Inspirasi Emas Ashar Arifin
(Sebuah Kisah Perjalanan Sukses Anak Desa)
I Cerita Pagi Dari Desa Amessangang Orai
ASHAR Arifin dilahirkan di Desa Amessangang Orai, sebuah perkampungan di Sungai Walannae, Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, pada 24 April 1954. Ia adalah anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Arifin Dg Manrafi-Andi Patellongi.
Ayahnya, Arifin adalah anak dari Muhammad, keturunan ulama tersohor di Kabupaten Bone pada era revolusi fisik. Sedang ibunya, Andi Patellongi merupakan putri bangsawan terpandang di Soppeng bernama Andi Matti.
Setelah menikah dengan Patellongi, Arifin menetap ke TonrongngE, desa di sebelah barat Sungai Walannae, Sengkang. Sampai kelahiran putra kedua mereka, keluarga ini hijrah ke Desa Amessangeng Orai, perkampungan di sebelah timur Sungai WalannaE. Di desa itulah Arifin dan Patellongi membesarkan anak-anaknya.
Dari kecil, Ashar diasuh oleh kakak kandung neneknya, seorang perempuan lajang bernama Pung Matta. Setengah dari masa kecilnya ia habiskan di sana. Ia baru benar-benar kembali ke orangtuanya setelah menginjak usia remaja, saat Pung Matta meninggal dunia.
Di masa itu kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam keterpurukan. Bangsa ini baru sekitar satu dasawarsa terbebas dari penjajahan kolonial. Bekas-bekas pemerintahan Hindia Belanda juga masih tampak di sana-sini.
Pemerintahan Orde Lama, baru merintis pundi-pundi ekonomi rakyat yang runtuh selama berabad-abad. Dekade 1950-an menjadi fase transisi, dimana kesulitan dirasakan di hampir semua pelosok negeri.
Mata pencarian masyarakat Desa Amessangang Orai kebanyakan bertani. Mereka menggantungkan hidup dari hasil panen. Dengan keterbatasan infrastruktur dan cara bercocok tanam yang masih serba konvensional, petani hanya bisa mengharapkan panen sekali setahun. Kondisi ini membuat warga desa sulit keluar dari bayang-bayang kemiskinan.
Anak-anak banyak yang putus sekolah. Keadaan memaksa mereka turut bekerja di sawah dan di ladang. Banting tulang mencari nafkah, membantu kehidupan ekonomi keluarga.
Hanya segelintir dari mereka yang bisa mengenyam pendidikan dengan layak. Keadaan diperparah oleh pola pikir orangtua yang sangat terbelakang.
Penjajahan intelektual yang ditinggal pemerintah Hindia Belanda, menyeret cara pandang orangtua tentang pendidikan ke arah yang keliru. Pendidikan dipandang hanyalah milik kaum borjuis.
Para orangtua terikat oleh filosofi hidup primitif yang menganggap pendidikan bukan sesuatu yang penting untuk dikejar. Filosofi ini terpelihara turun-temurun.
Ashar kecil melihat betul betapa miris kehidupan warga desa. Anak-anak seperti tengah hidup
dalam situasi yang tidak mungkin ia lawan. Keterbelakangan, kemiskinan dan sempitnya kesempatan menaungi kehidupan mereka.
Arifin yang telah menetap di Amessangeng Orai melanjutkan usaha turun temurun dari ayahnya sebagai tukang jahit. Usaha ini mencapai masa-masa kebangkitan sebelum Patellongi melahirkan putra kelimanya, bernama Muchdar.
Sebagai perempuan berdarah bangsawan, Patellongi, juga mewarisi banyak harta dari orangtuanya. Namun kemudian mereka mengalami keterpurukan saat Arifin secara diam-diam menikahi seorang perempuan di Ujungpandang.
Siapa sangka, pernikahan ini menjadi awal dari runtuhnya usaha keluarga. Kehidupan keluarga yang dulunya berkecukupan, kini mengalami kesulitan ekonomi.
Saat itulah Ashar diboyong Pung Matta, saudara kandung neneknya, I Dance. Perempuan yang melajang hingga akhir hayatnya itulah yang banyak membentuk kepribadian Ashar kecil. Ia seorang yang mandiri. Ia mengajarkan Ashar banyak hal. Membesarkannya dengan kesederhanaan.
Bersekolah di SR (Sekolah Rakyat), Ashar sudah terbiasa mencari nafkah sendiri. Dari berjualan tebu, gula tare (semacam permen karet tradisional Bugis yang berbahan baku gula merah), kacang goreng sampai balon tiup.
Ia berjualan keliling hingga ke sudut-sudut kampung. Di SR, Ashar tidak pernah punya sepatu maupun sandal. Begitu juga dengan kedua kakaknya, Anwar dan Juhriah, ke sekolah, terpaksa dengan bertelanjang kaki.
