Yasonna Hamonangan Laoly S.H., MSc., PhD merupakan seorang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Kabinet Kerja periode 2014-2019.
Yasonna Hamonangan Laoly S.H., MSc., PhD merupakan seorang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Kabinet Kerja periode 2014-2019. Ia dilantik pada tanggal 27 Oktober 2014 oleh Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, Yasonna menjadi anggota DPR RI di Komisi II pada periode 2004 hingga 2009. Ia juga anggota politisi PDIP yang berlatarbelakang sebagai akademis, aktivis organisasi, intelektual dan pemimpin di perguruan tinggi.
YASONNA H LAOLY
Kerja keras, konsistensi dan integritas mengantarnya sebagai akademisi sekaligus politisi yang mumpuni. Ia pun mendapatkan kehormatan di luar perkiraannya: menjadi Menteri Hukum dan HAM dua periode di Pemerintahan Jokowi dan diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Kriminologi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK).
Sorak-girang benar-benar menggemuruh di sebagian besar orang Nias, ketika pada 27 Oktober 2014, Presiden Jokowi mengumumkan nama Yasona Hamonangan Laoly sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bagi warga Nias, ini peristiwa langka. Bisa jadi kesempatan hanya sekali. Ada kebanggaan yang begitu meluap. Maklum saja, sepanjang sejarah Republik Indonesia, itu kali pertama seorang putra Nias menjadi seorang menteri! Orang yang berlatar etnik Nias—sering disebut sebagai Ono Niha–merasa kepalanya turut disematkan sebuah mahkota emas nan berkilau.
Ono Niha ternyata bisa. Ono Niha ternyata dihargai. Ini sejarah! Dan, sejarah itu ditorehkan oleh seorang Yasonna Hamonangan Laoly. Ini pencapaian tertinggi bidang pemerintahan di kalangan orang Nias. Tentu saja, prestasi yang amat membanggakan itu, tidak tercipta begitu saja. Ini salah satu buah dari serangkaian perjuangan hidup Yasonna, yang tidak saja keras, tapi konsisten serta sarat nilai-nilai sebagai akademisi sekaligus politisi yang mumpuni. Tak heran bila dia mendapat kehormatan di luar perkiraannya: Menjadi Menteri Hukum dan HAM di Pemerintahan Jokowi Periode 2014-2019.
Dalam kabinet yang diberi nama Kabinet Kerja itu, Yasonna kemudian berhasil menunjukkan kerja keras, konsistensi dan integritas lewat beragam prestasi, terobosan maupun gebrakan. Alhasil, ketika Jokowi kembali terpilih sebagai presiden untuk kedua kali, Yasonna kembali ditunjuk sebagai Menkumham dalam Kabinet Indonesia Maju.
“Blasteran” Nias-Batak
Nama ‘Yasonna Hamonangan Laoly’ mungkin terdengar sedikit aneh di telinga, khususnya bagi masyarakat di luar Provinsi Sumatera Utara, sebab nama ini memadukan unsur bahasa Batak dan Nias.
Nama ‘Yasonna’ diambil dari bahasa Nias ‘Yaso Nasa’, artinya ‘masih ada lagi’. Harapan ayahnya agar setelah kelahiran Yasonna, masih ada lagi adik-adik Yasonna yang akan terlahir. Sedangkan ‘Hamonangan’ dalam bahasa Batak berarti ‘kemenangan’. Dan ‘Laoly’ merupakan salah satu marga dalam masyarakat Nias.
Ya, lelaki kelahiran 27 Mei 1953 ini memang mewarisi gen dari dua etnis yang berbeda, yakni ayah bersuku Nias bernama F. Laoly dan ibu bersuku Batak bernama R. Sihite. Bisa jadi, faktor ini yang membuat tumbuh sebagai anak yang tampan dan cerdas.
Ayahnya berlatar belakang polisi, dengan pangkat terakhir mayor. Lalu menjadi anggota DPRD Kota Sibolga dan anggota DPRD Tapanuli Tengah dari Fraksi ABRI.
Anak pertama dari enam bersaudara ini dilahirkan di Sorkam-Tapanuli Tengah. Pada saat ia berumur dua tahun, keluarganya sempat pindah ke Barus-Tapanuli Tengah. Beberapa tahun kemudian, pindah lagi ke Kota Sibolga. Di Sibolga inilah Yasonna menghabiskan masa kecil dan remaja.
