Tag: Sutopo Somaprawiro

Dr. H. Sutopo Somaprawiro, SpOT, FICS

Kualitas SDM Tidak Kalah

Dunia kedokteran Indonesia akan memasuki zaman baru di era globalisasi. Pasien Indonesia yang sebelumnya berbondong-bondong ke luar negeri untuk berobat, di era keterbukaan tidak perlu melakukannya. Karena para dokter dan ahli kesehatan dari seluruh dunia bebas membuka praktek di negara manapun termasuk Indonesia. Di akui teknologi kesehatan di bidang orthopaedi dalam beberapa hal agak terbatas khususnya di daerah, tetapi di pusat-pusat pendidikan orthopaedi Indonesia teknologi tersebut telah memadai.

Oleh karena itu, pasien Indonesia yang biasanya berobat ke luar negeri cukup dilayani di negeri sendiri. Memang sebagian rumah sakit Indonesia telah menempatkan tenaga dokter luar negeri di RS yang dipimpinnya. Hal ini sesuai kesepakatan aturan Depkes dalam era globalisasi ini. Sekali lagi, kualitas SDM kedokteran Indonesia tidak kalah dengan para dokter asing. Dokter Indonesia bahkan memiliki kelebihan memahami karakter bangsa Indonesia secara mendalam sehingga mampu memahami pasien dengan baik.

“Di daerah, khususnya dari segi teknologi kedokteran kita memang kurang. Tetapi secara kualitas, dokter Indonesia mampu mengimbangi dokter luar negeri. Sebenarnya, kemampuan dan prestasi kedokteran kita masih bisa mengimbangi luar negeri. Jadi kita tidak perlu minder atau menjadi luar negeri minded,” kata Dr. H. Sutopo Somaprawiro, SpOT, FICS.

Spesialis orthopaedi dari RS Orthopaedi Dr. Soeharso Solo ini, mengungkapkan bagaimana sebuah operasi putus tendon Achilles menjadi berita besar beberapa tahun lalu. Penyebabnya, operasi tersebut dilakukan di sebuah rumah sakit besar di luar negeri. Pemberitaan media massa yang cukup gencar, membuat peristiwa tersebut seolah-olah operasi besar yang hanya bisa dilakukan oleh seorang spesialis dan pakar dari rumah sakit besar dan luar negeri.

Sejatinya, operasi putus tendon Achilles serta kasus-kasus serupa lainnya bisa dilakukan di Indonesia. Di rumah sakit Dr. Soeharso Solo, operasi sejenis sering dilakukan. Baik untuk “sekadar” me-repair tendon Achilles maupun untuk merekonstruksinya hingga berfungsi seperti sedia kala.

“Sayangnya, operasi tersebut tidak pernah dimuat di koran,” ujarnya. Sutopo mengimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk menggalakkan ’Aku Cinta Indonesia’ dan meningkatkan rasa handarbeni (memiliki) Indonesia. “Saya senang sekali acara ‘Beli Indonesia’ di Solo beberapa waktu lalu, 20 Juni 2011, itu akan menggugah masyarakat Indonesia untuk mencintai produk bangsa sendiri,” imbuh Sutopo yang berharap masyarakat Indonesia tidak silau terhadap hal-hal yang berbau luar negeri ini.

Sutopo mengakui globalisasi memberi pengaruh positif di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi orthopaedi. Hanya saja, ia mengingatkan pengaruh tersebut harus disikapi dan disesuakan dengan kondisi di dalam negeri itu, khususnya menyangkut dana yang diperlukan. Karena dana sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan dunia orthopaedi terkait peralatan yang berharga cukup mahal.

Di sisi lain, lanjutnya, Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas memerlukan banyak sekali sarana dan prasarana kesehatan. Utamanya wilayah luar Jawa yang sangat minim fasilitas kesehatan serta fasilitas umum lainnya. Kondisi tersebut, membuat tenaga-tenaga kesehatan enggan ditugaskan ke daerah, meskipun belum termasuk daerah terpencil. Akibatnya, rakyat di daerah yang harus menanggung akibatnya sehingga sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.