Saat musim panas tiba, mereka harus mencari jalanan berumput. Menghindari jalanan berbatu dan panas, agar kaki tak terbakar oleh sengatan matahari.
Ashar mulai berdagang keliling membawa gula-gula tare buatan sang nenek saat usianya menginjak 8 tahun. Waktu itu, gula-gula tare sangat digemari anak-anak di Desa Amessangang Orai. Inilah salah satu penganan favorit masyarakat setempat.
Keuntungan dari berdagang gula-gula tare, tak seberapa. Hanya cukup buat menutupi kebutuhan sehari-hari.
Sambil menjajakkan gula-gula tare, ia juga berjualan tebu. Tebu adalah makanan musiman yang selalu laris manis. Musim tebu berlalu, untuk menunjang kebutuhan sekolahnya Ashar beralih berdagang balon tiup. Tatkala musim layang-layang tiba, ia juga membuat layangan untuk dijual. Lalu, lewat seorang teman sekampungnya, Ashar belajar membuat mobil-mobil mainan berbahan baku kaleng bekas.
Mobil-mobil ini ia buat sesuai pesanan, sampai-sampai ia kewalahan memenuhi permintaan anak-anak di kampungnya.
Sepulang sekolah ia berjualan rokok. Selanjutnya berdagang kacang goreng. Gula merah khas bone juga sempat ia jajakkan di Sengkang.
Ia juga berdagang aksesori berupa gelang yang terbuat dari urat batu. Waktu itu, aksesori ini sedang tren di kalangan remaja.
Sedikit demi sedikit keuntungan dari berjualan ia sisihkan. Sampai kemudian jumlahnya lumayan besar.
Ketika uang tabungannya cukup, ia sempat tergiur untuk membeli sepatu. Memakai sepatu ke sekolah adalah hal yang diidam-idamkannya selama ini. Selama sekian tahun belum pernah sekalipun ia mempunyai sepatu sendiri.
Kini Ashar punya kesempatan. Setelah ia hitung-hitung, ternyata, uang tabungannya cukup untuk itu. Tetapi niat ini kandas, tatkala Pung Matta tahu. Pung Matta tak sependapat Ashar menguras tabungan hanya demi sepasang sepatu. Menurut dia, uang itu akan lebih berguna jika disimpan untuk kebutuhan besok lusa.
Sepatu bisa ditunda sampai nanti, kata Pung Matta. Tak memakai sepatu juga ia tetap bisa sekolah. Toh di kampung, Ashar bukan satu-satunya anak yang tidak punya sepatu.
Sepatu adalah barang langka bagi anak-anak Desa Amessangang Orai. Hampir semua anak sekolah, tidak punya sepatu.
Akhirnya harapan untuk bisa bersepatu kembali tak kesampaian. Lama kelamaan, Ashar semakin terbiasa dengan keadaan ini. Panas terik yang kadangkala membakar telapak kakinya tak lagi dihiraukannya.
II Saat Kesulitan Memuncak
Saat usianya beranjak remaja, Ashar kehilangan sosok yang dihormatinya. Neneknya, Pung Matta. Pung Matta meninggal akibat sakit berkepanjangan.
Kepergiaan perempuan itu meninggalkan kesedihan yang teramat dalam. Di saat ia masih membutuhkan bimbingannya, nenek justeru dipanggil menghadap Allah.
Ashar terpaksa kembali ke rumah orangtuanya. Tinggal dan berkumpul bersama ibu dan saudara-saudaranya, bukan berarti masalah jadi lebih entang. Sebaliknya, di sinilah sesungguhnya ia memulai perjuangan hidup.
Kesulitan ekonomi betul-betul dirasakan keluarga ini. Untuk sekadar makan sehari-hari saja, sulitnya bukan main. Ashar dan keluarganya terpaksa harus makan beras bercampur pisang.
Kadangkala jika persediaan beras menipis, Patellongi mengolah pisang agar bisa dimakan sebagai pengganti beras. Untunglah, kebun pemberian orangtuanya di desa seberang masih menghasilkan tanaman yang bisa dikonsumsi sehari-hari.
Kesulitan semakin terasa ketika harga kebutuhan pokok melambung akibat krisis ekonomi. Beras tak terjangkau. Lauk-pauk langka. Sehari-hari keluarga ini hanya mengonsumsi penganan-penganan olahan dari pisang sebagai pengganti makanan pokok.
Puncaknya terjadi ketika Andi Patellongi sakit dan harus diopname di rumah sakit. Sementara, uang tabungan sudah terkuras habis. Kiriman dari ayahnya di Makassar, sejak beberapa bulan terakhir juga mulai tersendat.
Menitih air mata Ashar menyaksikan tubuh ibunya terbaring tak berdaya. Rasa putus asa menghampirinya. Ia seperti tidak punya cara lagi untuk menyelamatkan ibunya.
