SMK 1 Majene

Ingin Selalu dan Selalu memberi Manfaat Untuk Masyarakat
Sudarjiana -demikian tokoh kita kali ini- dilahirkan di Sleman, Yogya, tanggal 22 Maret 1962. Dari pasangan Dalijo Hadi Sumarto dan Siti Marsih. Ia merupakan anak sulung dari 4 bersaudara, memiliki satu adik satu perempuan, dan dua adik laki-laki. Walau orangtuanya bukanlah orang berada tapi ayah-ibunya tetap memperhatikan pendidikan anaka-anaknya. Sejak usia 4 tahun Sudarjiana sudah disekolahkan. di TK Bhakti PKBI, sekolah TK yang tak jauh dari rumah tinggalnya di desa Sedayu Triharjo, Sleman, Yogyakarta.
2 tahun lulus TK ia langsung masuk SD Sleman 2. Lulus SD masuk SMPN 1 Sleman. Selesai SMP, karena orangtuanya termasuk keluarga “pas-pasan”, Sudarjiana diijinkan boleh melanjutkan sekolah lagi tapi yang setelah lulus nanti bisa cepat kerja. Maka, ia pun memilih meneruskan sekolah ke STM. Ia lalu masuk STM Negeri 1 Yogya atau STM Jetis dan memilih jurusan kelistrikan. Karena saat itu ada perubahan tahun ajaran sekolah, dari semula dimulai bulan Januari lalu menjadi bulan Juli, maka studinya di STM ditempuh dalam kurun 3,5 tahun. “Saya lulus STM tahun 1981,” terangnya. Lalu, kenapa ia memilih jurusan listrik? Menurutnya, setiap pembangunan rumah pasti akan ada instalasi listrik, maka orang yang memahami perlistrikan tidak akan kekurangan pekerjaan.
Dikisahkan Sudarjiana, sewaktu di STM, ia terdorong ingin belajar bahasa Inggris, karena waktu itu guru bahasa Inggrisnya galak. Kalau siswa tidak bisa akan dipukul lengannya dengan penggaris. Tapi, baginya, pukulan itu merupakan pukulan mendidik. Itu yang memotivasi dirnya. Walhasil, ia pun ikut kursus bahasa Inggris, karena sewaktu semester satu bahasa Inggrisnya nilanya 6. Tapi, setelah mengikuti kursus nilai bahasa Inggrisnya meningkat. Semester 2 mendapat nilai 7. Lanjut lagi di kelas 2 semester tiga nilainya 8. lalu di semester empat nilai bahasa Inggrisnya 9. Akhirnya guru bahasa Inggrisnya ngomong pada Sudarjiana bahwa ia tidak akan dikasih nilai 10, alasannya masak orang Indonesia nilai bahasa Inggrisnya 10. Sudarjiana hanya tersenyum mendengar perkataan itu dan baginya tak apa-apa.
Memilih Menjadi Guru
Tak semua rencana berwujud jadi kenyataan, begitulah yang kemudian terjadi pada perjalanan hidup Sudarjiana. Sedari awal masuk STM ia ingin menekuni bidang kelistrikan tapi tak dinyana ketika beersekolah di STM, Sudarjiana malah bercita-cita menjadi guru, karena ia menganggap guru itu pekerjaan yang baik. Alhasil, setelah lulus STM Sudarjiana memilih masuk Fakultas Teknik di Yogya yang linier dengan jurusannya di STM namun Fakultas itu juga mempunyai program mencetak sarjana guru-guru yang kompetitif, kompeten dan profesional.
“Yang saya masuki itu proyeknya Bank Dunia, jadi lulus jadi guru ditempatkan dimana saja, ikatan dinas. Akhirnya daftar ke situ. Alhamdulillah lolos, satu kelas hanya 17 orang, padahal yang daftar 3.000 orang. Jadi kalau saya rata-rata kira-kira perbandingannya 1:50 orang. Di antara yang 17 orang itu saya ranking yang ke 5,” papar suami dari Dra. Andi Rachma ini.
Saat masih kuliah ia pun aktif di keorganisasian. Waktu itu ia ditunjuk sebagai Ketua Pemuda di desanya, desa Trihardjo, Sleman. Diceritakannya, jaman-jaman itu kan ada yang namanya LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarkat Desa). Ada Pokja Pembangunan, Pokja Pemuda, dan dirinya terlibat di Pokja Pemuda. Selama 4 tahun ia berkecimpung di situ. Setelah selesai kuliah ia merantau ke Medan, mengajar di salah satu STM di Medan. Hampir setahun di Medan ia disuruh kembali ke Yogya karena ada SK penempatan guru yang ingin dibagikan. “Saya lalu mendapat SK penempatan di STM Negeri Pare-Pare, Sulawesi Selatan,” tuturnya.