“Dokter, baik orthopaedi maupun lainnya, dalam bekerja memerlukan sarana dan prasarana. Itu harus disiapkan oleh pemerintah. Sehubungan dengan itu, alat-alat untuk operasi, fasilitas transportasi dan perumahan harus dipenuhi, jadi tidak melulu gaji bulanan saja. Pemerintah juga harus memberikan saran-saran untuk mengarahkan mereka. Karena tugas dokter tidak hanya di Jakarta atau Jawa saja, tetapi di daerah banyak diperlukan dokter. Kalau tidak, anak daerah harus belajar keras hingga menjadi dokter atau ahli lainnya untuk membangun daerah masing-masing,” tegasnya.

Falsafah ‘Mbanyu Mili”

Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada tanggal 30 Agustus 1969, Dr. H. Sutopo Somaprawiro, SpOT, FICS, tidak segera mengurus penempatan kerja. Saat itu, ia masih menikmati masa bakti sosial, kegiatan yang lebih dikenal dengan sebutan ‘turba’ atau turun ke bawah. Kegiatan turba, saat itu sedang ngetrend dilakukan oleh sarjana kedokteran yang baru lulus.

Ia selalu mengikuti kegiatan berkeliling daerah, mulai di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Lampung, sampai Sumatera Selatan. Memang sejak belum lulus kuliah, ia sudah aktif mengikuti turba bersama para senior. Bahkan setelah lulus pun, ia masih aktif dalam kegiatan ini. “Saya ikut turba baik sebagai tim medis maupun sebagai bagian tim lengkap yang terdiri atas tim pertanian, tim dakwah, maupun tim sosial lain,” ujarnya.

Hingga akhirnya, Sutopo tersentak oleh kesadaran yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Pertanyaan tersebut adalah, kapan dirinya akan bekerja sebagai dokter sungguhan. Berkat jasa Prof. Dr. R. Soeharso (alm), ia ditempatkan di Lembaga Orthopaedi dan Prothese (LOP) Surakarta, sebagai pegawai bulanan. “Beliau mengajukan nama saya kepada pihak Departemen Kesehatan RI untuk menempatkan saya di LOP Surakarta. Saat ini LOP Surakarta menjadi RS Orthopaedi Prof. DR. R. Soeharso Surakarta dan Bagian Prothese hanya menjadi bagian dari Rehabilitasi Medik di RS Orthopaedi tersebut,” katanya.

Mengenai orthopaedi, spesialisasi yang ditekuninya selama ini, Sutopo mengetengahkan batasannya yang diambil dari American Academy of Orthopaedic Surgery (1960), yaitu: ‘Orthopaedics is the medical specialty that includes the investigation, preservation, restoration, and development of the form and function of the extremities, spine, and associated structure by medical, surgical, and physical method.’

Berdasarkan batasan itu maka ruang lingkup orthopaedi dan traumatologi sama dengan ruang lingkup kedokteran pada umumnya, yaitu kelainan bawaan (sejak lahir), trauma, infeksi, neoplasma (tumor), kelainan degeneratif (kemunduran), kelainan metabolic, bahkan kelainan fungsi dan bentuk akibat/segualae cerebral palsy dan poliomyelitis, yang mengenali anggota gerak atas, anggota gerak bawah, dan tulang belakang, baik mengenai tulangnya sendiri maupun mengenai associated structure.

Di Indonesia, lanjutnya, digunakan singkatan SpOT untuk Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi yang diletakkan di belakang nama dokter. SpOT ini tergabung dalam Perhimpunan Ahli Bedah Orthopaedi Indonesia atau PABOI yang berinduk pada Ikatan Dokter Indonesia. Saat ini anggota PABOI sudah lebih dari 400 orang dokter ahli ortopedi. Menurut Sutopo, jumlah tersebut sangat sedikit mengingat jumlah penduduk Indonesia mencapai 234 juta jiwa. Saat ini PABOI memiliki 13 cabang di Indonesia, meliputi seksi yang jumlahnya ada tujuh, yakni seksi-seksi spine, hand, orthopaedic pediatric, sport, joint replacement, orthopaedic oncology dan yang terbaru yaitu orthopaedic rheumatology. Indonesia Orthopaedic Rheumatology Association (IORA) dibentuk pada tanggal 16 Juni 2011 di Pekanbaru.