Biaya rumah sakit sangat besar. Sedang di tangannya hanya tersisa hasil tabungan dari berjualan, yang jumlahnya tak seberapa. Untunglah, Juhriah masih punya sedikit simpanan.
Uang tabungannya itu ia kuras. Semua perhiasannya juga ia jual untuk membiayai pengobatan ibunya.
Selama ayahnya jauh dari mereka, Juhriah yang bekerja keras. Bertenun sarung, menjahit hingga berdagang apa saja.
Juhriah mewarisi keahlian menjahit dari ayahnya. Ketika usaha penjahitan keluarga tutup karena Arifin pergi, Juhriah yang melanjutkannya. Tetapi karena masalah permodalan, usaha ini sulit bangkit seperti sedia kala. Penghasilan dari bertenun sarung dan menjahit hanya cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Saat usahanya merosot dan ia mulai sakit-sakitan, Arifin memutuskan kembali ke Sengkang berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Sejak itu ia kembali menggeluti profesi lamanya sebagai tukang jahit.
Tetapi, maklumlah, kehidupan di desa masih serba terbatas. Usaha menjahit tak banyak membantu menopang kehidupan keluarga.
Jangankan untuk sekolah anak-anaknya, hidup sehari-hari saja, ia harus bekerja serabutan. Ashar
juga tidak mungkin memaksakan ayah menyekolahkannya di tengah kondisi yang serba kekurangan seperti sekarang. Apalagi, ia masih punya kakak laki-laki (Anwar Arifin) yang lebih pantas untuk melanjutkan pendidikan ketimbang dirinya.
Sejak itu, Ashar kembali berjualan. Dari menjual rokok, buah-buahan sampai es balok.
Dari hasil ini Ashar bisa membantu ibunya membuka kios campuran kecil-kecilan di kolong rumah. Kios ini banyak membantu menghidupi keluarganya.
Di musim buah, ia juga berjualan buah-buahan. Jika kebetulan bertepatan datangnya bulan Ramadhan, buah-buahan itu ia jajakkan di pelataran mesjid kampung setiap Magrib hingga usai shalat Tarwih.
Ketika musim panen padi, Ashar tak ketinggalan turun ke sawah. Terkadang membantu memanen atau memikul padi, dengan perhitungan upah per sekali pikul.
III Putus Sekolah Demi Keluarga
Setelah tamat SMP, Ashar melanjutkan pendidikan ke SMEA, sekolah kejuruan satu-satunya di Sengkang. Beban keluarga Arifin pun semakin berat. Sekarang, ia harus membiayai dua anak laki-lakinya yang sudah duduk di sekolah menengah atas dan di perguruan tinggi; Ashar dan kakaknya Anwar.
Mereka tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Arifin sebenarnya sudah tak sanggup lagi membiayai mereka. Tetapi, tanggung jawab sebagai orangtua memaksanya untuk bertahan.
Belakangan kondisi kesehatannya kian menurun. Sakit menahun menggerogoti tubuhnya, membuat pria ini menjadi ringkih dan harus beristirahat total.
Praktis, di saat sang ayah terbaring sakit, tumpuan keluarga beralih kepada Ashar dan kakak perempuannya Juhriah. Inilah masa-masa paling menyedihkan dalam kehidupan keluarganya.
Kini ia bukan lagi sekadar dituntut memikirkan diri sendiri. Di pundaknya ada beban keluarga yang harus ia pikul. Ayah, ibu dan juga saudara-saudaranya, semua membutuhkan uluran.
Beruntung dulu ia pernah belajar menjahit sedikit-sedikit. Lewat kepandaian itu Ashar melanjutkan usaha ini. Sampai kemudian ia dan kakaknya Anwar dihadapkan pada dua pilihan sulit.
Salah satu dari mereka harus mengalah untuk berhenti sekolah. Musababnya, kesulitan ekonomi yang mereka alami sekarang, mustahil bagi keduanya untuk sama-sama lanjut di pendidikan tinggi.
Ashar sepertinya tahu diri. Sejak ayahnya sakit-sakitan, ia memang sudah bertekad menjadi pengganti beliau di keluarga itu. Jadi apapun yang terjadi, dialah yang harus mengalah.
Sejak itu Ashar berhenti sekolah. Mimpi emas yang pernah ia rangkai kini harus terkubur dalam-dalam.
Di tengah kesulitan yang melilit, Ashar tetap berusaha bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Guna membantu menambah penghasilan adiknya di kampung, setiap bulan Anwar mengiriminya majalah Prisma dan surat kabar terbitan mingguan untuk dijual.
Berjualan majalah, Ashar bisa menyalurkan hobi membacanya. Dulu waktu di SR, Ashar sering menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Membaca buku-buku sejarah, komik, ilmu agama dan juga tentang bisnis.
Tetapi, sejak duduk di bangku SMP, hobinya ini tak tersalurkan dengan rutin sampai akhirnya ia putus sekolah.
