Drs. Joko Santoso
Drs. Joko Santoso
Kepala SMP Negeri 142 Jakarta
Beberapa Kali Menghindar, Suratan Takdir Membawanya Menjadi Guru
Sosok Drs. Joko Santoso, tidak pernah bercita-cita untuk menjalani profesi sebagai guru. Bahkan dalam mimpi terburuk pun tidak terbersit keinginan menjadi pahlawan tanpa tanda jasa itu. Tetapi suratan takdir menentukan lain, sejak lulus SMA jalan hidupnya mengarah ke sana. Ia diterima sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Semarang.
“Saya tidak tahu kalau STO itu sekolah calon guru. Makanya waktu lulus saya tidak mau mengajar karena memang dasarnya tidak senang menjadi guru. Saya mendaftar dan mengikuti seleksi wajib militer, diterima. Tetapi ketika datang ke Jakarta, ternyata pendidikan ditunda satu tahun karena prioritas lulusan Akademi Perawat dan Kedokteran. Sementara Jurusan Olahraga separuh dipulangkan, termasuk saya. Padahal di rumah sudah mengadakan syukuran,” kata Kepala SMP Negeri 142 Jakarta ini.
Terlanjur malu, ia kemudian “eksodus” dari Jakarta menyeberangi Selat Jawa menuju Lampung. Di provinsi tersebut, ia mendaftar menjadi asisten dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Lampung. Meskipun dinyatakan diterima, lagi-lagi ia “kabur” ke Jakarta. Kali ini bukan karena malu, tetapi desakan orang tua yang menghendaki agar salah satu anaknya tinggal di Jawa. Pasalnya, adiknya telah menekuni bidang pertanian di luar Jawa.
Joko Santoso mengalah. Ia meninggalkan pekerjaan yang telah berada dalam genggaman untuk mencari pekerjaan di belantara ibukota. Di Jakarta, ia “akhirnya” harus menerima kenyataan. Pekerjaan yang selama ini selalu dihindarinya, tiba-tiba terbuka untuk pria kelahiran Klaten, 16 Desember 1958 ini. Baru satu minggu berada di ibukota, ia berkesempatan mengikuti tes ujian penerimaan guru.
“Saya diterima meskipun belum punya KTP dan kartu kuning. Saya lulus, dan berkesimpulan bahwa saya memang harus menjadi guru. Mulai saat itu saya berniat untuk menjadi guru yang benar-benar professional,” katanya.
Niatnya benar-benar dibuktikan setelah menekuni profesi sebagai guru di SMP Negeri 47 Jakarta. Pada tahun kedua, ia sudah berkiprah sebagai pembina OSIS dan memasuki tahun keenam menjadi Wakil Kepala Sekolah (Wakasek). Tiga bulan setelah menjabat Wakasek, ia berkesempatan mengikuti ujian Kepala Sekolah.
Kesempatan yang diberikan ini tidak lepas dari kiprah Joko Santoso di dunia pendidikan DKI Jakarta. Meskipun “hanya” guru olahraga, ia adalah instruktur pendidikan olahraga di seluruh DKI Jakarta pada tahun 1996-1998. Disamping tugas tersebut, ia secara freelance ditugaskan oleh Depdiknas untuk memonitor prestasi olahraga pelajar di seluruh Indonesia. Tugas ini membuatnya sering keliling Indonesia untuk memantau atlet muda di seluruh daerah.
“Mungkin karena itu saya berkesempatan mengikuti ujian Kepsek. Saya memang lulus, tetapi tertunda sampai enam tahun. Nah, dalam masa penantian tersebut saya mulai ragu apakah akan terus menjadi guru atau menekuni usaha saya yang mulai maju. Karena ada pertanyaan besar apakah saya mampu menguliahkan anak-anak dengan gaji sebesar itu,” ujarnya.
Akhirnya, Joko mengukuhkan diri untuk tetap menjadi guru karena usaha penanaman kapas di daerah asalnya gagal. Padahal, ia sangat serius dalam menjalankan usaha tersebut sehingga “dibela-belain” pulang pergi Jakarta-Klaten, setiap Sabtu dan Minggu sore. Kekuatan untuk menjalankan pekerjaan di dua tempat yang terpisah ini membuat kagum Kepala Sekolah karena ia tidak pernah sekalipun meninggalkan tugas.
“Karena usaha bangkrut, lagi-lagi saya berkesimpulan bahwa memang saya harus menjadi guru. Setelah niat itu, secara kebetulan selang satu bulan kemudian saya bertemu Kasudin Pendidikan Dasar Jakarta Pusat. Beliau bertanya berbagai hal dan menyuruh saya mengikuti ujian kepala sekolah. Saya jawab, wah sertifikat saya sudah hampir membusuk, Pak, karena saya sudah ujian lima tahun lalu, kok,” kisahnya.
