Ir. Leo Nababan
Ir. Leo Nababan
Staf Khusus Menko Kesra
Penganut Kristiani yang Menjadi Pengurus Masjid
Kekerasan yang mengatasnamakan agama belakangan ini marak terjadi di Indonesia. Bahkan konflik horizontal terjadi antara para pemeluk agama yang seharusnya hidup berdampingan secara damai. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia dengan berbagai macam budaya, adat, suku dan agama, “pernah” bersatu dan hidup rukun. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi tetap satu telah menjadi pedoman hidup dan menjadi perekat bangsa sejak ribuan tahun lalu.
Namun, seiring perjalanan waktu sikap seperti itu mulai luntur. Perbedaan yang harusnya menjadi kekuatan dan kekayaan bangsa ini, justru dianggap sebagai kelemahan. Berbagai upaya dipaksakan untuk membuat orang-orang yang berbeda pandangan, mengikuti keyakinan dan aturan-aturan yang dianggap benar oleh sekelompok orang.
Meskipun begitu, tidak semua orang Indonesia berpendapat sama. Di tengah masyarakat banyak sikap-sikap yang menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan dan sekat-sekat telah melebur menjadi satu kesatuan yang harmonis. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Ir. Leo Nababan untuk masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Staf Khusus Menko Kesra tersebut memberikan contoh yang luar biasa bagaimana hidup bermasyarakat. Yakni menjadi pengurus masjid -yang mungkin satu-satunya di Indonesia- meskipun ia sendiri seorang penganut Kristiani taat.
“Agama adalah masalah pribadi, antara manusia dan Tuhan. Kesalahan bangsa ini adalah selalu mencampuradukkan agama dan kehidupan. Itu yang susah, habluminallah dan habluminannas-nya harus seimbang. Saya memang seorang Kristen dan saya bersyukur karena itu. Tetapi saya juga pengurus Masjid Jami’ Al Mukminin di Kayumanis 10, sebagai koordinator pencarian dana pembangunan masjid,” katanya.
Dari sudut pandang Kristiani, Leo Nababan merasa hidupnya tidak berguna apabila mengabaikan nasib tetangganya. Oleh karena itu, ketika melihat kesibukan tetangga-tetangganya yang muslim membangun masjid, ia juga melibatkan diri. Penerimaan warga muslim terhadapnya pun cukup terbuka dan menerimanya sebagai bagian dari kepanitiaan pembangunan masjid. Ia tidak menyia-nyiakan kepercayaan saudara-saudara muslimnya, dan melaksanakan tugasnya dengan baik.
Leo Nababan sangat menyesalkan adanya kelompok-kelompok yang membawa-bawa agama dalam setiap permasalahan. Jumlah penganut paham ini semakin lama membesar dan terang-terangan memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang tidak sepaham. Agama telah menjadi bahan konflik, meskipun dalam kitab suci Al Quran jelas-jelas diajarkan bahwa “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”.
“Itu adanya pengakuan bahwa ada agama lain selain Islam. Nabi Muhammad pun mengajarkan kasih sayang kepada sesama manusia, apapun agamanya. Saya adalah seorang Kristen yang setuju pembakaran gereja, karena secara logika TIDAK MUNGKIN gereja dibakar asalkan gereja tersebut “tidak menjadi MENARA GADING” bagi masyarakat di sekitarnya. Artinya, gereja membiarkan tetangga-tetangganya miskin dan kelaparan, tetapi malah membangun menara. Tidak mungkin gereja dibakar kalau gereja melihat kondisi tetangganya,” tandasnya.
Menurut Leo, bangsa Indonesia tidak akan marah kalau ada orang yang mengaku sebagai orang Kristen atau agama lainnya. Karena negara juga mengakui agama sah dan Indonesia: Islam, Katolik, Kristen, Buddha, dan Hindu. Sebenarnya bangsa Indonesia sejak zaman dahulu terbiasa hidup damai berdampingan. Hal tersebut tidak hanya sekedar wacana, tetapi benar-benar dipraktekkan dalam hidupnya. Hampir setiap akhir pekan, ia mengajarkan kehidupan yang luas dan damai kepada kedua anaknya.
“Saya mengajaknya ke pesantren (kebetulan saya dekat dengan Pak Kyai, Prof. DR. Achmad Mubarok –Wakil Ketua Umum Partai Demokrat- dan juga Ketua Umum Pondok Pesantren se-Indonesia yang mempunyai Pondok Pesantren di sekitar Jabotabek) supaya bisa bergaul dengan sesama anak bangsa dan berbagi dengan mereka. Kehidupan bangsa ini harus dimulai dari hal-hal kecil seperti itu,” tuturnya. Leo juga mengkritik pelajaran agama di sekolah, yang harus memisahkan anak-anak beragama lain ketika pelajaran sedang berlangsung. “Secara tidak sadar, kita menitipkan permusuhan sejak kecil,” imbuhnya.