Lewat majalah Prisma, Ashar banyak menimba pengalaman baru. Di majalah ini ia bisa
mengetahui lika-liku kehidupan di kota besar seperti Ujungpandang. Tentang bagaimana orang hidup di sana. Dan banyak lagi pengetahuan yang belum pernah didapatkannya selama ini.
Suatu hari, sebuah artikel di majalah itu menyita perhatiannya. Ada satu tulisan tentang kisah pengusaha yang dulunya terluntah-luntah di Ujungpandang, yang kemudian menjadi seorang konglomerat di ibu kota.
Dalam tulisan itu, sang pengusaha menceritakan dirinya seorang anak desa yang memilih hijrah ke kota karena kian sempitnya kehidupan di desa. Di kota ia berjuang seorang diri. Tidur dari satu emperen toko ke emperan toko yang lain.
Dia datang tanpa modal apa-apa, kecuali hanya satu, semangat dan kegigihan. Pada endingnya, anak desa itu sukses membangun sebuah usaha yang dirintisnya dari nol, lalu mengantarnya menjadi salah seorang pengusaha tersukses di masa itu.
Artikel ini seolah membangunkannya dari tidur. Benar-benar mengusik benaknya. Mungkinkah ada kejadian seperti itu? Kata Ashar membatin. Seorang anak desa yang miskin, kemudian tiba-tiba menjadi konglomerat? Mungkinkah saya juga bisa seperti dia?
Pertanyaan itu berkecamuk di pikirannya. Ada asa yang menghinggapinya seketika, meski di satu sisi, ia juga merasa ini mustahil.
IV Spirit Dari Kisah Anak Desa Jadi Konglomerat
Pucuk dicinta ulam tiba. Di saat mimpi-mimpi untuk menuai sukses mengusiknya, Anwar datang dari Ujungpandang. Ia membawa kabar gembira tentang peluang usaha di kota.
Anwar mengatakan, beberapa waktu lalu, rekannya bernama Nasaruddin menawari kerja sama untuk membuka usaha konveksi di pusat pertokoan, Jalan Irian. Nasarudin punya sepetak lods kecil di sana dan bisa dimanfaatkan untuk membuka usaha menjahit.
Keduanya lalu sepakat memanggil Ashar ke Ujungpandang untuk membuka usaha penjahitan di pusat pertokoan itu. Awalnya, Ashar ragu. Di samping karena pertimbangan modal, ia juga merasa belum begitu ahli menjahit.
Dulu semasa ayahnya masih hidup, Ashar hanya menjahit pakaian-pakaian yang tidak terlalu rumit, seperti celana dan baju-baju kemeja model konvensional.
Ia khawatir, di Ujungpandang nanti malah disodori pakaian-pakaian yang bermotif rumit. Tetapi Anwar mendesaknya agar berani mencoba. Katanya, daripada hidup tak menentu di kampung, lebih baik mengadu nasib di Ujungpandang.
Ashar jadi teringat artikel anak desa yang jadi konglomerat di majalah Prisma. “Mungkinkah ini jalan yang ditunjukkan Allah?” Begitu hatinya berujar.
Dengan keyakinan dan dorongan kakaknya, Ashar akhirnya hijrah ke Ujungpandang pada pertengahan tahun 1976. Saat itu, Anwar juga sudah menyelesaikan kuliah S1 di perguruan tinggi.
Ashar mulai sadar ternyata kehidupan di kota tidak lebih mudah dari apa yang pernah dijalaninya di desa. Ia kembali teringat kisah anak desa yang menjadi konglomerat.
Di salah satu penggalan kisahnya sang konglomerat bercerita tentang kerasnya kehidupan kota. Bertahan hidup hanya dengan makan sekali sehari selama bertahun-tahun. Ia bahkan mulai dihinggapi rasa putus asa, dan akan mati dalam kelaparan.
Ternyata, apa yang digambarkan konglomerat itu benar adanya. Ashar tengah berada dalam situasi itu sekarang.
Bulan berikutnya Ashar ketiban order besar berupa peci dari Akademi Pajak Indonesia (API).
Waktu itu bertepatan dengan penerimaan mahasiswa baru, API membutuhkan puluhan lembar peci untuk keperluan perpeloncoan.
Ashar memberanikan diri menerima order ini, apalagi pihak API bersedia membayar uang panjar, ia sempat ragu bisa menyelesaikan pekerjaan ini. Siapa sangka di sinilah awal kebangkitan usaha Ashar.
Ashar mulai kebanjiran order. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1977, melalui toko penyalur pakaian, Harmonis, ia mendapatkan kepercayaan menangani proyek pengadaan seragam militer Kodam, yang jumlahnya mencapai ribuan pasang.
Ashar langsung merekrut 50 tukang jahit untuk dipekerjakan. Sejak itu ia tak lagi terlibat langsung dalam proses jahit menjahit. Melainkan hanya mengawasi dan menjadi pengarah bagi para pekerja.
