Tag: SSN

Drs. Joko Santoso

Drs. Joko Santoso
Kepala SMP Negeri 142 Jakarta

Beberapa Kali Menghindar, Suratan Takdir Membawanya Menjadi Guru

Sosok Drs. Joko Santoso, tidak pernah bercita-cita untuk menjalani profesi sebagai guru. Bahkan dalam mimpi terburuk pun tidak terbersit keinginan menjadi pahlawan tanpa tanda jasa itu. Tetapi suratan takdir menentukan lain, sejak lulus SMA jalan hidupnya mengarah ke sana. Ia diterima sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Semarang.

“Saya tidak tahu kalau STO itu sekolah calon guru. Makanya waktu lulus saya tidak mau mengajar karena memang dasarnya tidak senang menjadi guru. Saya mendaftar dan mengikuti seleksi wajib militer, diterima. Tetapi ketika datang ke Jakarta, ternyata pendidikan ditunda satu tahun karena prioritas lulusan Akademi Perawat dan Kedokteran. Sementara Jurusan Olahraga separuh dipulangkan, termasuk saya. Padahal di rumah sudah mengadakan syukuran,” kata Kepala SMP Negeri 142 Jakarta ini.

Terlanjur malu, ia kemudian “eksodus” dari Jakarta menyeberangi Selat Jawa menuju Lampung. Di provinsi tersebut, ia mendaftar menjadi asisten dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Lampung. Meskipun dinyatakan diterima, lagi-lagi ia “kabur” ke Jakarta. Kali ini bukan karena malu, tetapi desakan orang tua yang menghendaki agar salah satu anaknya tinggal di Jawa. Pasalnya, adiknya telah menekuni bidang pertanian di luar Jawa.

Joko Santoso mengalah. Ia meninggalkan pekerjaan yang telah berada dalam genggaman untuk mencari pekerjaan di belantara ibukota. Di Jakarta, ia “akhirnya” harus menerima kenyataan. Pekerjaan yang selama ini selalu dihindarinya, tiba-tiba terbuka untuk pria kelahiran Klaten, 16 Desember 1958 ini. Baru satu minggu berada di ibukota, ia berkesempatan mengikuti tes ujian penerimaan guru.

“Saya diterima meskipun belum punya KTP dan kartu kuning. Saya lulus, dan berkesimpulan bahwa saya memang harus menjadi guru. Mulai saat itu saya berniat untuk menjadi guru yang benar-benar professional,” katanya.

Niatnya benar-benar dibuktikan setelah menekuni profesi sebagai guru di SMP Negeri 47 Jakarta. Pada tahun kedua, ia sudah berkiprah sebagai pembina OSIS dan memasuki tahun keenam menjadi Wakil Kepala Sekolah (Wakasek). Tiga bulan setelah menjabat Wakasek, ia berkesempatan mengikuti ujian Kepala Sekolah.

Kesempatan yang diberikan ini tidak lepas dari kiprah Joko Santoso di dunia pendidikan DKI Jakarta. Meskipun “hanya” guru olahraga, ia adalah instruktur pendidikan olahraga di seluruh DKI Jakarta pada tahun 1996-1998. Disamping tugas tersebut, ia secara freelance ditugaskan oleh Depdiknas untuk memonitor prestasi olahraga pelajar di seluruh Indonesia. Tugas ini membuatnya sering keliling Indonesia untuk memantau atlet muda di seluruh daerah.

“Mungkin karena itu saya berkesempatan mengikuti ujian Kepsek. Saya memang lulus, tetapi tertunda sampai enam tahun. Nah, dalam masa penantian tersebut saya mulai ragu apakah akan terus menjadi guru atau menekuni usaha saya yang mulai maju. Karena ada pertanyaan besar apakah saya mampu menguliahkan anak-anak dengan gaji sebesar itu,” ujarnya.

Akhirnya, Joko mengukuhkan diri untuk tetap menjadi guru karena usaha penanaman kapas di daerah asalnya gagal. Padahal, ia sangat serius dalam menjalankan usaha tersebut sehingga “dibela-belain” pulang pergi Jakarta-Klaten, setiap Sabtu dan Minggu sore. Kekuatan untuk menjalankan pekerjaan di dua tempat yang terpisah ini membuat kagum Kepala Sekolah karena ia tidak pernah sekalipun meninggalkan tugas.