Dunia Inovatif
Ir. Leo Nababan dilahirkan pada 30 Oktober 1962 di Sei Rampah, sebuah desa di pedalaman Sumatera Utara. Ia berasal dari keluarga yang sangat bersahaja, marginal dan golongan bawah. Sang ayah, H. Nababan adalah seorang guru jemaah gereja sementara ibunya, L. Simanjuntak (almh) adalah seorang guru SD. Kedua orang tuanya mendidik Leo dengan disiplin keras dalam segala hal menyangkut kehidupannya.
“Tetapi saya tidak pernah menyesali dilahirkan dari keluarga biasa-biasa saja. Saya terus bersyukur karena Tuhan Yesus Maha Besar dan selalu mengandalkan-Nya dalam hidup saya. Dari perjalanan hidup yang sedemikian itu membuat saya sangat concern dalam kemanusiaan, memperjuangkan kaum marginal, kelas bawah dari mana saya berasal,” tegasnya.
Kaum marginal, lanjutnya, harus dituntun dan diberdayakan dengan memberikan dan membuka lowongan pekerjaan seluas-luasnya. Begitu juga dengan memberikan modal agar mereka bisa membuka usaha dan mampu membangun kemandirian. Untuk itu, ia sangat mendukung program pemerintah dibawah koordinasi Menko Kesra seperti penyaluran kredit melalui KUR, program PNPM dan bantuan beasiswa bagi anak miskin berprestasi. “Pendidikan merupakan salah satu terobosan untuk mengubah orang-orang yang terpinggirkan,” tandasnya.
Di sisi lain, menurut Leo, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar apabila mampu mengelola SDM dan sumber daya alam dengan baik. Karena seiring dengan kemajuan teknologi di era globalisasi, tantangan yang dihadapi bangsa ini ke depan semakin berat. Mendidik SDM handal dan hebat tidak cukup untuk menghadapinya. Apalagi CFTA (China Free Trade Area) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang tahun ini mulai berlaku membuat persaingan semakin ketat. Tidak hanya produk dari China dan negara-negara ASEAN yang bebas dipasarkan, tetapi juga pasar tenaga kerja terbuka dan bebas beroperasi di Indonesia.
“Makanya saya mengajak bangsa Indonesia untuk kreatif, karena tantangan ke depan bukan lagi SDM yang hebat. Tetapi SDM inovatif dan kreatif yang akan menjadi andalan bangsa ini ke depan. Kita tidak bisa menutup mata, adanya kemungkinan bahwa negara kita hanya sekadar menjadi pasar dunia luar. Saya minta dengan sangat untuk memacu generasi muda agar berkepribadian dan berjati diri, tetapi juga memiliki inovasi dan kreativitas, agar diakui bangsa lain,” tegas pria 48 tahun yang sudah mengunjungi 36 negara ini.
Leo berharap, bangsa Indonesia tidak bersedih hati dan meratapi kondisinya yang terpuruk sekarang ini. Indonesia adalah negara besar yang “hanya” memerlukan pengelolaan yang benar. Seluruh elemen bangsa harus menatap masa depan yang cemerlang dan melupakan kepahitan masa lalu. Jangan pernah menyesal telah menjadi bangsa Indonesia dan harus bangga karenanya. Kuncinya, harus menggembleng generasi muda menjadi generasi kreatif dan inovatif di era globalisasi ini.
“Saya tegaskan sekali lagi, bangsa ini harus menatap masa depan cemerlang. Dengan catatan bahwa nasionalisme harus terus, jangan menyesali kita ini orang Indonesia dan jangan merendahkan bangsa sendiri. Di rumah saya pasang foto besar saat berkunjung ke Eropa, sepatu saya disemir oleh orang bule. Ini merupakan rangsangan bagi bangsa bahwa jangan menganggap orang bule segalanya. Itu mental bangsa terjajah, toh kenyataannya, sepatu orang Melayu bisa disemir oleh bule,” tegasnya.
Tiga C
Perjalanan panjang Ir. Leo Nababan sebagai anak kampung termarjinalkan yang berhasil menaklukkan berbagai rintangan pantas dijadikan teladan. Sederet prestasi gemilang telah diukir oleh ayah dua anak hasil pernikahannya dengan Dr. Fabiola Alvisi Latu Batara ini. Tokoh Batak insipiratif ini pada usia 35 tahun telah menjadi anggota MPR RI. Kini, tanpa pernah menjadi PNS sebelumnya saat usianya 47 tahun diangkat sebagai pejabat Eselon IB di Kantor Menko Kesra.
Meskipun begitu, alumnus Lemhanas RI KRA XXXIX tahun 2006 ini tidak pernah sombong. Justru sikap yang selalu ditampilkan adalah kerendah hatian, selalu menaruh kepedulian serta penuh kasih kepada sesama. Latar belakang sebagai orang marjinal yang pernah menjadi penggembala kerbau dan itik (parmahan) selalu terbawa.