Dari obrolan tersebut, Joko diminta untuk membawa sertifikat kelapa sekolah-nya ke kantor Kasudin Pendidikan Dasar Jakarta Pusat. Setelah itu proses pengangkatannya sebagai kepala sekolah ternyata sangat gampang. Meskipun banyak guru-guru senior yang sudah memiliki sertifikat kepala sekolah, tetapi ia memperoleh kesempatan awal. “Beliau bilang, satu bulan lagi saya menjadi Kepsek. Mungkin karena tidak pernah tanya dan dilihat dari CV, saya banyak berkecimpung di Kanwil maupun Departemen, sehingga saya diangkat duluan,” imbuhnya.
Tidak Mengejar Prestasi
Dalam berkecimpung di dunia pendidikan, Drs. Joko Santosa menjalaninya secara mengalir dan professional. Seperti meskipun sudah menggenggam sertifikat kepala sekolah sejak tahun 1998, ia tidak pernah mempermasalahkan kenapa dirinya belum juga diangkat sebagai kepala sekolah. Ia juga tidak pernah meminta atasannya untuk mempercepat proses kenaikan jabatanya tersebut.
“Mengalir saja, kalau memang sudah tiba saatnya menjadi Kepsek, pasti jadi juga. Istilahnya saya tidak ngoyo dan mengejar prestasi itu, belajar dari pengalaman-pengalaman yang lalu. Seperti pertama kali menjadi PNS, SK saya ditunda selama satu tahun karena belum punya KTP dan kartu kuning. Saya lulus tahun 1986, tetapi baru pada 1987 baru keluar SK,” katanya.
Joko Santoso sudah membayangkan dirinya akan menjadi gila kalau sampai SK pengangkatannya tidak juga “turun”. Setelah gagal masuk Wamil, gagal menjadi dosen dan seandainya gagal juga menjadi PNS guru, ia tidak akan kuat menanggung malu. Karena terdesak keperluan itu, ia meminta bantuan Kanwil sehingga diputuskan untuk menempatkan dirinya di sekolah negeri. Meskipun untuk itu, ia harus menunggu selama satu tahun.
Sejak itu, Joko benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk dunia pendidikan. Sebagai guru, ia fokus, professional, tidak pernah bolos mengajar dan tidak neko-neko meskipun setiap tanggal 20 gajinya sudah habis. Karena saat itu gaji guru hanya cukup untuk biaya transport saja. Tetapi karena ia memiliki pekerjaan sambilan bisnis, gajinya yang kecil tidak menjadi masalah. Apalagi, saat itu ia juga mengajar di sekolah pelayaran, SMK Santa Lusiana dengan gaji yang “lumayan”. “Sekolah tersebut mendapat dukungan dana dari LSM Belanda,” tambahnya.
Akhirnya Joko dipromosikan dan diangkat sebagai Kepala Sekolah SMP 78. Saat itu, SMP yang dikategorikan sekolah yang bagus dalam kondisi menurun. Tetapi sebelum diterjunkan memimpin SMP 78, ia diajak studi banding ke Singapura oleh Kasudin Pendidikan Dasar Jakarta Pusat. Tujuannya, agar ia tahu bagaimana sekolah yang baik, sehingga bisa dipraktekkan di sekolah yang dipimpinnya.
“Kalau 100 persen tidak mungkin, tetapi setidaknya mendekatilah. Tetapi Alhamdulilah karena guru mendukung, komite mendukung, maka SMP 78 menduduki peringkat kedua di Jakarta Pusat. Saya juga berhasil memperjuangkan rehabilitasi total sekolah, meskipun lahan yang dimiliki hanya 920 meter. Saya terus merayu sama yang diatas, sehingga akhirnya dirombak total menjadi empat lantai. Sayangnya, hari Senin diresmikan, Jumat sebelumnya saya dimutasi di SMP 228,” katanya sambil tertawa.
Merangkap Dua Sekolah
Salah satu “keunikan” karier Drs. Joko Santoso sebagai kepala sekolah adalah beberapa kali merangkap jabatan. Misalnya saat merehabilitasi gedung SMP 78, ia “dipercaya” untuk sekaligus menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP 228 karena kepala sekolah sebelumnya memasuki masa pensiun. Masa jabatan di dua sekolah ini diembannya selama enam bulan.
“Karena merasa jauh dari rumah, saya mengajukan permohonan untuk dipindahkan ke wilayah Jakarta Barat. Tetapi ternyata mulai guru-guru hingga pimpinan inginnya saya definitif di SMP 228. Bukan itu saja, SK yang dikeluarkan Dinas juga menguatkan keinginan mereka,” katanya. Setelah satu bulan definitif memegang SMP 228, Joko juga ditugaskan merangkap di SMP 10. “Ndak tahu kok saya sampai merangkap-rangkap begitu,” tambahnya.