“Karena usaha bangkrut, lagi-lagi saya berkesimpulan bahwa memang saya harus menjadi guru. Setelah niat itu, secara kebetulan selang satu bulan kemudian saya bertemu Kasudin Pendidikan Dasar Jakarta Pusat. Beliau bertanya berbagai hal dan menyuruh saya mengikuti ujian kepala sekolah. Saya jawab, wah sertifikat saya sudah hampir membusuk, Pak, karena saya sudah ujian lima tahun lalu, kok,” kisahnya.

Dari obrolan tersebut, Joko diminta untuk membawa sertifikat kelapa sekolah-nya ke kantor Kasudin Pendidikan Dasar Jakarta Pusat. Setelah itu proses pengangkatannya sebagai kepala sekolah ternyata sangat gampang. Meskipun banyak guru-guru senior yang sudah memiliki sertifikat kepala sekolah, tetapi ia memperoleh kesempatan awal. “Beliau bilang, satu bulan lagi saya menjadi Kepsek. Mungkin karena tidak pernah tanya dan dilihat dari CV, saya banyak berkecimpung di Kanwil maupun Departemen, sehingga saya diangkat duluan,” imbuhnya.

Tidak Mengejar Prestasi

Dalam berkecimpung di dunia pendidikan, Drs. Joko Santosa menjalaninya secara mengalir dan professional. Seperti meskipun sudah menggenggam sertifikat kepala sekolah sejak tahun 1998, ia tidak pernah mempermasalahkan kenapa dirinya belum juga diangkat sebagai kepala sekolah. Ia juga tidak pernah meminta atasannya untuk mempercepat proses kenaikan jabatanya tersebut.

“Mengalir saja, kalau memang sudah tiba saatnya menjadi Kepsek, pasti jadi juga. Istilahnya saya tidak ngoyo dan mengejar prestasi itu, belajar dari pengalaman-pengalaman yang lalu. Seperti pertama kali menjadi PNS, SK saya ditunda selama satu tahun karena belum punya KTP dan kartu kuning. Saya lulus tahun 1986, tetapi baru pada 1987 baru keluar SK,” katanya.

Joko Santoso sudah membayangkan dirinya akan menjadi gila kalau sampai SK pengangkatannya tidak juga “turun”. Setelah gagal masuk Wamil, gagal menjadi dosen dan seandainya gagal juga menjadi PNS guru, ia tidak akan kuat menanggung malu. Karena terdesak keperluan itu, ia meminta bantuan Kanwil sehingga diputuskan untuk menempatkan dirinya di sekolah negeri. Meskipun untuk itu, ia harus menunggu selama satu tahun.

Sejak itu, Joko benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk dunia pendidikan. Sebagai guru, ia fokus, professional, tidak pernah bolos mengajar dan tidak neko-neko meskipun setiap tanggal 20 gajinya sudah habis. Karena saat itu gaji guru hanya cukup untuk biaya transport saja. Tetapi karena ia memiliki pekerjaan sambilan bisnis, gajinya yang kecil tidak menjadi masalah. Apalagi, saat itu ia juga mengajar di sekolah pelayaran, SMK Santa Lusiana dengan gaji yang “lumayan”. “Sekolah tersebut mendapat dukungan dana dari LSM Belanda,” tambahnya.

Akhirnya Joko dipromosikan dan diangkat sebagai Kepala Sekolah SMP 78. Saat itu, SMP yang dikategorikan sekolah yang bagus dalam kondisi menurun. Tetapi sebelum diterjunkan memimpin SMP 78, ia diajak studi banding ke Singapura oleh Kasudin Pendidikan Dasar Jakarta Pusat. Tujuannya, agar ia tahu bagaimana sekolah yang baik, sehingga bisa dipraktekkan di sekolah yang dipimpinnya.

“Kalau 100 persen tidak mungkin, tetapi setidaknya mendekatilah. Tetapi Alhamdulilah karena guru mendukung, komite mendukung, maka SMP 78 menduduki peringkat kedua di Jakarta Pusat. Saya juga berhasil memperjuangkan rehabilitasi total sekolah, meskipun lahan yang dimiliki hanya 920 meter. Saya terus merayu sama yang diatas, sehingga akhirnya dirombak total menjadi empat lantai. Sayangnya, hari Senin diresmikan, Jumat sebelumnya saya dimutasi di SMP 228,” katanya sambil tertawa.