“Di Sibolga, awalnya kami tinggal di sebuah rumah kontrakan, tetapi kemudian sekitar tahun 1960-an, kami diperkenankan untuk tinggal di Asrama Polisi Sambas Sibolga. Tak lama kemudian orangtua akhirnya mampu membangun rumah sendiri,” tuturnya.
Rumah di Jalan Jati Nomor 34, Kelurahan Pancuran Kerambil, Kecamatan Sibolga Sambas itu hingga kini masih kokoh berdiri, namun tetap sederhana, seperti dulu. Di sanalah, orangtua Yasonna membesarkan keenam anaknya.
Hijrah ke Politik
Yasonna merasa bersyukur karena banyak impiannya bisa terwujud. Salah satunya mimpi bisa sekolah ke luar negeri. Tahun 1983, Universitas HKBP Nommensen mengirimnya untuk kuliah nongelar di Roanoke College, di Salem, Virginia, Amerika Serikat.
Program perkuliahan yang disebut Internship in Higher Education Administration itu bertujuan menyiapkan siswa menjadi pemimpin di universitas. Dalam program ini, Yasonna mempelajari sistem administrasi selama 1 tahun.
Lulus dari program tersebut, Yasonna langsung kuliah S2, juga atas bantuan Universitas HKBP Nommensen, di Virginia Commonwealth University Amerika Serikat.
“Saya lulus dengan nilai tertinggi hingga memperoleh penghargaan Outstanding Graduate Student Award. Surat penghargaan itu saya serahkan ke Rektor HKBP Nommensen. Rektor langsung menyuruh saya untuk kuliah S3. Akhirnya saya mengambil program doktor di North Carolina State University di Amerika Serikat,” ujarnya.
Sekembalinya ke Indonesia, Yasonna terpilih menjadi Dekan Fakultas Hukum. Pada 1998, bergulir Gerakan Reformasi. “Di awal gerakan reformasi, saya melihat masalah bangsa sangat berat sekali, ekonomi down, suasana politik benar-benar chaos. Saya merasa punya bekal pendidikan, punya pengetahuan, punya latar belakang sebagai aktivis mahasiswa, saya ingin ikut memperbaiki keadaan itu,” katanya.
Atas saran beberapa teman, Yasonna pun terjun ke dunia politik. Kebetulan orientasi politiknya sudah terbentuk sejak masih kuliah di USU. Dia selalu ikut kampanye mendukung PDI pada masa pemilu. Maka dia pun mantap bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Ketika Pemilu 1999, Yasonna terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara (1999- 2004) mewakili Kepulauan Nias. Sepertinya, ia menemukan panggungnya di bidang politik. Dunia politik benar-benar ditekuninya. Maka ia pun masuk di struktur kepengurusan DPD PDIP sebagai salah seorang wakil ketua.
Pernah juga dipercaya sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan di DPD PDIP. Beberapa tahun sebelum Pemilu 2004, ia mengikuti Kursus Guru Kader Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh DPP PDIP. Lalu ia diberi amanah untuk mengkoordinir kursus serupa di tingkat Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, kesibukannya semakin bertambah, karena sudah mulai sering diminta oleh DPP PDIP untuk membantu beberapa urusan penting. Seiring dengan itu, jejaringnya pun semakin luas.
Meskipun demikian, ia tetap rindu menularkan ilmunya kepada mahasiswa. Di sela-sela kesibukannya, ia berusaha menyempatkan diri mengajar di kampus Universitas HKBP Nommensen Medan dan beberapa program pascasarjana. Hingga sekarang ia masih tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.
Berbekal pengalaman, kapasitas ilmu dan jejaring itu, maka ia memutuskan untuk “naik kelas”. Pada Pemilu 2004, ia bertarung menjadi salah seorang Calon Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumut I (Medan, Deliserdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi). Ia percaya diri saja meski diletakkan di nomor urut 2. Ternyata, kerja kerasnya berhasil. PDIP mendapat dua kursi di daerah pemilihan tersebut. Ia pun melenggang ke Senayan.