Setelah dua bulan merangkap, Joko kembali fokus memegang satu sekolah saja, SMP 228. Setelah kebijakan Pemda DKI yang mengharuskan seluruh sekolah di Jakarta masuk pukul 06.30, ia mengajukan permohonan pindah. Alasannya, meskipun berangkat dari rumah pukul 05.00 subuh pun, ia sering terlambat. Akhirnya permohonannya dikabulkan dan terhitung sejak tanggal 1 Februari 2010, ia menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP Negeri 142 yang lebih dekat ke rumah.
“Saya lihat di sini banyak PR yang harus dikerjakan, karena keinginan saya juga banyak. Contohnya tingkat kelulusan UN hanya 52 persen, meskipun itu juga bukan murni kesalahan guru. Tetapi memang sarana dan prasarananya sangat minim sekali meskipun dengan gedung semegah ini,” tandasnya.
Di tangannya, sekolah menjadi lebih tertata. Ia memasang kamera di setiap kelas untuk memantau kegiatan belajar mengajar para siswa/guru. Ia juga menambah sarana olahraga, kesenian dan prasarana lain yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. “Pemasangan kamera ini sangat bagus karena murid dan guru merasa diawasi sehingga serius dalam belajar. Mestinya yang masang kamera adalah sekolah yang sudah RSBI. Tetapi meskipun sekolah ini masih standar tetapi mutunya tidak kalah dengan SSN,” katanya.
Drs. Joko Santoso memfokuskan kepada guru sebagai aktor pendidikan di sekolah. Sedangkan murid –meskipun aktif- tetap tergantung sepenuhnya kepada guru. Bahayanya, kalau sampai guru merasa kecewa mereka cenderung untuk mengajar murid-muridnya dengan seenaknya sendiri.
“Saya menggunakan pendekatan dengan merayu guru tetapi menghindari perintah langsung. Kalau menegur saya tidak pernah marah dan menggunakan bahasa yang halus. Karena kesejahteraan guru sudah terpenuhi, tidak ada alasan lagi untuk bermalas-malasan. Kalau mereka mengkritik, saya tidak pernah marah, karena itu justru menambah ilmu saya,” kata kepala sekolah yang bervisi jauh ke masa depan ini.
Untuk “merayu” para guru, Joko setiap enam bulan sekali mengajak mereka untuk makan-makan di restoran. Ia menyerahkan pilihan makanan sesuai selera dan keinginan para guru. Selain itu, melihat hobi para guru bermain tennis meja, ia menambah lapangan tennis meja sebanyak empat unit.
“Itu cara saya merayu mereka. Karena biasanya saya dipandang sebelah mata karena ‘hanya’ guru olahraga. Setelah itu biasanya sudah menyatu dan tidak ada kendala lagi sehingga menjadi semangat semua. Biasanya, ketika guru sudah tertarik dan bersimpati, semua omongan saya diikuti,” katanya membeberkan rahasia “menaklukkan” hati para guru. Di SMP 142 Ia memimpin 47 guru dan 12 karyawan dengan 900 siswa. “Semua guru sudah S1 bahkan ada yang S2. Kecuali kepala sekolahnya yang mogol. Seharusnya tahun 2007 saya sudah selesai S2, tetapi sampai sekarang pun masih belum kelar juga,” tambahnya sambil tertawa.
Ke depan, Joko Santoso memiliki obsesi agar sekolah yang dipimpinnya lebih baik dari sekolah berstandar SSN. Meskipun hingga sekarang SMP 142 tidak berpredikat SSN, tetapi dari pengalaman memegang sekolah sebelumnya, secara kualitas akademis tidak kalah dengan sekolah RSBI. Padahal, sekolah yang dipimpinnya saat itu, SMP 78 rintisan SSN pun belum tetapi prestasinya melebihi sekolah RSBI.
“Karena memang secara lahan tidak memenuhi syarat untuk SSN, tetapi secara akademik bisa diandalkan. Nilai rata-rata akademik sudah 8,3 sementara persyaratan untuk SSN hanya 7,0. Dengan nilai itu sebenarnya sudah sejajar dengan SSN, tetapi kita masih sekolah standar reguler,” ungkapnya. Kegiatan ekstrakurikuler yang menjadi kebanggaan SMP N 78 adalah marching band. “Bahkan, marching band SMP N 78 pernah tampil di negara Belanda dan pernah diboyong Gubernur Bali,” imbuhnya menutup pembicaraan.