Merangkap Dua Sekolah

Salah satu “keunikan” karier Drs. Joko Santoso sebagai kepala sekolah adalah beberapa kali merangkap jabatan. Misalnya saat merehabilitasi gedung SMP 78, ia “dipercaya” untuk sekaligus menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP 228 karena kepala sekolah sebelumnya memasuki masa pensiun. Masa jabatan di dua sekolah ini diembannya selama enam bulan.

“Karena merasa jauh dari rumah, saya mengajukan permohonan untuk dipindahkan ke wilayah Jakarta Barat. Tetapi ternyata mulai guru-guru hingga pimpinan inginnya saya definitif di SMP 228. Bukan itu saja, SK yang dikeluarkan Dinas juga menguatkan keinginan mereka,” katanya. Setelah satu bulan definitif memegang SMP 228, Joko juga ditugaskan merangkap di SMP 10. “Ndak tahu kok saya sampai merangkap-rangkap begitu,” tambahnya.

Setelah dua bulan merangkap, Joko kembali fokus memegang satu sekolah saja, SMP 228. Setelah kebijakan Pemda DKI yang mengharuskan seluruh sekolah di Jakarta masuk pukul 06.30, ia mengajukan permohonan pindah. Alasannya, meskipun berangkat dari rumah pukul 05.00 subuh pun, ia sering terlambat. Akhirnya permohonannya dikabulkan dan terhitung sejak tanggal 1 Februari 2010, ia menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP Negeri 142 yang lebih dekat ke rumah.

“Saya lihat di sini banyak PR yang harus dikerjakan, karena keinginan saya juga banyak. Contohnya tingkat kelulusan UN hanya 52 persen, meskipun itu juga bukan murni kesalahan guru. Tetapi memang sarana dan prasarananya sangat minim sekali meskipun dengan gedung semegah ini,” tandasnya.

Di tangannya, sekolah menjadi lebih tertata. Ia memasang kamera di setiap kelas untuk memantau kegiatan belajar mengajar para siswa/guru. Ia juga menambah sarana olahraga, kesenian dan prasarana lain yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. “Pemasangan kamera ini sangat bagus karena murid dan guru merasa diawasi sehingga serius dalam belajar. Mestinya yang masang kamera adalah sekolah yang sudah RSBI. Tetapi meskipun sekolah ini masih standar tetapi mutunya tidak kalah dengan SSN,” katanya.

Drs. Joko Santoso memfokuskan kepada guru sebagai aktor pendidikan di sekolah. Sedangkan murid –meskipun aktif- tetap tergantung sepenuhnya kepada guru. Bahayanya, kalau sampai guru merasa kecewa mereka cenderung untuk mengajar murid-muridnya dengan seenaknya sendiri.

“Saya menggunakan pendekatan dengan merayu guru tetapi menghindari perintah langsung. Kalau menegur saya tidak pernah marah dan menggunakan bahasa yang halus. Karena kesejahteraan guru sudah terpenuhi, tidak ada alasan lagi untuk bermalas-malasan. Kalau mereka mengkritik, saya tidak pernah marah, karena itu justru menambah ilmu saya,” kata kepala sekolah yang bervisi jauh ke masa depan ini.

Untuk “merayu” para guru, Joko setiap enam bulan sekali mengajak mereka untuk makan-makan di restoran. Ia menyerahkan pilihan makanan sesuai selera dan keinginan para guru. Selain itu, melihat hobi para guru bermain tennis meja, ia menambah lapangan tennis meja sebanyak empat unit.

“Itu cara saya merayu mereka. Karena biasanya saya dipandang sebelah mata karena ‘hanya’ guru olahraga. Setelah itu biasanya sudah menyatu dan tidak ada kendala lagi sehingga menjadi semangat semua. Biasanya, ketika guru sudah tertarik dan bersimpati, semua omongan saya diikuti,” katanya membeberkan rahasia “menaklukkan” hati para guru. Di SMP 142 Ia memimpin 47 guru dan 12 karyawan dengan 900 siswa. “Semua guru sudah S1 bahkan ada yang S2. Kecuali kepala sekolahnya yang mogol. Seharusnya tahun 2007 saya sudah selesai S2, tetapi sampai sekarang pun masih belum kelar juga,” tambahnya sambil tertawa.