Pria cerdas yang sejak SD hingga SMA selalu menjadi juara kelas ini, diterima di Institute Pertanian Bogor (IPB) tanpa tes tetapi menyelesaikan studi S1 di Universitas Diponegoro, Semarang. Ia adalah peserta terbaik pertama Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas) Pemuda Tingkat Nasional (1994), terbaik pertama International Standard Learning System (Effective Communications and Interpersonal Relation Skill, 1997), 10 besar terbaik Penataran P4 Pemuda Tingkat Nasional (1995) dan mendapat penghargaan KRA – XXXIX Lemhanas RI (Republik Indonesia) tahun 2006.
“Ketika masuk Lemhanas, terjadi pemikiran-pemikiran yang komprehensif integral tanpa memandang suku, agama dan lain-lain. Itu yang selalu membuat dalam menjalankan hidup saya selalu memberikan hal-hal yang the best bagi bangsa Indonesia. Apapun yang terbaik bagi bangsa ini harus kita berikan dengan setulus hati. Mindset berpikir kita pun harus diubah dan sebagai nasionalis tulen, saya harus berpikir pada kepentingan bangsa,” ujarnya.
Aktivitas berorganisasi dijalani Leo Nababan sejak usia belia. Di Bogor, ia masuk senat dan menjadi salah satu pendiri Gerakan Mahasiswa Kosgoro hingga sampai pada posisi Sekjen DPP Mahasiswa Kosgoro. Leo juga pernah menjabat Ketua DPP AMPI yang membawanya sebagai Wakil Sekjen DPP Partai Golongan Karya. Selain itu, Leo juga pernah bekerja di beberapa perusahaan swasta nasional, dari staf direksi, direktur humas hingga komisaris. Sedangkan, di jajaran lembaga negara, Leo pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menpora, Staf Khusus Ketua DPR RI dan sekarang Staf Khusus Menko Kesra, Agung Laksono.
“Ada tiga c yang harus dipegang dalam menjalani kehidupan. Yakni, capability, capital dan connection yang harus sinergis dalam membangun kehidupan. Kemudian tiga hal untuk mencapai sukses adalah mengandalkan Tuhan dalam hidup, bekerja kerja keras meningkatkan kapabilitas dan membangun jaringan seluas mungkin,” tegasnya.
Leo sangat bersyukur, selain capability dan capital, Tuhan juga memberkati dirinya dengan connection/jaringan yang kuat. Memanfaatkan jaringan secara positif, akan mempercepat akselerasi kesuksesan seseorang. Kemudian yang tidak kalah penting adalah intensitas dalam mempertahankan dan memelihara hubungan baik pada jaringan yang sudah terbentuk. Semua itu didapat dari aktivitas berorganisasi yang sangat intensif.
“Saya terus belajar dan lewat organisasi membuka jaringan. Saya berhubungan dengan Pak Agung Laksono itu sudah 18 tahun. Dari sejak beliau memegang jabatan sebagai Sekjen Kosgoro, sementara saya Sekjen Mahasiswa Kosgoro, hubungan tersebut terus terjalin. Dalam interaksi intensif seperti itu, terjadi inovasi berpikir, bergaul dan saya menjadi andalan beliau. Bagi saya, beliau adalah guru, bagaikan buku yang tidak pernah habis saya baca setiap hari,” ungkapnya.
Ke depan, Leo Nababan memiliki obsesi untuk membangun patung Tuhan Yesus tertinggi di dunia di Pulau Samosir. Rencananya ia juga akan membangun patung Nommensen di seberangnya. Namun, ia tidak menargetkan kapan terwujudnya impian tersebut. Ia menyerahkan sepenuhnya obsesi tersebut pada kuasa Tuhan Yang Maha Esa. “Biar Tuhan yang tentukan waktu yang tepat. Puji Tuhan karena memang saya mengandalkan Dia dalam hidup saya,” tambahnya.
Leo sangat menyesalkan pudarnya kepedulian generasi muda Batak atas budayanya sendiri. Jangankan mengikuti pesta-pesta adat, menggunakan bahasa Batak pun generasi muda sudah enggan. Ia sangat khawatir terhadap kepunahan budaya Batak akibat ketidakpedulian tersebut.
Leo Nababan mencontohkan bagaimana bangsa Jepang berhasil dalam hal ini. Setinggi apapun ilmu dan teknologi yang dikuasai, mereka tetap “kembali” menggunakan budayanya sendiri. Sementara orang-orang Batak dan bangsa Indonesia umumnya sudah unang lupa adati.
“Saya mencoba melestarikannya kepada kedua anak saya. Meskipun mereka sekolah internasional dengan bahasa pengantar bahasa Inggris dan Mandarin, sementara ibunya dari Manado, saya mengajari mereka bahasa Batak. Saya juga ajak mereka ke pesta adat Batak dan bergereja di HKBP Menteng. Kalau bukan generasi muda, bisa punah adat itu,” kata penerbit buku “Manghobasi Ulaon Adat Batak” ini.