Achmad Subianto

No Comments

Achmad Subianto
Pendiri Gemar (Gerakan Memakmurkan Masjid)

Mengurus Masjid dan Zakat

Setelah memasuki masa pensiun, Achmad Subianto mendapati masih banyak pekerjaan yang harus ditanganinya. Sekitar 10 aktivitas -termasuk di FAPI (Federasi Perasuransian Indonesia), DPN Korpri, PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia)- sehingga waktu 24 jam yang diberikan Tuhan dirasa tidak cukup untuk mengerjakan kegiatan-kegiatannya. Apalagi, seluruh aktivitas tersebut harus dikerjakan sendiri karena tidak bisa diwakilkan.

Untuk itu, ia terpaksa mendisposisi dirinya sendiri terkait kecukupan waktu mengerjakan seluruh kegiatannya yang sangat tidak memadai. Lalu, ia memutuskan untuk hanya fokus mengerjakan tiga kegiatan saja, yakni Gerakan Memakmurkan Masjid, Zakat dan Jaminan Sosial. Khusus kegiatan terakhir, ia merasa mendapatkan amanah khusus dari Presiden Megawati dan Presiden SBY yang harus diselesaikan. Untuk keperluan tersebut, saat ini ia sedang sibuk menyusun buku “Sistem Jaminan Sosial Nasional” sebagai persembahan bagi Ibu Pertiwi, yang telah diluncurkan pada 16 Agustus 2010 di Flores Room Hotel Borobudur bertepatan dengan milad 11 Yayaan Kanum. Yayasan yang digagasnya dan didirikan oleh 17 pribadi muslim, bersama penandatanganan MOU antara Yayasan Kanum, Baznas dan paguyuban napi dengan Ketua Prof. DR. Ir. Rahadi Ramelan, MSc, ME.

Ketertarikannya untuk menulis buku SJSN karena ternyata tidak semua orang Indonesia memahami mengenai SJSN yang ternyata telah membawa negara barat menjadi maju dan makmur tersebut. Ketika mengunjungi China –seperti perintah Rasulullah SAW “Belajar ke negeri China”- ia banyak belajar mengenai SJS China yang dibangun berdasarkan lima Pilar Bank Dunia dimulai tahun 1997. China membangun pertama kali NSSF (National Social Security Fund) dengan CEO mantan Menteri Keuangan China. Saat itu, Indonesia sedang dilanda krisis moneter akibat ulah George Soros.

Menurut Achmad Subianto, Indonesia harus mengikuti jejak China untuk membangun SSJN dengan Pola Lima Pilar. Jangan sampai Jaminan Sosial dilihat sebagai beban atau benalu dan sebuah energi sia-sia. Tetapi sebenarnya Jaminan Sosial merupakan sumber energi dana pembiayaan pembangunan jangka panjang bagi kemajuan dan kemakmuran negara.

Achmad Subianto mencatat bahwa penggunaan Sistem Chili tidak bisa diterapkan di Indonesia. Penyebabnya, terjadi lonjakan penduduk sehingga Indonesia menduduki peringkat 4 dunia dengan 235 juta jiwa. Sementara Chili memiliki penduduk yang relatif lebih sedikit sehingga sistem berjalan dengan baik. Ia menolak berkomentar apakah lonjakan kenaikan penduduk menjadi peringkat empat dunia tersebut merupakan kesuksesan atau kegagalan bagi republik yang sangat dicintainya ini.

Ia sangat bersyukur dapat mengunjungi dan melihat China, negeri tirai bambu, negeri asal tokoh-tokoh komik yang sangat digemarinya sejak kecil. Karena ia adalah penggemar fanatik komik dengan tokoh Sun Go Kong, Kungfu Boy dan Sin Jin Kui yang selalu setia diikutinya, baik dalam bentuk komik, film maupun tayangan TV.

Terkait dengan aktivitas Gerakan Memakmurkan Masjid, Achmad -group pertama Depkeu belajar komputer di tahun 1970-an- merasa pengetahuannya tentang IT sangat bermanfaat. Yakni ketika berusaha menggabungkan sistem zakat dengan masjid untuk mewujudkan perintah Allah SWT dalam surat At Taubah, ayat 18; “Sesungguhnya yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat di masjid dan tidak takut kepada siapapun selain Allah, maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Tiada henti, Achmad mengucap syukur Alhamdulilah kepada Allah SWT, karena ia berhasil membuat sistem informasi zakat dibantu Thio –putranya yang lulusan Mac Quary, Sidney- menyusun sistem ALMS. Arti dalam bahasa philanthropy/ kedermawanan adalah shadaqah yaitu zakat, infak dan sedekah. Dengan sistem ALMS ini masjid akan mengeluarkan Kartu Jemaah Masjid (KJM) untuk jemaah dan muzakinya dan Kartu Dhuafa (KD) untuk Mustahiq yang akan mendapat shadaqah.