Di saat geliat usaha mulai tampak, masalah justru muncul. Pemilik tempat, Nasaruddin, yang banyak mendengar keberhasilan Ashar, tiba-tiba saja datang merecoki. Ia berniat mengambil alih penuh usaha ini.
Pertama-tama, Nasaruddin mengambil kebijakan sepihak dengan mengatur semua order yang masuk. Ia juga mengintervensi seluruh pengelolaan keuangan, sehingga posisi Ashar perlahan terpinggirkan.
Ashar mencoba bertahan, berharap ada pembicaraan lagi dengan yang bersangkutan. Tetapi, rupanya pria itu terlanjut silau oleh kemajuan usaha ini. Beragam cara dilakukan agar bisa menyingkirkan Ashar. Terakhir, ia mempersoalkan legalitas perjanjian bagi hasil antara yang dibuat antara dirinya dengan Anwar.
Tak ada pilihan lain, ia harus angkat kaki. Usaha konvensi kemudian dikuasai sepenuhnya oleh Nasaruddin.
Sejak itu, Ashar kembali harus memulai hidup dari nol. Sekarang ia tak punya apa-apa lagi. Sisa tabungan hasil usaha juga mulai terkuras untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
V Bangkit Dari Keterpurukan
Beberapa bulan berlalu, Ashar memberanikan diri mengontrak sebuah lods kecil di lantai dua pusat pertokoan Jalan Irian. Dengan modal pas-pasan, ia mencoba merintis kembali usaha konveksi yang pernah kandas.
Pengalaman pahit bersama Nasaruddin, memberinya banyak pelajaran berharga. Kini Ashar mulai paham bahwa komitmen usaha bukan dibangun lewat hubungan pertemanan, melainkan harus tertuang di atas kertas.
Tak mau pengalaman itu terulang, Ashar membuat perjanjian sewa-menyewa dengan pemilik tempat secara tertulis. Dengan begitu, ia tidak akan mudah lagi disingkirkan orang.
Usaha penjahitannya yang baru itu diberi nama Asraco. Asraco diambil dari nama Ashar dengan sisipan kata co di belakangnya. Seperti sebelumnya, memulai usaha, selalu saja terbentur pada masalah permodalan.
Berulangkali Ashar mengajukan permohonan agar bisa mendapatkan kredit untuk suntikan modal, tetapi sebagai pengusaha kecil pribumi, ia sulit meraih kepercayaan bank. Sampai usaha ini berjalan tertatih-tatih.
Hanya ketegaran yang membuat Ashar masih sanggup menghadapi situasi itu. Beberapa bulan berlalu, dengan sisa modal yang ada, ia membeli sebuah mesin jahit baru.
Selain aktif berusaha, Ashar juga banyak berkecimpun dalam organisasi pedagang di pusat
pertokoan bernama Ikatan Pengusaha Pertokoan (Iperto). Perkumpulan ini lahir sebagai wadah keprihatinan atas banyaknya persoalan yang dihadapi pengusaha pribumi kala itu.
Karena tak ada satu lembaga yang menaungi kepentingan mereka, akhirnya dibentuklah Iperto ini. Di awal-awal kehadirannya, Iperto cenderung hanya sebuah organisasi sempalan yang tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya.
Maklumlah, organisasi ini dikendalikan oleh sebagian besar pedagang yang berpendidikan rendah. Hanya segelintir diantara mereka yang paham bagaimana menjalankan roda perkumpulan dengan benar. Itulah sebabnya, keberadaannya tak begitu berdampak.
Ashar berusaha selalu aktif dalam organisasi. Di setiap rapat ia senantiasa menyempatkan waktu untuk hadir. Bahkan tak ada pertemuan yang ia lewatkan tanpa memberi saran dan kritik.
Masukan-masukannya pun dinilai banyak sejalan dengan situasi yang dihadapi pedagang. Dialah yang pertama kali mengusulkan agar pedagang pribumi memperkuat legalitasnya dengan kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan pemerintah.
Dengan demikian, pedagang tak perlu lagi kucing-kucingan dengan aparat. Atau dihantui rasa bersalah.
Ashar mengatakan, dengan melengkapi dokumen usaha, pedagang bisa lebih tenang menjalankan roda usahanya. Dan yang lebih penting kata dia, situasi yang tenang sangat menentukan mati dan hidupnya bisnis.
Ia juga berusaha membuang stigma bahwa tanpa dokumen pun, usaha bisa tetap berjalan. Stigma primitif ini dipegang pedagang pribumi sejak dulu, sehingga mereka sulit untuk berkembang.
Karena itu, Ashar ingin mengubah pola pikir itu perlahan-lahan. Ia terobsesi membawa Iperto berperan aktif mendorong pedagang agar tunduk pada aturan.
Usulannya ini mendapat respons positif. Sejak itu, banyak pedagang mulai melengkapi usahanya dengan dokumen legalitas.