“Solo menjadi center pendidikan orthopedi yang kelima, sekarang sudah bertambah tiga lagi. Jakarta, Surabaya, Makassar, Bandung, Solo, Medan, Denpasar dan lain-lain. Sekitar ada sepuluh center ortopedi di seluruh Indonesia, dengan dokter ahli orthopaedi di hampir seluruh kabupaten di Jawa sudah,” ujarnya. Ia mengacu pada keberadaan pusat pendidikan orthopaedi di tanah air ini. Semula hanya ada di UI Jakarta dan Unair Surabaya. Kemudian berkembang pula di Unhas Makassar, Unpad Bandung, UNS Surakarta, dan akan diikuti oleh pusat pendidikan lain di Indonesia. “Khusus di Solo, pendidikan orthopaedi diselenggarakan oleh UNS yang bekerjasama dengan RSOP Prof. Dr. R. Soeharso dan RSUD Dr. Moewardi,” imbuhnya.

Sutopo memasuki masa pensiun per tanggal 1 April 2002, saat menginjak usia 60 tahun setelah menjalani masa bakti selama 32 tahun. Pria kelahiran Purworejo, 25 Maret 1942 ini mengaku tidak punya alasan khusus menggeluti profesi di bidang ini. “Saya mengikuti falsafah ‘mbanyu mili, yaitu mengalir seperti air. Sesuai sifatnya, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Ini juga yang menjadi salah satu sunatullah,” kata anak dari pasangan H. Mustofa dan Hj. Sutirah ini.

Sesuai dengan falsafah tersebut, kita harus qonaah yaitu merasa cukup, puas dan senang hati serta ridhlo atas apa yang telah dianugerahkan atau ditakdirkan oleh Allah SWT kepada kita dan yakin bahwa itu yang terbaik bagi kita. Qonaah tidak berarti fasilitas serta menerima nasib secara pasif tanpa ikhtiar. Setelah ikhtiar secara maksimal dan sambil berdoa, maka harus ridhlo atas hasilnya atau keputusan Allah SWT. “Saya telah ditakdirkan untuk berbakti di Solo,” ujarnya.

Berkutat di lingkungan orthopaedi, Sutopo menemui kenyataan banyaknya masyarakat yang memerlukan pelayanannya. Berbarengan dengan itu, menurutnya, orthopaedi sebagai ilmu atau disiplin kedokteran masih belum dikenal secara meluas. “Secara tidak langsung, timbul rasa cinta pada ilmu atau disiplin kedokteran ini sehingga saya termotivasi untuk mempelajari dan mengamalkannya pada mereka yang memerlukan pelayanan ini,” ujarnya.

Sutopo prihatin karena keberadaan spesialis orthopaedi dan traumaologi masih sangat terbatas untuk rasio penduduk Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa. Maka, ia dituntut berlaku istiqomah, yaitu memiliki keteguhan hati untuk mempelajari, menekuni, dan mengamalkan ilmu ini. Komitmen kuat Sutopo untuk menekuni bidang ini menemui kendala besar, terlebih untuk berprofesi sebagai ahli bedah orthopaedi. Kendala ini terkait dengan sistem pendidikan yang ada. Sistem pendidikan di Solo waktu itu, LOP mensyaratkan pendidikan ahli bedah orthopaedi selama lima tahun hanya bisa di ikuti oleh dokter umum.