Ke depan, Joko Santoso memiliki obsesi agar sekolah yang dipimpinnya lebih baik dari sekolah berstandar SSN. Meskipun hingga sekarang SMP 142 tidak berpredikat SSN, tetapi dari pengalaman memegang sekolah sebelumnya, secara kualitas akademis tidak kalah dengan sekolah RSBI. Padahal, sekolah yang dipimpinnya saat itu, SMP 78 rintisan SSN pun belum tetapi prestasinya melebihi sekolah RSBI.

“Karena memang secara lahan tidak memenuhi syarat untuk SSN, tetapi secara akademik bisa diandalkan. Nilai rata-rata akademik sudah 8,3 sementara persyaratan untuk SSN hanya 7,0. Dengan nilai itu sebenarnya sudah sejajar dengan SSN, tetapi kita masih sekolah standar reguler,” ungkapnya. Kegiatan ekstrakurikuler yang menjadi kebanggaan SMP N 78 adalah marching band. “Bahkan, marching band SMP N 78 pernah tampil di negara Belanda dan pernah diboyong Gubernur Bali,” imbuhnya menutup pembicaraan.

Drs. Tarwan , MT

No Comments

Drs. Tarwan , MT
Kepala Sekolah Menengah SMK Penerbangan Dirghantara

Terus Membangun Demi Terwujudnya Target Sekolah Unggulan Tahun 2010

Sebelum berhasil meluluskan siswanya, Sekolah Menengah Kejururuan  Penerbangan Dirghantara ( SMK-PD ) telah memperoleh predikat akreditasi “B”. Dengan predikat tersebut kualitas ataupun persyaratan Sekolah  Menengah Penerbangan di Curug ini diakui pihak yang berwenang. Tentu saja ukuran untuk sekolah baru SMK-PD yang baru berdiri tahun 2005 predikat ini sangat membanggakan.

Pada awal berdirinya SMK-PD ini banyak berkonsultasi/ berhubungan dengan SMKN 29 Jakarta, meliputi sistem kurikulum, sistem pembelajaran, tenaga pengajar kebutuhan laboratorium dan lain-lain. Seiring dengan perjalanan waktu SMK-PD dapat Mandiri, artinya diperkenankan melaksanakan Ujian Nasional sendiri. Padahal diperkirakan sebelumnya Ujian Nasional pertama harus bergabung dengan SMK lain yang sesjenis dan  yang terdekat adalah SMK 29 Jakarta, dan apabila hal itu terjadi memerlukan biaya  tak sedikit yang harus ditanggung oleh para siswanya terutama untuk transportasi.

Bermodalkan predikat akreditasi, dapat membantu sekolah dalam menyampaikan beberapa hal dan kendala yang dihadapi oleh sekolah kepada masyarakat. Dengan kerja keras dan berbagai upaya, akhirnya sedikit demi sedikit fasilitas sekolah dapat dilengkapi. Lulusan pertama SMK-PD adalah 73 orang siswa, sebagian besar sudah diterima dan bekerja di maskapai penerbangan dan sebagian melanjutkan studi. Tidak tahu kenapa anak-anak kami cepat terserap oleh pasar”kata Drs. Tarwan, MT, Kepala Sekolah SMK Penerbangan Dirghantara.

Tidak hanya berhenti disitu, tahun berikutnya bahkan beberapa maskapai penerbangan nasional mendatangi SMK-PD, dengan tujuan  merekrut dan mengikat siswa sebelum mereka “ diambil” oleh perusahaan lain setelah lulus sekolah. Tahun  2009/2010 GMF dapat merekrut 16 siswa, sebagian sedang mengikuti proses rekrut Lion Air. Sementara lulusan umumnya direkrut melalui jalur normal di berbagai maskapai penerbangan, sebagian lainya melanjutkan ke Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI-Curug), Universitas Nurtanio ( UNUR –Bandung ) dan lainnya.

Kepada siswa yang sudah lulus, Tarwan panggilan akrabnya berpesan agar mereka agar tidak pernah berhenti belajar. Lulus dari SMK bukan berarti tugas anda telah selesai, justeru tugas lebih besar telah menanti didepan kita. Mereka akan menghadapi dunia penerbangan yang sebenarnya, yaitu dunia yang tidak mentolerir kesalahan sedikitpun, yang bisa berakibat fatal.