Berikutnya, ia pun merantau dan mengajar di Pare-Pare. Sudarjiana mengajar di jurusan listrik. Menjadi guru pengajar sekitar 1,5 tahun, karena satu tahun berikutnya, ia menjadi pengajar sekaligus dikasih tugas menjadi wali kelas. Jadi yang setengah tahun ia mengajar dan menjadi wali kelas. Setelah itu dipercaya menjadi Ketua Jurusan. “Padahal guru-guru yang senior di atas saya banyak tapi Alhamdulillah saya yang diamanahkan untuk tugas itu,” kenangnya. Selanjutnya, memasuki tahun ke-5 dirinya mengabdi di Pare-Pare, Sudarjiana di minta pimpinan sekolahnya mengikuti tes untuk belajar ke Australia dalam program Indonesia-Australia Technical Project, program kerjasama antara negara Indonesia dan Australia.
Sudarjiana ikut seleksi dengan peserta 42 orang dan yang diambil hanya 2 orang. Alhamdulillah, dirinya lolos dan berangkat ke Australia. 6 bulan ia di sana mengikuti program Master Teacher Graduate Certificate. Setelah itu kembali ke Pare-Pare. Namun, selama di Australia ia merintis kerjasama dengan pihak Australia, meminta ilmu yang ada di Australia ditransfer ke Indonesia, khususnya ke Pare-Pare.
“Sewaktu saya di Australia saya belajar program BLC, tapi saya bingung, kalau saya kembali ke Indonesia bisa ndak program ini diterapkan karena kita ndak ada peralatannya. Akhirnya, setelah mengajak kerjasama, pihak Australia setuju, peralatan BLC pun dihibahkan dikirim ke Indonesia. Setelah itu saya ngomong lagi lalu siapa yang mengajar, karena saya sendiri belum lancar. Akhirnya salah satu dosen di Australia datang ke Indonesia. Lalu karena teman-teman belum menguasai bahasa Inggris, pihak Australia pun mau menterjemahkan panduannya ke dalam bahasa Indonesia. Penterjemahnya langsung didatangkan dari Australia, dosennya pun mau mengajar untuk kita,” terangnya panjang lebar.
Waktu terus bergerak, kesibukannya sebagai guru pun berjalan seperti biasa sampai akhirnya beberapa waktu berikut ia dipanggil Kepala Sekolahnya dan ditawarkan ikut seleksi menjadi Kepala Sekolah. Semula ia ragu menerima tugas itu, karena ia merasa “masih kecil”, masih junior masak mau menjadi kepala sekolah.
Tapi, setelah ditimbang dan difikir, akhirnya ia memutuskan mengikuti seleksi tersebut. Ia lalu mendaftar menjadi Kepala Sekolah di Provinsi Sulawesi Selatan. Yang mendaftar ada 114 orang lolos seleksi pertama. Seleksi kedua yang lolos tinggal 68 orang. Seleksi ketiga tinggal 8 orang. Seleksi keempat tinggal 7 orang. Dan, akhirnya ia pun lulus seleksi dan ikut Diklat Kepala Sekolah di Bandung untuk kemudian pada tanggal 2 November 1996 dirinya ditempatkan di SMK 1 Majene.
Untuk memantau kinerja seorang Kepala Sekolah ada yang namanya monitoring dan evaluasi dari Direktorat Pendidikan Menengah dan Kejuruan, Kementerian Pendidikan. Itu untuk memantau sejauh mana keberhasilan suatu sekolah. Evaluasi itu untuk Kepala Sekolah dan juga sekolahannya. Dikisahkan Sudarjiana, sewaktu ia pertama masuk SMK 1, sekolah itu dapat predikat C, dan setelah 2 tahun ia memimpin sekolah mendapat predikat B. Untuk jabatan Kepala Sekolah, pertama ia masuk mendapat nilai Cukup, dan dua tahun di situ ia mendapat nilai Amat Baik dan mendapat penghargaan dari Direktur Direktorat Pendidikan Meneganh dan Kejuruan. “Nyaris mendapat Kepala Sekolah Istimewa, nilainya kurang sedikit. Istimewa itu penghargaan yang tertinggi,” ujarnya.