Tahun 1979 Ashar meraih kepercayaan Iperto, dan diangkat menjadi sekretaris organisasi.
Lagi-lagi membuatnya banyak belajar. Dari inventarisasi organisasi ia menemukan 90 persen lebih pedagang pribumi yang dihimpun Iperto, tidak mengantongi dokumen usaha. Sementara, di kalangan pengusaha nonpribumi ini menjadi prioritas.
Perjuangan merintis kembali usaha konveksi mulai menunjukkan hasil setahun kemudian. Ashar merekrut satu dua orang pegawai, karena ia mulai kewalahan memenuhi permintaan.
Sementara itu, usaha konveksi yang diambil alih Nasaruddin mengalami kemunduran. Usaha ini gagal bangkit di tengah persaingan. Satu persatu pelanggannya pergi, sampai kemudian kolaps.
Sibuk merintis usaha barunya, Ashar tetap eksis menjalankan organisasi Iperto. Atas dedikasinya yang dipandang besar pada perkumpulan ini, ia kembali dipercaya menjabat sekretaris pada periode kedua tahun 1983-1988. Saat itu Iperto berubah nama menjadi Perhimpunan Pengusaha Pusat Pertokoan (Himpustok).
Setahun kemudian tepatnya tahun 1984 ia dipercaya menjabat Sekretaris Persatuan Industri Barang Jadi Indonesia (PIBTI) Sulsel. Ashar dilantik langsung oleh Ketua Umum PIBTI Pusat, Baramuli.
Dekade 1980-an adalah masa-masa keemasan CV Asraco. Sukses mengelola Himpustok, Ashar meraih kepercayaan besar sebagai pengusaha konveksi. Sejumlah order pakaian dinas dari instansi pemerintah ia tangani.
Pada tahun 1986, Asraco dipercaya menangani pakaian seragam pegawai Kantor Diklat Pekerjaan Umum selama tiga tahun. Beberapa instansi swasta juga berhasil ia gaet. Asraco menjelma menjadi salah satu usaha konveksi besar di masanya.
Niat untuk melebarkan sayap ke bidang usaha lain, mulai muncul di benak Ashar. Dengan modal
beragam dokumen perizinan, ia ingin mencoba terjun menekuni bidang lain. Apalagi, konveksi sudah berjalan normal. Tinggal bagaimana menyokongnya dengan usaha-usaha yang sifatnya alternatif.
Tahun 1988, Ashar menawarkan diri mengerjakan renovasi dan pemeliharaan gedung di Kantor Diklat PU. Namun, penawarannya ditolak karena secara administrasi ia tak memenuhi ketentuan sebagai kontraktor.
Pihak PU mensyaratkan agar CV Asraco melengkapi DRM-nya di bidang kontraktor golongan kecil. Selama ini, CV Asraco memiliki DRM tetapi hanya membidangi konveksi. Untuk andil dalam pengerjaan fisik seperti pemeliharaan gedung, DRM harus ditambah untuk bidang kontraktor.
Ashar tak menemui banyak kendala melengkapi persyaratan ini. Karena sebelumnya, ia telah mengantongi DRM, kini tinggal melengkapi berkas untuk penambahan satu bidang yang dipersyaratkan itu. Setelah semua rampung, ia kembali mengajukan diri untuk mengerjakan pemeliharaan gedung di Kantor Diklat PU.
CV Asraco mendapat apresiasi cukup besar dari Kantor Diklat PU. Hasil kerjanya dinilai memuaskan. Mampu memenuhi standar mutu yang diharapkan.
VI Jatuh Bangun dan Kolaps
Ashar benar-benar jatuh bangun merintis usahanya. Setelah sukses membawa CV Asraco menembus persaingan di kalangan kontraktor kecil, ia kembali merambah satu bidang usaha lagi yakni spesialis kredit jas.
Usaha ini ia rintis bersama seorang pengusaha pribumi yang kebetulan pernah berkecimpun di bidang ini. Tetapi usaha ini terbentur modal. Baik Ashar maupun rekan bisnisnya itu sama sekali tak punya modal cukup.
Keduanya kemudian sepakat mencari pinjaman dari bank. Lagi-lagi Ashar harus putar otak karena tak ada aset yang bisa ia jaminkan ke bank.
Beruntung, seorang karyawannya bersedia meminjamkan sertifikat kebun untuk dijadikan jaminan. Dari sinilah Ashar bisa mendapatkan kredit dari Bank BPD Sulsel sebesar Rp 25 juta.
Selama tiga bulan berjalan, usaha ini tak kunjung membaik. Perputaran modal sangat lamban. Banyangkan memasuki bulan keempat, baru sekitar Rp 5 juta dana yang berputar.
Sementara setiap bulannya ada beban kredit yang harus ia tutupi. Memasuki bulan kelima, kesulitan semakin memuncak.