Sutopo yang baru satu tahun menjadi asisten Soeharso harus menerima kenyataan pembimbingnya itu wafat pada tanggal 27 Juli 1971. Sementara di Jakarta mensyaratkan pendidikan ahli bedah orthopaedi selama dua tahun dan bisa diikuti oleh dokter umum. “Jalan buntu menghadang di depan saya. Saya sempat ditawari oleh Direktur LOP ke dua – alm. Dr. Hermawan Sukarman Sp.BO – untuk mengambil keahlian tertentu yang masih ada hubungannya dengan orthopaedi di Australia seperti ahli paraplegi atau ahli rheumatologi. Atau, saya dianjurkan mengambil spesialis lain di dalam negeri,” ujar Sutopo yang mengambil sikap untuk tetap bekerja di LOP Surakarta. Di situ ia bisa terus memberi pelayanan dan tentu saja sambil belajar.

Sampai akhirnya, atas jasa Prof. Dr. H. Sularto Reksoprojo, FICS (alm), ia diijinkan mengikuti pendidikan Ahli Bedah Orthopaedi di FKUI Jakarta mulai Mei 1976 secara resmi. Sebelumnya, ia juga berkesempatan berpartisipasi dalam The First National Congress of the Indonesian Orthopaedi Association, Jakarta, 1-3 Nopember 1974 dan Simposium Orthopaedi Daerah, Jakarta, 25 Oktober1975.

Setelah lulus pendidikan ahli bedah orthopaedi pada 17 Nopember 1978, Sutopo merasa lebih mantap bekerja. Ia melaksanakan pengabdian kepada begitu banyak pasien dengan beragam penyakit orthopaedi dan cacat fisik orthopaedi. Berdasarkan pengamatannya Sutopo berpendapat, pertambahan jumlah spesialis orthopaedi dan traumatologi dibarengi dengan pertambahan jumlah pasiennya. “Jumlah pasien orthopaedi di Solo tidak berkurang. Ternyata ungkapan ‘The orthopaedic surgery is A surgery for yesterday, today and tomorrow’ menjadi benar adanya,” ujarnya.

Meski demikian, Sutopo tak ingin menyangkal perkembangan ilmu orthopaedi dan traumatologi di Indonesia cukup maju. Baik pengetahuan mau pun teknologinya selalu mengikuti perkembangan mutakhir. Menurutnya kemajuan ini dipicu oleh:
 Pertama, Continuing Orthopaedic Education (COE) rutin dilaksanakan setiap enam bulan. Ini merupakan ajang pertemuan para spesialis orthopaedi dan traumatologi sekaligus untuk menyimak presentasi yang disampaikan oleh para ahli-ahli dari dalam dan luar negeri.
 Ke dua, kongres PABOI yang rutin diadakan setiap dua tahun. Forum yang lebih akbar ini menghadirkan presentasi para ahli dari luar negeri dengan porsi yang lebih besar pula.
 Ke tiga, simposium atau seminar baik yang dilaksanakan oleh bagian orthopaedi fakultas kedokteran berbagai universitas di Indonesia mau pun rumah sakit tertentu.
 Ke empat, para ahli dari Indonesia aktif mengikuti pertemuan-pertemuan international.

Mengaitkan kemajuan ini dengan keberadaan dirinya saat ini, Sutopo yang telah menjadi “lansia” secara fisik dan talenta, merasa mengalami penurunan kompetensi seperti dalam hand surgery, micro surgery, dan navigated surgery. Meskipun demikian, ia sangat bersyukur karena sebagian rekan-rekan spesialis orthopaedi dan traumatologi –tentu yang lebih muda dan potensial– sangat aktif dan involved. Bahkan sebagian dari rekan-rekannya tersebut telah go international, sehingga minimal kita tidak makin tertinggal.

“Beberapa hari lalu, tanggal 16-18 Juni 2011 di Pekanbaru, saya menghadiri COE ke-58. Di sana, diketahui bahwa Dr. Andri MT Lubis, SpOT, baru saja berhasil meraih Juara II dalam sebuah forum internasional di Amerika. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa kita tidak perlu rendah diri terhadap kemajuan kedokteran dunia luar. Meskipun saya tidak pernah mendapat seperti itu, tetapi saya turut bangga atas pencapaian tersebut,” ungkapnya bangga.