Sistem KJM ini dapat juga berfungsi sebagai Kartu NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat) yang diilhami ketika ikut membangun sistem perpajakan NPWP dibawah Koordinasi PAIK dengan Ketua Kartono Gunawan, MSc. Dengan telah adanya KJM maka sebenarnya tidak perlu lagi menggunakan NPWP karena KJM sendiri dapat berfungsi sebagai NPWZ. Kemudian sistem BSZ (Bukti Setor Zakat) bisa digunakan sebagai kartu diskon pajak. Rekening dengan nomor akhir 555 diperuntukkan zakat sementara nomor 777 untuk zakat dan sedekah.

Ternyata, lanjut Achmad, meskipun pasca pensiun hanya menjalani tiga aktivitas tetapi kegiatannya justru semakin banyak. Ia memahami teori “gali sumur” bahwa setiap aktivitas di bumi ini jika dikerjakan secara tekun dan profesional akan menghasilkan kegiatan yang justru bertambah besar. Contohnya adalah ketika menggali sebuah sumur artesis, diawali dengan tanah, lumpur atau batu dan sedikit air. Semakin dalam, air yang didapat semakin banyak dan pada puncaknya akan keluar air yang sangat bersih, jernih, bening dan menyembur dengan kuat.

Begitu juga kegiatan dan ilmu yang ditekuni secara aktif dan intensif akan berdampak sangat besar, luar biasa dan tidak akan berhenti. Apabila dalam pengerjaannya disertai perasaan ikhlas, meski kadang harus mundur satu langkah tetap harus diterima. Karena hal seperti itu justru akan menghasilkan kegiatan yang semakin besar dan memberikan lompatan besar jauh ke masa depan. Achmad Subianto mengenalnya sebagai rumus 1/0 = tak terhingga, yang sangat diyakini kebenarannya, rumus ini dipahami dari dosennya di Undip Semarang, Drs. Soehardi, dosen Ekonomi Makro.

Hal tersebut pernah dialami Achmad saat terpaksa diberhentikan dari pekerjaan oleh atasannya akibat arogansi pimpinan, yang semua perlakuannya diterima dengan ikhlas. Imbalannya, meskipun harus kehilangan pekerjaan tetapi tidak perlu menunggu beberapa lama ia justru mendapatkan pekerjaan dengan kedudukan lebih tinggi. Bahkan kedudukannya tersebut lebih luas cakupannya, lebih banyak peluangnya dan lebih besar kekuasaannya.

Tidak Ada Merger dalam SJSN

Putra Cilacap kelahiran 16 Agustus 1946 ini mengungkapkan, semangat dalam penyusunan RUU Sistem Jaminan Sosial yang kemudian menjadi UU No 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), adalah bahwa badan penyelenggara jaminan sosial tetap eksis dan tidak ada merger atau penggabungan badan pengelola. UU itu sendiri dibuat dengan terburu-buru sehingga memiliki kebaikan dan kelemahan sekaligus.

Namun, dengan status Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS), keberadaan badan ini patut didukung daripada berstatus perseroan yang selama ini cenderung sangat merugikan peserta. Apabila menggabungkan semua badan penyelenggara menjadi satu adalah kebijakan yang arogan dan menyesatkan.

Di awal pembahasan RUU JSN terdapat usulan dari Tim SJSN waktu itu untuk melebur badan penyelenggara yang sudah ada, yaitu PT Taspen, PT Asabri, dan PT Jamsostek. Usulan ini mendapat tentangan, baik dari DPN Korpri, PWRI, BUMN maupun para pekerja swasta anggota Serikat Karyawan BUMN dan Swasta. Dengan demikian, dengan UU No 40 Tahun 2004 tidak ada lagi persoalan merger.

Dalam penyusunan draf RUU SJSN di Sekneg, Lambock Nahattand yang mewakili Seswapres memberikan pandangan dalam penyusunan SJSN bahwa UU yang disusun merupakan payung sekaligus menggambarkan sistemnya, tanpa menggabungkan lembaga yang telah ada.