“Mereka harus terus belajar dan belajar.Tantangan di dunia penerbangan relatif berat, karena teknologi penerbangan selalu berkembang dan akan

terus berkembang . Kami mendidik sesuai   dengan kemampuan yang kami miliki, dan kami akui masih banyak lubang yang kitaenahi. benahi” kata pria kelahiran Purwokerto, 12 Agustus 1948 ini
Tarwan sadar, sebagai lembaga pendidikan  baru, baik secara fisik maupun sofware masih banyak kekurangan. Untuk itu  secara operasional setiap saat sekolah melakukan perbaikan-perbaikan yang dirasakan  mendesak, tidak tanggung-tanggung ia merencanakan menjadi SMK Penerbangan Dirghantara Curug sebagai SMK Penerbangan Unggulan pada tahun 2020.

Saat ini, Tarwan sedang membangun kesamaan visi dari semua unsur yang ada di sekolah. Tidak bosan bosanya ia mensosialisasikan secara terus menerus agar komitmen dari semua unsur dapat terbangun. Karena syarat untuk mencapai target menjadi sekolah unggulan tahun 2020 salah satunya adalah adanya komitmen dari semua unsur, sumber daya uang dan sumber daya lainya.

Sebagai sekolah yang ingin mendapatkan predikat sekolah Unggulan, Tarwan telah membuat suatu program semacam master plan dari tahun 2010 – 2020.
Tahun 2010, berkonsentrasi pada pembangunan prasarana/fisik untuk kesiapan akreditasi ulang, membuka kompetensi keahlian baru ( Instrumen Avionic Pesawat Udara ) untuk meningkatkan kinerja.
Tahun 2011, SMK-PD berkonsentrasi untuk pembenahan administrasi guru, administrasi perkantoran, administrasi pembelajaran, dan juga persiapan administrasi ulang ( 2 ) dengan sasaran mendapatkan predikat “A”
Tahun 2012, SMK-PD konsentrasi pada pelaksanaan akreditasi ulang, pembinaan tenaga kependidikan, peninjauan struktur organisasi guna meningkatkan kualitas pembelajaran.
Tahun 2013, SMK-PD kembali konsentrasi pada pembangunan prasarana / fisik lanjutan , pengadaan sarana pendidikan lanjutan dan mengajukan usulan Sekolah Standar Nasional ( SSN )
Tahun 2015, SMK-PD konsentrasi pada implementasi SSN, pemantapan SSN, penerapan ISO, usulan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) , SBI untuk menuju Sekolah Unggulan
Tahun 2020, diharapkan target yang dicanangkan  SMK-PD bisa tercapai  kalau tak ada perubahan kebijakan yang mendasar, menjadi Sekolah Unggulan di Indonesia.

“ Semua itu memang perlu kerja keras dan perjuangan berat. Karena sistem dalam sekolah ini belum satu jalan,  maka masih perlu pembenahan . Sebenarnya untuk mencapai SSN persyaratan  hampir memenuhi, yaitu tinggal kelengkapan peralatan  plus pengajar dengan bahasa inggris hanya  beberapa orang, untuk ISO dengan  syarat tertib administrasi tidak terlalu masalah kalau memang kita ingin komitmen

Komitmen menjalankanya. Kemudian seperti diuraikan diatas setelah SSN, ditingkatkan RSBI yang mensyaratkan guru yang mengajar dengan pengantar bahasa Inggris lebih banyak lagi. Bagi kami hal ini tidak terlalu bermasalah, karena sebagian pengajar kami yang notabene dosen STPI terbiasa mengajar siswa dari negara asing, yakinnya.

Semua rancanan yang disusun Tarwan dimaksudkan untuk membangun SDM penerbangan yang handal dalam menghadapi globalisasi. Disamping membekali ketrampilan teknis, lulusan SMK Penerbangan Dirghantara diharapkan mampu berbahasa Inggris dengan lancar. Rencananya, ia ingin merekrut tenaga pengajar dengan penguasaan bahara Arab. Mengingat sekarang ini di era globalisasi persaingan tenaga kerja sangat ketat dari seluruh penjuru dunia.

“Jadi kalau bisa tidak hanya bahasa Inggris tetapi bahasa asing lainnya juga, karena peluang bidang ini masih sangat terbuka lebar. Kalau kita mampu mencetak lulusan yang qualified di luar negeri masih banyak yang bisa  menampungnya. Dari pada kita mengirim TKI yang non ketrampilan, mendingan mengirim yang begitu kan . Maka saya berangan-angan merekrut lulusan dari Madrasah, kita didik dan kita kirim ke luar negeri, beherja sama dengan Depnaker. Peluang besar di bisnis bidang penerbangan untuk orang-orang kompeten dan punya sikap,”tandasnya.