Atas saran rekan bisnisnya, Ashar menghentikan usaha kredit jas dan beralih ke kredit elektronik. Alih-alih menyelamatkan usaha, justru inilah awal kemerosotan yang sesungguhnya ia alami. Banyak kredit dari pelanggan yang macet. Target-target pembayaran pun molor berbulan-bulan. Kondisi ini menyulitkan Ashar untuk menutupi kewajiban di bank. Utang di toko-toko elektronik juga menumpuk. Tak ada jalan lain, demi menutupi semua itu, Ashar terpaksa menjaminkan mobil Suzuki Carry miliknya. Akhirnya, usaha ini benar-benar kolaps.
VII Glory dan Masa-masa Keemasan
Rasa putus asa tidak pernah menghinggapi Ashar. Didera kesulitan seperti apapun, ia tetap berkeyakinan bisa bangkit.
Berselang beberapa bulan, Ashar mendapatkan order baru mengerjakan pemeliharaan ruang makan Kantor Diklat PU. Kebetulan waktu itu dilaksanakan diklat pegawai PU selama beberapa hari. Selama itu, kebutuhan makan dan minum peserta dilayani oleh sebuah perusahaan catering.
Ashar tiba-tiba tertarik dengan usaha itu. Insting bisnisnya seketika bekerja. Ia segera menemui pihak PU dan menanyakan bagaimana proses administrasi agar perusahaannya juga bisa turut melayani makan minum peserta diklat.
Kebetulan waktu itu, perusahaan catering langganan PU sedang bermasalah. Akhirnya, Ashar disarankan agar mengajukan penawaran dengan melampirkan DRM (Daftar Rekanan Mampu) bidang jasa boga.
Di bawah bendera CV Tamaco, tepatnya 14 Oktober 1991, Ashar resmi menjadi salah satu perusahaan catering. Tamaco berasal dari bahasa Bugis, tamako, yang artinya masuk. Ashar menunjuk adiknya, Muchtar Arifin sebagai direktur di perusahaan ini.
Tamaco sempat mengalami kesulitan keuangan. Untuk menutupi ini, Ashar menyewa sebuah lods di pusat pertokoan dan dijadikan toko tekstil. Berkat hubungan baiknya dengan sejumlah pengusaha pribumi yang bergerak di bidang ini, ia mendapatkan pasokan barang yang cukup banyak untuk dipajang di toko itu.
Atas kedekatannya pula dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa, toko tekstil ini ia beri nama Glory Internasional Taylor. Dalam beberapa bulan, Glory maju dengan pesat. Perputaran uang sangat menjanjikan, bahkan mampu menutupi kebutuhan modal usaha catering CV Tamaco.
Dalam beberapa tahun, nama Glory lebih familiar dari CV Tamaco. Atas pertimbangan efektivitas Ashar memutuskan menjadikan Glory sebagai usaha catering yang melayani pesanan-pesanan luar atau skala besar.
Dari enam bidang usaha yang sempat ia kelola, hanya Glory yang bisa bertahan dan memberi hasil maksimal. Akhirnya, lima bidang usaha lainnya ia tutup dan fokus pada bidang usaha catering di bawah bendera Glory.
Sejak itu Glory menjelma menjadi salah satu usaha catering terkemuka di Makassar dan Sulawesi Selatan. Atas kerja kerasnya Ashar berhasil membawa perusahaan ini menapaki masa-masa keemasan pada tahun 2004.
Sukses membawa Glory menjadi usaha catering terkemuka, Ashar mencoba peruntungan baru di industri properti. Tahun 2009, ia merambah bisnis ini dan mencatat hasil fantastis dalam waktu yang relatif singkat.
Tahun 2010, Glory memperlebar sayap ke daerah. Ashar membut sebuah cabang di tanah kelahirannya, Sengkang. Di sana, ia memadukan jenis usaha catering dan rumah makan.
Usaha ini pun maju dengan pesat. Bahkan, catering Glory cabang Sengkang mampu memberikan jangkauan pelayanan hingga ke daerah-daerah tetangga seperti Soppeng, Bone, Sidrap, Pinrang dan Parepare.
24 April 2013 mendatang, usaha ini akan kembali membuka cabang baru di Kota Parepare. Ashar menargetkan, cabang di Parepare diproyeksikan menjangkau sampai ke Barru, Pinrang dan Polman.
VIII Sukses Karena Belajar dari Masa Lalu dan Kegagalan
Ashar tidak membangun optimismenya untuk melewati masa-masa sulit begitu saja. Ia terilhami dan terinspirasi oleh banyak hal. Ia belajar dari kepedihan, dari masa lalu, dari kegagalan dan dari orang-orang di sekitarnya.
Dulu Ashar ingin sekolah tinggi, tetapi cita-cita itu kandas. Ketika takdir kemudian mendapuknya menjadi seorang pengusaha sukses, ia baru sadar bahwa membangun sebuah usaha harus mengawinkan tiga hal, modal, ilmu dan kepercayaan.