Anehnya, meski telah ada arahan seperti itu, dalam pembahasan masih saja terdengar usulan untuk menggabungkan Taspen, Asabri, dan Jamsostek. Bahkan, panitia pun masih memasukkan hal tersebut dalam RUU SJSN. Ini keanehan yang ditemukan Achmad Subianto selama pembahasan draf RUU SJSN. Terkesan, terjadi pemaksaan kehendak untuk memuluskan usulan tersebut.

Apalagi belakangan terkuak bahwa dalam membangun dan menyusun RUU itu juga memanfaatkan pinjaman lunak dan bantuan konsultan dari Jerman. Karena itu, sudah dipastikan ada upaya untuk “menjermankan” sistem jaminan sosial Indonesia dengan mengikuti kehendak konsultan dari negara pemberi bantuan.

Achmad sangat bersyukur, dalam pertemuan pembahasan penyusunan RUU SJSN di Hotel Horison, Ancol, Jakarta, Menko Kesra M Jusuf Kalla (waktu itu) memberikan arahan agar badan penyelenggara tetap seperti yang ada, tidak ada merger. SJSN harus mencerminkan ciri Indonesia. Pernyataan Menko Kesra itu didukung oleh Tjarda Mochtar (mantan direksi Jamsostek) dan anggota DPR (ketika itu) Djamal Doa. Jadi, ketika RUU SJSN ini disahkan menjadi UU pada masa kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri dan diteruskan ke Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), persoalan merger sudah tidak dibicarakan lagi.

Sistem Lima Pilar

Ketika menjadi peserta Asia Pension Roundtable III di Beijing, 9-10 November 2005, Achmad mendengar penjelasan mengenai lima pilar jaminan sosial versi Bank Dunia yang dipresentasikan oleh Ketua NSSF, mantan Menkeu China dan pejabat NSSF lainnya. China mulai melakukan reformasi jaminan sosial tahun 1997 dengan membangun jaminan sosial untuk warga negaranya, mengikuti pola Bank Dunia dengan sistem tiga pilar.

Selanjutnya tahun 2005, Bank Dunia merekomendasikan tambahan dua pilar lainnya, yaitu sumber dukungan berupa jaminan rumah dan kesehatan sebagai pilar keempat dan terakhir pilar zero, no contributory poverty alleviation. Dengan demikian, sejak saat itu di China berlaku five pillar systems of social security.

Dengan adanya beberapa sistem jaminan sosial di Indonesia, maka perlu dilakukan harmonisasi. Jika mengacu pada China, maka “rumah SJSN” usulan M Jusuf Kalla dapat digambarkan sebagai berikut. Pilar pertama, meliputi jaminan sosial nasional dasar/nasional-daerah (Jamsosnasda). Pilar kedua, jaminan sosial untuk para professional dengan profesi PNS, TNI, pekerja swasta, dan BUMN.

Pilar ketiga, jaminan sosial untuk individual yang telah ada undang-undangnya yaitu antara lain asuransi. Pilar keempat, jaminan sosial untuk jaminan spesifik, misalnya kesehatan, perumahan, pendidikan, tabungan untuk ibadah haji dan lain-lain. Sedangkan “pilar zero” mencakup bantuan sosial yang selama ini sudah diberikan oleh Depsos, seperti jaring pengaman sosial (JPS) dan bantuan tunai langsung (BLT). Untuk pilar kesatu sampai keempat, para peserta memberikan iuran, ditambah dari pemberi kerja/majikan. Sedangkan untuk “pilar zero” sepenuhnya merupakan bantuan pemerintah.

Berdasarkan rumah SJSN, maka BPJS yang harus ada akan terdiri dari BPJS Jamsosnasda untuk seluruh warga negara, BPJS PNS untuk pegawai negeri sipil, BPJS TNI untuk angkatan bersenjata, BPJS badan usaha milik negara (BUMN) untuk pegawainya, dan BPJS Jamsostek untuk pegawai swasta. Adapun Askes dan Bapertarum merupakan pelengkap.

Sejak awal, Achmad menegaskan, tidak ada merger di antara ketiga lembaga yang ada karena misi dan karakteristiknya masing-masing berbeda. Ia menyampaikan, jika mau memergerkan Taspen, misalnya, maka harus ditanya dulu 4,6 juta PNS, apakah mereka mau untuk digabung? Sebab, meskipun Taspen itu BUMN, uang Taspen bukan uang pemerintah, tetapi uang PNS yang dipotong dari daftar gaji mereka untuk pembayaran pensiunnya. Demikian pula Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI), perlu ditanya pendapatnya terkait dengan 1,6 juta para pensiunan yang uangnya dikelola PT Taspen. Hal yang serupa dengan TNI yang asuransi sosialnya dikelola Asabri.