Jajaran Perintis

Drs. Tarwan, MT, sebelumnya  sebagai salah satu Instruktur Sekolah Tinggggi Indonesia (STPI), pada tahun 1987 ditugaskan sebagai pengajar Mekanika Teknik pada Jurusan Teknik Penerbangan. Ia juga ditugaskan sebagai tenaga fungsional sebagai Pimpinan Instalasi Teknik Umum.

Tahun 1996, Tarwan mendapat kesempatan untuk melanjutkan  pendidikan pada jenjang Magister(S2) di ITB jurusan yang diambilnya sesuai dengan pekerjaan sehari-hari berkutat didunia penerbangan. Magister Teknik  diselesaikan pada tahun 1998, masih tetap mengajar. Kemudian  ditugaskan sebagai Kepala Sup Penyusunan Program kurang lebih selama setahun. Selanjutnya diberikan kesempatan sebagai Kepala Balai Diklat Penerbangan di Palembang( akhir 2000 s/d akhir 2004.

Anak keempat dari empat bersaudara pasangan Sumardi dan Rakyah (almh) kemudian ditugaskan sebagai dosen tetap di STPI dengan pangkat Lektor Kepala. Tugas ini memberinya banyak waktu luang pada sore hari yang dimanfaatkan untuk mengabdi kepada masyarakat. Salah satunya ikut bergabung sebagai  staf pengajar pada SMK  dilingkungan Curug.

Secara resmi SMK Penerbangan Dirghantara berdiri pada tahun 2005 berlokasi  di kompleks STPI Curug. Sejak awal ia ditugasi sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum kemudian merangkap  sebagai Pelaksana Teknis Operasional (PTO) SMK-PD ( 2008-2009). Pekerjaan yang dilakukanya laksana Kepala Sekolah, karena Kepala Sekolah sudah sepuh hanya saja PTO tak berwenang menandatangani surat-surat resmi. Baru pada bulan Maret 2010  Tarwan kemudian diangkat sebagai Kepala Sekolah SMK-PD secara definitif.

“Visi kami para lulusan SMK Penerbangan Dirghantara Curug, handal dibidangnya masing-masing. Visi yang kita usung adalah “ Menyiapkan teknisi handal dibidang Mesin dan Rangka Pesawat Udara, Instrument dan Avionic Pesawat Udara, berdisiplin, bertanggung jawab dan bermartabat, target kami

terutama ingin membina anak didik agar tangguh, kreatif dan bertanggung jawab dilapangan sesuai bidangnya masing-masing”ungkap ayah empat anak hasil pernikahannya dengan Theresia Haryatun ini.

Oleh karena itu SMK Penerbangan Dirghantara dibawah kepemimpinan Tarwan pada pembinaan sikap yang salah satunya adalah disiplin. Sebagai tolok ukur atau tepatnya cermin adalah Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia ( STPI ) Curug Tangerang, walaupun secara umum belum mencapai kondisi yang menyerupai dalam cermin, tetapi upaya menumbuhkan sikap tersebut terus dilakukan, apalagi sebagian adalah dosen STPI.
“Kita mencoba  menekankan sikap disiplin sebagai budaya yang harus dilaksanakan . Disamping itu sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku kami juaga mengupayakan beberapa type mesin sebagai sarana pelatihan. Meskipun  kita hanya beli mesin bekas karena harga mesin baru mahal dan tak terjangkau , karena kita harus memiliki guna memenuhi persyaratan. Karena predikat akreditasi kita baru “B” nanti kita ingin meningkat menjadi “A”. Kita sedang berupaya untuk bisa memiliki pesawat/mesin yang untuk praktek, bisa juga diterbangkan”ujar pemilik motto ‘Semua yang dihadapi dijalani dengan ikhlas’ ini menguraikan harapanya.

Masuk Angkatan Laut.

Awalnya Drs. Tarwan, MT tidak sedikitpun bercita-cita mejadi guru. Sebagai anak petani biasa, lebih tertarik menjadi tentara. Karena pada saat itu masuk AKABRI ( Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ) masih relatif mudah, tak perlu koneksi maupun persyaratan lai, semua berdasarkan atas prestasi dan kemampuan masing-masing secara obyektif.