Delapan tahun memimpin SMK 1 Majene, Sudarjiana “melebarkan” kiprahnya dengan membangun sekolah lain yaitu mendirikan SMK Kelautan Majene (sekarang menjadi SMK 3 Majene). “Saya sempat menjadi Kepala Sekolah di SMK Kelautan itu, jadi menjabat di dua sekolah, karena memang embrionya dari SMK 1 dan saat itu masih masa transisi,” jelasnya. SMK Kelautan resmi dibuka tahun 2005. Di SMK itu Sudarjiana memimpin dalam kurun waktu selama 7 tahun. Semua dimulai dari nol, karena tak ada listrik, tak ada air, alat komunikasi sulit. Jadi, dirinya di sekolah itu termasuk perintis.
Selama 7 tahun kepemimpinannya SMK Kelautan terus melakukan berbagai kegiatan. Prinsipnya, meski SMK dari daerah tapi pihaknya berusaha muncul di tingkat nasional. Seperti sewaktu ada Seminar Kelautan Internasional di Bali pihaknya pun ikut. Lalu, apa yang didapat di seminar itu dikembangkan di sekolah. Karena pihaknya ingin terus eksis dalam pengembangan pendidikan akhirnya pihak sekolah pun melibatkan Bapak Bupati Majene, saat itu dijabat oleh H. Muhamad Harfis
“Kami bilang kami mau MoU dengan Lembaga Kelautan di Jakarta, apa Bapak Bupati bersedia. Beliau bersedia dan akhirnya kami mengajak Beliau ke Jakarta untuk tandatangan MoU dengan Pusat Riset Teknologi Kelautan, Jakarta,” ungkapnya. Dari situlah kerjasama dimulai. Setiap ada event tentang kelautan, pihak sekolah selalu diberi informasi. Selain itu, pihaknya juga bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti dengan LAPAN Pare-Pare, dengan PT Industri Kapal Indonesia, Makassar.
Menjadi peserta seminar kelautan internasional yang pertama di Bali, kemudian yang kedua di BPPT, Jakarta, membuat Sudarjiana berfikir kenapa pihaknya hanya menjadi peserta seminar terus, kenapa tidak menjadi pemateri atau presenternya. Berawal dari pemikiran itu maka pada tahun 2011 dirinya usul ingin menjadi pemakalah atau presenter seminar. Usulan disetujui lalu pihaknya pun diseleksi dan akhirnya lolos menjadi penyelenggara seminar kelautan internasional di Majene. Waktu itu seminar diikuti berbagai negara, seperti Amerika, Jepang, Belanda, Vietnam, Australia. Waktu seminar itu, tambah Sudarjiana, satu-satunya SMK di Indonesia yang memberi materi hanya dari SMK Kelautan Majene.
Sekian waktu memimpin SMK Kelautan Sudarjiana ditarik kembali ke SMK 1 Majene. Namun sebelum kembali ke Majene, ia sempat berfikir SMK 1 Majene itu sekolah rintisan internasional kalau dirinya kembali memimpin tapi tak membawa perubahan yang signifikan ia akan malu. Akhirnya, ia mempunyai ide membawa SMK 1 kerjasama dengan 2 industri kecil di Korea Selatan. Kemudian membuat program setiap tahun guru belajar ke luar negeri. Program ini telah berjalan dimana salah satu guru SMK 1 Majene berangkat ke Jerman selama 1 minggu untuk melihat Labschool di sana.
Dalam program kerjasama dengan Korea Selatan, SMK 1 Majene mendapat bantuan dana dari Dinas Pendidikan Provinsi untuk memberangkatkan 2 siswa ke Korea Selatan (tahun 2016). Tahun 2017 ini targetnya memberangkatkan 4 siswa ke Korea Selatan, dan 4 siswa yang ditunjuk tengah dikursuskan bahasa Korea di Jakarta.
Selain itu, pihaknya juga bekerjasama dengan IKCS (Indonesia Korea Culture and Studies), yayasan pendidikan dan budaya. IKCS menawarkan jika lulusan SMK 1 Majene mau kuliah di Korea pihak IKCS akan memfasilitasi. Siswa bisa mendapat beasiswa. Dijelaskan Sudarjiana, pihaknya memiliki 5 zona kerjasama yakni; zona Asia di Korea, zona Amerika, zona Eropa di Belanda, zona Australia, zona Timur Tengah dan Afrika. Tapi, tambahnya, program ini juga tak bisa jalan kalau tidak didukung kebijakan. “Yang kami rasakan, begitu program ini kami tuangkan Pemda mendukung sepenuhnya, hanya karena dana Pemda juga terbatas, itu yang kadang menjadi kendala,” yang beristrikan wanita asli Sulawesi ini. “Saya punya obsesi siswa-siswi (SMK 1 Majene) bisa praktek industry secara nyata di Korea,” ujar pria yang pada tahun 2007 mendapat predikat kepala sekolah berprestasi karena membantu kontingen Sulawesi Barat berlomba pada tingkat nasional.