Pelayanan Orthopaedi Meluas

Harapan Sutopo terhadap kedokteran orthopaedi tidak terlalu muluk. Ia hanya mengharapkan agar tetap bisa melayani penderita-penderita orthopaedi di usia senjanya. Selain itu, ia ingin menolong siapa pun -baik kaum dhuafa atau pun pasien biasa- yang datang menemui sampai saat-saat terakhir dalam hidupnya. Satu hal yang selalu diinginkannya adalah, meskipun dengan usia yang semakin menua, Sutopo ingin masuk dalam kategori manusia yang baik, yaitu manusia yang berumur panjang dan baik amalnya.

“Saya ingin baik dalam bersikap dan beramal untuk masyarakat umum, anak cucu, dan keturunan-keturunan selanjutnya. Bukan saja di bidang orthopaedi tapi juga dalam kehidupan sosial keagamaan. Harapan saya yang lain dapat menangi (Jawa) selesainya pendidikan anak keempat, bisa mensupport dan mendukung sampai dia berkeluarga,” katanya.

Khusus bagi para spesialis orthopaedi dan traumatologi yang lebih muda, Sutopo berharap mereka senantiasa terpacu untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan ke-orthopaediannya. Ia berharap mereka bisa meningkatkan pelayanan tanpa pilih-pilih pasien miskin atau dhuafa dan pasien VIP atau elit. Sehingga, terjadi pula peningkatan pengabdian dan dedikasi kepada masyarakat dan bangsa, selain tentu saja untuk peningkatan kesejahteraan diri dan keluarga semata. “Masyarakat Indonesia harus tahu, bahwa spesialis orthopaedi dan traumatologi Indonesia telah sejajar dengan sejawatnya di luar negeri yang ipteknya sudah sangat maju,” ujarnya bersemangat.

Di sisi lain, Sutopo mengaku tidak menemui hambatan berarti dalam menjalankan tugas dan pengabdiannya kepada masyarakat. Kesibukan yang nyaris menyita waktunya 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu tidak menjadi beban selama keluarga tetap mendukungnya.

“Itu dulu, tetapi secara umum, tidak ada masalah dengan dukungan keluarga. No problem. Paling-paling, terkadang mereka harus membukakan pintu pada setengah atau sepertiga malam terakhir, saat saya harus pergi meninggalkan rumah atau pun pulang dari rumah sakit. Atau kesibukan saya terkadang mengganggu acara keluarga yang sudah direncanakan,” kata ayah dari Dr. Vita Susianawati, Sp.A, M.Kes; Afiani Dwi Handayani, SPsi., Psi; Arif Nugroho, ST, SE; dan Muhammad Subarkah ini.

Sutopo tetap memegang erat pendapatnya yang menyatakan dokter adalah profesi mulia dan luhur. Agaknya, pendapat pribadi Sutopo sejalan dengan pendapat yang berlaku umum, menjadikan profesi ini sebagai ladang untuk berbakti kepada masyarakat dan pengguna jasa kedokteran. Selain itu, ia juga menjadikan profesi ini sebagai sarana mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

“Saya sudah semakin tua. Tetapi saya semakin merasakan bertambahnya kewajiban untuk membantu dan menolong masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka. Khusunya pada masalah kesehatan dan masalah sosial keagamaan pada umumnya,” kata suami Hj. Siti Awalina ini dan kakek tujuh orang cucu ini.

Tanpa bermaksud menggurui, ia mencoba mengingatkan bahwa tujuan penting menjalani kehidupan ini adalah mencapai kebaikan di dunia dan akhirat. “Kita akan mencapai posisi tertinggi saat berhasil menjadi muttaqin, yaitu orang yang bertakwa kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya,” kata Sutopo yang tergerak untuk menyampaikan pesan reliji kepada generasi muda. Sebuah hadist Nabi menyebutkan, Allah SWT mencintai orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, tapi lebih mencintai orang-orang muda yang bertakwa, tanpa memandang profesi dan pekerjaannya.

Akhir kata, setelah penisun dari PNS, Sutopo saat ini menjadi dokter mitra di RS PKU Muhammadiyah Surakarta dan RS Islam Yarsis Surakarta di Pabelan, Sukoharjo.