbaik bagi bangsa ini harus kita berikan dengan setulus hati. Mindset berpikir kita pun harus diubah dan sebagai nasionalis tulen, saya harus berpikir pada kepentingan bangsa,” ujarnya.

Aktivitas berorganisasi dijalani Leo Nababan sejak usia belia. Di Bogor, ia masuk senat dan menjadi salah satu pendiri Gerakan Mahasiswa Kosgoro hingga sampai pada posisi Sekjen DPP Mahasiswa Kosgoro. Leo juga pernah menjabat Ketua DPP AMPI yang membawanya sebagai Wakil Sekjen DPP Partai Golongan Karya. Selain itu, Leo juga pernah bekerja di beberapa perusahaan swasta nasional, dari staf direksi, direktur humas hingga komisaris. Sedangkan, di jajaran lembaga negara, Leo pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menpora, Staf Khusus Ketua DPR RI dan sekarang Staf Khusus Menko Kesra, Agung Laksono.

“Ada tiga c yang harus dipegang dalam menjalani kehidupan. Yakni, capability, capital dan connection yang harus sinergis dalam membangun kehidupan. Kemudian tiga hal untuk mencapai sukses adalah mengandalkan Tuhan dalam hidup, bekerja kerja keras meningkatkan kapabilitas dan membangun jaringan seluas mungkin,” tegasnya.

Leo sangat bersyukur, selain capability dan capital, Tuhan juga memberkati dirinya dengan connection/jaringan yang kuat. Memanfaatkan jaringan secara positif, akan mempercepat akselerasi kesuksesan seseorang. Kemudian yang tidak kalah penting adalah intensitas dalam mempertahankan dan memelihara hubungan baik pada jaringan yang sudah terbentuk. Semua itu didapat dari aktivitas berorganisasi yang sangat intensif.

“Saya terus belajar dan lewat organisasi membuka jaringan. Saya berhubungan dengan Pak Agung Laksono itu sudah 18 tahun. Dari sejak beliau memegang jabatan sebagai Sekjen Kosgoro, sementara saya Sekjen Mahasiswa Kosgoro, hubungan tersebut terus terjalin. Dalam interaksi intensif seperti itu, terjadi inovasi berpikir, bergaul dan saya menjadi andalan beliau. Bagi saya, beliau adalah guru, bagaikan buku yang tidak pernah habis saya baca setiap hari,” ungkapnya.

Ke depan, Leo Nababan memiliki obsesi untuk membangun patung Tuhan Yesus tertinggi di dunia di Pulau Samosir. Rencananya ia juga akan membangun patung Nommensen di seberangnya. Namun, ia tidak menargetkan kapan terwujudnya impian tersebut. Ia menyerahkan sepenuhnya obsesi tersebut pada kuasa Tuhan Yang Maha Esa. “Biar Tuhan yang tentukan waktu yang tepat. Puji Tuhan karena memang saya mengandalkan Dia dalam hidup saya,” tambahnya.

Leo sangat menyesalkan pudarnya kepedulian generasi muda Batak atas budayanya sendiri. Jangankan mengikuti pesta-pesta adat, menggunakan bahasa Batak pun generasi muda sudah enggan. Ia sangat khawatir terhadap kepunahan budaya Batak akibat ketidakpedulian tersebut.

Leo Nababan mencontohkan bagaimana bangsa Jepang berhasil dalam hal ini. Setinggi apapun ilmu dan teknologi yang dikuasai, mereka tetap “kembali” menggunakan budayanya sendiri. Sementara orang-orang Batak dan bangsa Indonesia umumnya sudah unang lupa adati.

“Saya mencoba melestarikannya kepada kedua anak saya. Meskipun mereka sekolah internasional dengan bahasa pengantar bahasa Inggris dan Mandarin, sementara ibunya dari Manado, saya mengajari mereka bahasa Batak. Saya juga ajak mereka ke pesta adat Batak dan bergereja di HKBP Menteng. Kalau bukan generasi muda, bisa punah adat itu,” kata penerbit buku “Manghobasi Ulaon Adat Batak” ini.