Pada Pemilu 2009, ia kembali diberi ruang dan kepercayaan untuk menjadi salah seorang Calon Anggota DPR RI dari PDIP. Ia dipindahkan ke Daerah Pemilihan Sumut II (meliputi Kepulauan Nias, Tapanuli, Asahan dan Labuhan Batu). Lagi-lagi ia beruntung. PDIP dapat dua kursi. Pada periode kedua ini, karirnya semakin melejit. Ia dipercaya menduduki jabatan strategis, di antaranya Ketua Fraksi PDIP MPR RI, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI. Ia bahkan sempat dinominasikan sebagai Ketua MPR RI pascameninggalnya Taufik Kiemas. Ia juga beberapa kali memimpin Panitia Khusus RUU Politik. Ia benar-benar diperhitungkan sebagai politisi yang mumpuni. Ia terkenal sebagai politisi yang handal mengemukakan pendapat. Bicaranya lantang tapi runtut. Memikat orang yang mendengar. Namun tidak asal bicara. Kedalaman ilmu serta kekayaan wawasan membuat setiap pendapat dan pandangannya terasa tajam dan berbobot.
“Ketika menjadi pimpinan di Badan Anggaran DPR RI, salah satu hal yang saya kenang adalah saat mendorong pemerintah untuk memperbesar anggaran ke daerah. Karena kami percaya pembangunan dimulai dari daerah. Saat itu, kita benar-benar menekan pemerintah untuk meningkatkan anggaran tersebut,” kata lelaki yang suka joging itu.
Sewaktu menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP di MPR, Yasonna sempat pergi ke banyak daerah sampai jauh ke pedalaman untuk menyosialisasikan “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara”. Penyuka masakan Manado ini merasa penting menyosialisasikan falsafah tersebut di tengah lunturnya semangat nasionalisme, terutama di kalangan generasi muda.
Di lapas mana pun di dunia ini pasti ada kebijakan remisi. Jika tidak mau ada remisi, berarti pengadilan harus memberikan hukuman mati atau vonis seumur hidup. Jika masih dihukum sementara, maka setiap tahanan berhak mendapatkan remisi.”
Memimpin Kemenkumham
Karir politik Yasonna Hamonangan Laoly semakin melesat ketika Presiden Joko Widodo mengangkatnya sebagai Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Pengalaman bertahun- tahun sebagai seorang akademisi di bidang hukum sekaligus pengacara, serta pengalaman menjadi anggota Komisi III DPR/MPR-RI (2005-2009), menjadikannya mudah beradaptasi di posisi barunya saat ini.
Yasonna membuat sebuah gerakan di lingkungan Kemenkumham, berupa kredo “Ayo Kerja, Kami Pasti”, yang dimulai sejak 1 Juni 2015. “Ayo Kerja” lebih merupakan dorongan agar para pegawai di lingkungan Kemenkumham selalu giat bekerja. Sementara “Kami Pasti” merupakan singkatan dari Kami Profesional, Akuntabel, Sinergis, Transparan, Inovatif.
“Saya membentuk tim ke daerah-daerah untuk mengampanyekan gerakan itu. Lewat gerakan tersebut, pegawai Kemenkumham diberi pemahaman supaya giat bekerja. Tapi jangan sampai merasa paling hebat sendiri, sebab dia hanya bisa bekerja dengan baik kalau mau bersinergi dengan yang lain. Dia harus transparan dalam pengambilan keputusan, dalam pengelolaan keuangan dan sebagainya. Dia juga harus mampu melahirkan inovasi-inovasi baru untuk mempercepat dan memperbaiki kinerja Kemenkumham,” ujar penggemar lagu-lagu Frank Sinatra itu.
Meski begitu, Yasonna mengakui bukan hal mudah untuk memimpin kementerian sebesar Kemenkumham. Beragam persoalan dan tantangan menerpa dirinya, antara lain persoalan buruknya kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan masuknya narkoba ke dalam lapas. Sudah bukan rahasia umum jika banyak lapas di Tanah Air mengalami overkapasitas. Tidak main-main, di beberapa lapas, overkapasitasnya melonjak sampai 700%. Banyak tahanan yang tidurnya harus bergantian karena kurang tempat tidur, atau tidur berdesakan dalam sebuah ruangan. Ada juga lapas yang kekurangan fasilitas kamar mandi. Akibatnya di pagi hari, satu kamar mandi bisa diantri oleh tiga puluh orang. Dengan kondisi lapas seperti itu, satu hari ditahan di sana, terasa seperti satu tahun.