“Sejak kecil saya ingin masuk Angkatan Laut, itu cita-cita saya karena pakaianya putih rapi dan kalau berbaris bagus. Tetapi orang tua punya pepatah Jawa “ mangan ora mangan anggere kumpul” maka saya mendaftar sekolah yang relatif dekat rumah. Pada saat itu yang sejalan dengan lulusan STM adalah APTN ( Akademi Pendidikan Teknologi Negeri ) yang lulusanya menjadi calon guru STM dan berubah menjadi ATN ( Akademi Teknologi Negeri ) sementara saya sendiri tidak senang menjadi guru. Karena pada saat itu menjadi guru relatif mudah ( untuk mengisi lowongan karena banyak guru tersangkut G.30 SS/PKI ), sehingga bila punya Ijasah setinggkat SLTP, kita ikut kursus beberapa bulan sudah bisa jadi guru ( SR). Jadi saat itu menurut saya profesi guru kurang menantang” tuturnya.

Setelah lulus dari Akademi Teknologi tahun 1974, Tarwan kemudian “merantau” ke Tangerang. Saat itu kota satelit Jakarta ini sedang giat pembangunan pabrik secara besar-besaran. Ia bekerja dibidang pemasangan mesin dan kemudian bekerja pada suatu perusahaan di Tangerang, dengan jabatan Kepala Seksi Maintenance Produksi hingga memiliki anak. Tahun 1978, ia mulai berpikir sesuai dengan karakternya yang tidak bisa berspekulasi, karena bekerja di swasta terasa pasang surut, sehingga kurang tenang, maka mencari peluang untuk menjadi PNS, karena walaupun gaji kecil  tetapi kontinyu.

Tarwan kemudian mencoba mendaftarkan diri ke Departemen Perhubungan yang saat itu membuka lowongan. Ia diterima dan ditempatkan di Curug sebagai Instruktur. Artinya  profesi yang selama ini dihindari dan dianggap kurang menantang akhirnya harus dijalani. Awalnya ia bertugas sebagai seorang Instruktur hanya sebatas  tanggung jawab pekerjaan saja. Namun lambat laun ia sangat menikmati dan enjoy sebagai guru.

“Karena setiap hari mengajar dan merasa enjoy tadi, sekarang bahkan saya ingin menularkan pengetahuan yang saya miliki kepada orang lain . Jadi guru senang bila melihat siswa-siswanya lebih maju menjadi orang yang bermanfaat. Filosofi hidup saya adalah “bekerja apa yang saya bisa kerjakan dengan kesungguhan dan keikhlasan”, kata pria yang tidak suka bawa pekerjaan kerumah ini.

Sebagai pimpinan di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Swasta, Tarwan merasa perhatian pemerintah masih terbatas. Dengan dana APBN 20 persen, perhatian kepada sekolah swasta masih tetap kecil. Ia mengibaratkan masih terasa dianak tirikan  sedangkan sekolah negeri dianak emaskan.

“Ini masih kurang adil, mestinya sekolah swasta agak lebih diperhatikan lagi. Harusnya ada keseimbangan, meskipun sekarang sudah mulai menerima bantuan terkesan sekadarnya saja” kata pria yang terkesan awet muda ini. Ia membocorkan rahasia awet muda yang dimilikinya, yaitu tidak pernah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. “ Saya tidak bisa hati saya berdebar-debar. Pokoknya saya bersyukur dengan hidup apa adanya seperti  sekarang ini” imbuhnya.

Mengakhiri pembicaraan, Tarwan berpesan kepada generasi muda agar bersungguh –sungguh dalam mengembangkan bakatnya . Setiap bakat merupakan anugerah Tuhan, apapun bentuknya tidak boleh disia-siakan dan harus ditekuni. Sebisa mungkin orang tua tidak memaksakan kehendak yang tidak sesuai dengan bakat anak” cukup mengarahkan dan menunjangnya.” Yang nantinya malah bisa kontra produktif dan dapat menghancurkan masa depan si anak “ Pokoknya talent atau bakat apapun bagus asalkan ditekuni dengan sungguh-sungguh. Semua harus dilakukan dengan benar-benar dan secara total, yang Insya Allah hasilnya akan optimal” tegasnya.