Dalam merumuskan pembentukan SJSN, seyogianya perlu berpedoman pada peranan pemerintah. Peranan pemerintah, antara lain, selaku penyelenggara administrasi negara (administrator), selaku pemberi kerja, selaku regulator, selaku kreditur, dan selaku pemegang saham.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, misalnya, pemerintah mempekerjakan seseorang menjadi pegawainya. Dalam hal ini pemerintah bertindak selaku pemberi kerja. Kewajibannya, antara lain, menyelenggarakan kesejahteraan bagi para pegawainya dalam hal ini PNS dan TNI. Untuk itu, dibentuk PT Taspen dan PT Asabri untuk memberikan jaminan sosialnya yang disesuaikan dengan penghasilan masing-masing.

Dengan pembentukan BUMN, pemerintah bertindak sebagai pemegang saham. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan usaha perasuransian, negara mempunyai beberapa BUMN, misalnya PT Pusri, PT PLN, dan PT Perkebunan. Untuk jaminan sosialnya, pemerintah membentuk PT Jamsostek, sedangkan untuk pensiun masing-masing BUMN membentuk dana pensiun sendiri atau bergabung dalam DPLK.

Meski UU SJSN -dibuat pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri- masih memiliki kelemahan, tapi itu merupakan amanat UUD 1945. Pemerintahan SBY-JK, ketika itu telah menyetujui. Karena itu, seyogianya diimplementasikan secara benar oleh pemerintahan SBY-Boediono sebagai jaminan sosial untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Tetap Berjalan

Implementasi UU No 40/2010 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tidak harus menggerus peran empat badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) yang ada saat ini, yakni PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri. Keempat BPJS tersebut menyatakan kesiapan menjalankan tugas tambahan dalam program jaminan sosial jika diamanatkan oleh pemerintah.

Saat ini keempat BPJS sudah menyelenggarakan program jaminan sosial untuk pekerja formal sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS), dan TNI/Polri. Dari lima program jaminan sosial yang disyaratkan untuk dilaksanakan, keempat BPJS itu baru melaksanakan empat program, yakni jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JK), jaminan hari tua (JHT), dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK).

Sementara, untuk jaminan pensiun, baru diselenggarakan PT Taspen dan PT Asabri untuk PNS serta TNI/Polri. Sementara, pekerja formal yang program jaminan sosialnya diselenggarakan PT Jamsostek belum mendapatkan jaminan pensiun.

Keempat BPJS yang berstatus PT (Persero) dapat melaksanakan program jaminan sosial sesuai UU SJSN. Dalam hal ini, pemerintah menempatkannya sebagai BUMN dengan penugasan khusus. Ini juga sudah disampaikan Menteri BUMN melalui surat No S-135/MBU/2010 kepada Presiden dan Wakil Presiden RI yakni penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, termasuk untuk program jaminan sosial.

Sesuai dengan prinsip-prinsip SJSN, operasional BPJS harus berdasarkan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Tentunya dengan optimalisasi pengelolaan dana untuk manfaat sebesar-besarnya kepada peserta. Seperti diketahui, PT Askes dengan peserta sekitar 96,2 juta orang memiliki aset Rp10 triliun, PT Asabri mempunyai 1,1 juta peserta dengan aset sekitar Rp11 triliun, PT Jamsostek mencatat kepesertaan 8,9 juta orang beraset Rp90 triliun, serta PT Taspen dengan 2 juta peserta beraset Rp60 triliun.

Biodata singkat:

Nama         : Achmad Subianto

Tempat dan tanggal lahir: Cilacap, 16 Agustus 1946

Aktivitas:
Ketua Gerakan Memakmurkan Masjid
Ketua Komisi Pengawas BAZNAS 2005-2011
Penasehat ISEI Cabang Jakarta 2001-2011
Ketua Umum Fokkus, Babinrohis Pusat
Mantan bendahara DPN KORPRI 2004-2009
Mantan Ketua IV PWRI 2003-2009
Ketua Umum Federasi Perasuransian Indonesia 2003
Ketua Umum Asosiasi Jaminan Sosial dan Jaminan Sosial 2000-2008
Direktur Utama PT Taspen 2000-2008