Obsesi Pribadi
Kiprah Sudarjiana di dunia pendidikan di lingkungan Sulawesi Selatan sudah tak diragukan lagi, tapi saat ditanya obsesi pribadinya, pria ini malah bilang tak pernah berfikir tentang obsesi pribadi. Dirinya hanya berfikir memberikan kemampuan yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat, menyumbangkan ilmunya untuk masyarakat dan bermanfaat. “Itulah yang menjadi cita-cita saya. Kalau dilihat dari sisi materi mungkin tak sesuai dengan kemampuan tapi saya punya keinginan di dalam dunia pendidikan bisa memberi manfaat untuk orang lain,” tutur pria yang sering memberi pencerahan pada guru-guru agar mereka jangan mau kalah dengan dirinya. Setiap guru harus mempunyai arah dan tujuan menjadi guru itu mau separti apa. Kemudian, kembangkan sikap profesional, sesuai dengan motto SMK 1 Majene yaitu; kreatif, inovatif, dan profesional.
Tatkala disinggung kenapa memilih terjun di dunia pendidikan, Sudarjiana menjelaskan bahwa semua berawal dari kondisi keluarga saat itu, dimana orangtuanya bukanlah orang yang berada maka ia mencari sekolah yang kelanjutannya bisa langsung kerja. Tapi, dalam perjalanan selanjutnya ia mulai memahami dan meyakini bahwa menjadi guru itu pekerjaan yang mulia..
Lalu, apa suka dukanya berprofesi menjadi guru, menjadi Kepala Sekolah SMK? Sudarjiana mengatakan Itu relatif. Menurutnya, kalau dipikir susah pasti akan susah terus. Sudarjiana menggambarkan, dulu di SMK Kelautan ia menjadi Pembina drumband. Saat itu, dalam berkegiatan sekolah tak mempunyai dukungan dana, tapi Sudarjiana tak patah arang. Dalam pemikirannya tertanam bahwa setiap orang itu memiliki kompetensi (kemampuan). Hal ini yang ditekankan pada siswa-siswanya bahwa mereka semua mampu, tidak kalah dengan teman-teman mereka dari pulau Jawa. Walhasil, dengan motivasi tersebut dan dengan dana minim, bahkan Sudarjiana rela merogoh koceknya untuk menomboki, sekolahnya berani ikut lomba drumband di Yogya, dan hasilnya mereka mampu meraih juara 3.
“Saya bangga, karena bisa membawa orang daerah tapi sukses meraih juara. Dari situ saya punya cita-cita, kalau saya berada di satu daerah saya bisa memberi kontribusi pada daerah itu, masyarakat dan pemerintah daerah bisa menerima, artinya kalau ada saya masyarakat senang, kalau tidak ada saya maka saya dicari. Itu filosofi hidup saya. Saya bisa bahagia bila bisa memberi kontribusi yang bermanfaat dimanapun saya berada,” tuturnya.
Di dalam memimpin SMK 1 Majene, Sudarjiana masih memiliki obsesi yang ia targetkan dalam kurun 3 tahun dirinya harus bisa menyelesaikan 8 program untuk sekolahnya, yaitu : Pertama, menjadi sekolah bertaraf internasional. Kedua, menjadi school digital. Ketiga, sekolah berbasis mutu ISO. Keempat, menjadi tempat rekrutmen kerja di Sulawesi. Kelima, outlet rekrutmen tenaga kerja. Keenam, tempat uji kompetensi. Ketujuh, school digital. Kedelapan, sekolah berwawasan lingkungan, yaitu sekolah yang peduli lingkungan hidup, tidak menebangi pohon, pengolahan limbah dan peduli lingkungan. Menurutnya, saat ini bumi semakin panas, lapisan ozon semakin menipis, jadi, kita harus berfikir tentang itu. Harapannya, sebelum ia dipindah 8 program itu bisa diwujudkan.