Ashar pernah tidak memiliki dua dari tiga syarat itu, yakni modal dan ilmu. Hijrah dari kampung
halamannya, ia tak membawa apa-apa kecuali, tekad. Tidak uang, tidak pula ilmu.
Tetapi ia memiliki satu hal, yakni kepercayaan. Kepercayaan inilah yang mendatangkan dua hal yang tak dimilikinya dulu, yaitu modal dan ilmu.
Ashar selalu mengatakan, kepercayaan dalam bisnis itu seperti gelas retak. Mungkin saja bisa direkatkan kembali, tetapi orang yang menggunakannya akan serba hati-hati. Orang pasti takut retak kembali, meski telah direkatkan dengan sangat kuat.
Itulah kepercayaan, sekali saja dinodai oleh pengkhianatan, maka untuk kedua kali dan selanjutnya, itu akan menjadi cela dan cacat. Karena itu, bagi Ashar seseorang yang menjaga kepercayaan sama halnya ia telah menjaga roh-roh bisnisnya.
Meja kantor juga memiliki nilai filosofi yang dalam bagi Ashar. Banyak orang yang mengabaikan pentingnya meja kantor bagi pengusaha-pengusaha pemula. Orang selalu berasumsi bahwa meja kantor dibutuhkan ketika usaha sudah maju.
Tapi bagi Ashar tidak. Justru seorang pengusaha pemula harus mendahulukan meja kantor. Baginya, meja kantor adalah simbol keseriusan bekerja. Meja kantor adalah penanda sebuah ketelatenan, manajemen yang baik serta memiliki nilai-nilai filosofi kelanggengan.
Artinya, ketika seseorang punya meja kantor, berarti ia senantiasa ingin duduk di sana, bekerja, dan mengorganisir usahanya dengan administrasi yang rapi. Sebaliknya, orang yang tidak punya meja kantor, cenderung bekerja awut-awutan, tidak teratur dan tidak terencana.
Ia membuktikan ini adalah sosok sepupunya bernama Burhan Kanna. Burhan adalah pengusaha angkutan paling sukses di Sengkang di masanya. Tetapi kemudian mengalami kemunduran dan akhirnya jatuh bangkrut karena buruknya manajemen.
Burhan tidak pernah mengorganisir usahanya lewat pencatatan administrasi yang akurat. Ia selalu beranggapan, kalau usaha sudah maju, tanpa pencatatan dan meja kantor pun, tetap akan maju. Sayang, Burhan keliru dan di akhir-akhir hayatnya ia harus menyaksikan bisnis yang dirintisnya selama bertahun-tahun, harus kolaps.
Begitu juga Burhan Manda, yang masih sepupu Ashar, harus mengakhiri usaha perbengkelannya karena buruknya tata kelola keuangan. Dulu Burhan Manda dikenal luas di Sengkang. Ia salah satu pengusaha perbengkelan yang paling maju.
Tetapi itu hanya bertahan sebentar. Ashar pernah menyarankan agar meninggalkan pola-pola dagang primitif dan beralih pada sistem modern. Menerima karyawan, menetapkan tarif, diskon, menyiapkan meja kantor dan memperbaiki administrasi perusahaan.
Ashar memintanya agar usaha itu dibangun seperti layaknya perusahaan profesional. Seperti Burhan Kanna, Burhan Manda juga mengabaikan saran-saran ini.
Pu Kile, kakeknya, adalah orang yang pernah memberi petuah kepada Ashar, yang kemudian banyak melandasi cara-cara pandangnya dalam berbisnis. Pu Kile mengatakan, dalam berdagang jangan hanya mengandalkan kecerdasanmu. Jangan pula sekadar kekuatanmu semata. Atau hanya bersandar pada doa.
Berdagang sekadar mengandalkan ilmu, maka semua orang pintar sudah sukses. Kalau berdagang sekadar mengandalkan kekuatan, maka akan sukses semua orang-orang kuat. Begitu juga ketika hanya bersandar pada doa, maka sukseslah orang-orang yang menghabiskan hidupnya dengan sekadar berdoa.
Dalam bisnis ada istilah uang cari uang. Filosofi inilah yang dijabarkan Ashar hingga meraih sukses.
Yang tidak kalah penting adalah target-target religius dalam hidup. Prinsip Ashar, berdagang tak ubahnya beribadah. Punya target, punya ketentuan yang mengikat dan punya filosofi imbal balik.
Sukses dalam bisnis tidak akan berarti apa-apa jika tanpa diiringi kesuksesan religius. Artinya,
ketika keduanya dianggap sebagai elemen-elemen penting dalam hidup, maka kesuksesan dalam bisnis harus satu arah dengan keberhasilan kita dalam menunjukkan pengabdian kepad Sang Pencipta.