“Ada juga lapas yang hanya punya empat petugas, sementara mereka harus mengawasi tujuh ratus tahanan dari beragam latar belakang tindak kriminal. Bayangkan? Yang bisa dilakukan keempat sipir itu setiap hari hanya berdoa,” ujar Yasonna dengan nada prihatin.
Dalam Pusaran Kritik
Semakin tinggi pohon tumbuh, semakin kencang angin menerpa. Pepatah lama itu kiranya tepat untuk menggambarkan posisi Yasonna saat ini. Sebagai seorang menteri yang berasal dari parpol pemenang pemilu, tak urung dia ikut menjadi salah satu ‘sasaran tembak’ golongan oposisi.
Beberapa kebijakannya menuai kritik dari lawan-lawan politik, antara lain kebijakan seputar kisruh Partai Golkar dan PPP serta pemberian remisi untuk koruptor. Yasonna dianggap memecah belah Partai Golkar dan PPP serta tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi.
Yasonna merasa yakin jika kebijakannya sudah sesuai peraturan perundang-undangan. Soalnya, dia ikut menyusun UU Partai Politik, sehingga tahu benar “roh” dari undang-undang tersebut.
Namun dia berusaha memaklumi karena dalam suatu pertikaian pasti akan ada pihak yang tidak puas. “Saya tidak memecah belah Golkar maupun PPP. Kenyataannya sebelum masalahnya sampai ke saya, mereka memang sudah terpecah belah. Saya mengambil keputusan melalui kajian sangat mendalam. Hakim Agung dan Hakim Konstitusi membenarkan keputusan saya. Setiap kebijakan selalu siap saya pertanggungjawabkan kepada siapapun, termasuk kepada presiden.
“Selama saya yakin jika keputusan saya sesuai UU, sesuai dengan keilmuan saya, maka saya terusmaju. Sejauh ini saya bersyukur, Presiden bisa memahami keputusan saya,” ujarnya.
“Soal remisi, remisi adalah hak setiap narapidana, termasuk koruptor. Filosofi kita di Kemenkumham kan pembinaan, pemasyarakatan, bukan penghukuman yang didasari pembalasan dendam. Kemenkumham tugasnya membina manusia bukan membinasakan manusia. Jangan sampai terjadi, Kemenkumham justru melanggar HAM. Jadi kalau ada tahanan sudah berkelakuan baik, sesuai ketentuan UU dia berhak mendapatkan remisi,” ujar lelaki yang pernah meraih penghargaan Sigma Iota Rho International Honor Society itu.
Menurut Yasonna, kalau lembaga lain, katakanlah KPK, ingin supaya seorang koruptor dihukum berat, maka jatuhkanlah hukuman itu di pengadilan, bukan di Kemenkumham. Kemenhumhan tugasnya hanya membina, bukan menjatuhkan hukuman. Bagian dari pembinaan itu adalah memberikan hak pendidikan, hak beribadah, hak untuk dikunjungi keluarga, dan hak-hak lain termasuk memberikan hak remisi bagi narapidana yang berkelakuan baik. “Di lapas mana pun di dunia ini pasti ada kebijakan remisi. Jika tidak mau ada remisi, berarti pengadilan harus memberikan hukuman mati atau vonis seumur hidup. Jika masih dihukum sementara, maka setiap tahanan berhak mendapatkan remisi,” ujarnya.
Meski memperjuangkan hak pemberian remisi bagi setiap narapidana, Yasonna tetap setuju jika ada treatment khusus bagi narapidana kasus korupsi, teroris dan bandar narkoba. “Misalnya napi kasus lain mendapatkan remisi dua bulan, maka untuk napi korupsi, teroris dan bandar narkoba hanya setengahnya, itupun harus melalui proses tertentu. Nah, kalau pembedaan semacam ini, kita setuju,” tukas Yasonna.
Soal pemberitaan di beberapa media massa yang cenderung menyudutkan dirinya, Yasonna merasa hal itu sangat wajar terjadi, mengingat jaringan media massa saat ini dikuasai oleh pengusaha-pengusaha yang ikut terjun ke kancah politik. Media massa semacam itu tentu akan selalu berusaha mendiskreditkan lawan-lawan politik mereka.