Tentang pendidikan di Indonesia
Ditanya prihal pendidikan tanah air, menurutnya, perkembangannya pada dasarnya semakin membaik, hanya sekarang karena tuntutan jaman, perkembangan teknologi sangat cepat, kita masih tertinggal. Memang ada plus-minusnya. Contoh, kalau orang dulu berhitung tak perlu kalkulator, sekarang orang kalau berhitung tergantung dengan kalkulator. Lalu, kalau dari kedalaman berfikir, terkait dengan masalah intelektual, memang lebih maju, itu dari sisi pengetahuan, tapi dari sisi attitude (sikap) orang jaman dulu masih lebih bagus, ada sopan-santun, ada etika. Kalau anak sekarang kurang. Maka, sekarang ini dikembangkan lagi pendidikan karakter. Dalam satu pelajaran ada unsur ilmu pengetahuan, ketrampilan, sikap. Tiga unsur ini harus ada pada anak. Itu jadi kesatuan. Siswa sekarang dididik dulu sikapnya, kemudian pengetahuannya, lalu ketrampilan.
Menurutnya, perkembangan pendidikan tentu tak lepas dari sistem pendidikan yang ada. Sistem pendidikan di Indonesia, katanya, masih umum (general), semua menguasai tapi detailnya kurang, spesialisasinya kurang. Contoh, tentang kelistrikan. Kita bisa tahu secara umum tapi detail kelistrikan kita kurang. Kalau di luar negeri beda, contoh tentang pendingin AC, betul-betul sampai detailnya dipelajari. “Saya bisa bandingkan karena saya pernah belajar di Australia, lalu ke Korea 3 kali, Singapura 1 kali, Malaysia 1 kali. Di luar negeri belajar spesifik keilmuannya. Kita masih dibawah mereka,” tekannya.
Hal lain yang disoroti adalah prihal pelajar Indonesia. Menurutnya, pelajar sekarang semakin baik. Kalaupun ada di berita-berita tentang pelajar yang tidak baik, misal, terlibat tawuran, narkoba, tapi itu hanya sebagian kecil. Yang berprestasi itu lebih banyak lagi, tapi terkadang itu tidak diekspos. Walau demikian, dirinya juga tak memungkiri hal-hal buruk memang sering terjadi di kalangan pelajar Indonesia. “Saat ini menjadi guru memang tidak semudah yang dibayangkan,” ucapnya.
Pesan-pesan untuk generasi sekarang
Terakhir wawancara, Sudarjiana memberi pesan pada generasi sekarang hendaknya tetap menghormati orangtua atau orang yang lebih tua, ini nomor satu. Menghargai orang lain, termasuk etika, sopan-santun, budi pekerti. Kemudian, yang kedua, fokuslah pada yang ada di depanmu, dalam artian menekuni sesuatu. Karena dalam level sekarang ini, apa yang dikerjakan hari ini menentukan kedepannya akan seperti apa nanti. Jadi apa yang kita tekuni sekarang akan menentukan masa depan. Ketiga, kita harus berfikir positif, jangan negative thinking. Keempat, berfikir produktif baik dalam perbuatan maupun ucapan, jangan gosip sana gosip sini. Istilahnya buang-buang waktu. Kelima, fokus mau menjadi apa. Keenam, kuasai apa yang berkembang sekarang ini, seperti IT, bahasa, dan lain-lain.
PRIBADI
Dikisahkan Sudarjiana, ia tinggal di Sulawesi bersama istri.Ia di Majene, istrinya menjadi guru di Pare-Pare. Ia hanya berdua sang istri tercinta, karena memang tak dikaruniai putra. Namun, ia menyekolahkan anak kakaknya di Pare-Pare. Yang saat ini telah lulus SMU dan melanjutkan ke sekolah penerbangan di Yogyakarta, dan sekarang tengah magang di Bandara Soekarno-Hatta. “Istri saya di Pare-Pare, jadi saya pulang seminggu sekali ke Pare-Pare,” tutur pria yang dalam menakhodai SMK 1 Majene ini telah membawa sekokah tersebut menjuarai lomba tari di tingkat Kabupaten dan Provinsi, juga juara Ketrampilan Siswa tingkat Provinsi.
Ketika ditanya apa rencananya setelah pensiun nanti, Sudarjiana mempunyai keinginan hendak mendirikan sekolah, tapi sayang masih terkendala tak memiliki lahan. Padahal ia ingin mendirikan lembaga sekolah yang eksistensinya dapat diterima di masyarakat. Karena menurutnya, terkadang orang itu tidak sesuai antara konsep dan pemikiran, Ada orang konsepnya mendirikan sekolah tapi yang dicari sisi finansialnya. Selain itu, dirinya juga punya keinginan membangun perpustakaan untuk masyarakat. “Dengan Bupati terdahulu saya juga sudah berencana mendirikan Akademi Komunitas. Semua sudah dipersiapkan tapi terbentur lahan, jadi untuk sementara ini tertunda. Saya hanya ingin ketika tua nanti tetap bisa eksis di dunia pendidikan,” ucapnya mengakhiri pembicaraan.[] (baguspram)