Tag: Sebuah Kisah Perlawanan

Elnino M. Husein Mohi

Anggota DPD-RI, Gorontalo

 Sebuah Kisah Perlawanan

Terhadap Money Politics

Seantero Provinsi Gorontalo tercengang. Penghujung April 2009, ketika penghitungan suara calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mulai mendekati final. Para elit lokal tersentak. Nyaris tiada seorang pun yang percaya dengan munculnya nama Elnino M. Husein Mohi di peringkat ketiga di antara 19 tokoh besar dan konglomerat Gorontalo yang jadi calon anggota DPD-RI. Dia, secara mengejutkan, bahkan memenangkan Pemilu Legislatif tanpa sedikit pun melakukan pelanggaran peraturan Pemilu.

Elnino. Dia bukan orang kaya. Bukan pula politisi, bukan elit, bukan pejabat—bahkan bukan keluarga pejabat, bukan tokoh lokal. Pemuda bertubuh kecil berkulit gelap itu hanyalah seorang wartawan. Hanya seorang aktifis. Maka hampir tidak ada yang percaya, dengan tabungan pribadinya sebesar Rp. 2,5 juta, Elnino meraih hampir 50 ribu suara atau 9% dari total pemilih Gorontalo.

Sungguh tidak mungkin dengan dana segitu Elnino mampu menjangkau wilayah Gorontalo—yang luasnya lebih dari 12 ribu kilometer persegi—di masa kampanye. Tim Pemenangan Elnino menyadari kendala itu. Dengan usaha keras dan cara yang simpatik, mereka mengumpulkan sumbangan dari ribuan sahabat Elnino. “Dalam waktu 9 bulan, kami berhasil mengumpulkan cukup banyak, totalnya Rp. 55.545.000. Jumlah itu kami laporkan ke KPUD dan Panwaslu,” ungkap Thariq Modanggu, Ketua Tim Pemenangan Elnino.

Mungkin itu adalah ongkos politik termurah, karena bila dibagi dengan jumlah suara Elnino akan mendapatkan rata-rata sekitar Rp. 1100 per suara. Uang itu bukan dibagi-bagi ke pemilih, melainkan untuk biaya bensin dan sewa kendaraan berkeliling Gorontalo, biaya administrasi kelengkapan syarat calon, biaya iklan radio, pencetakan baliho, stiker, leaflet untuk alat kampanye, dll.

Bagi Elnino dan para sahabatnya, pada hakikatnya setiap individu tidak menginginkan praktek money politics. “Tidak satu orang pun, sejatinya, yang mau menjual suaranya. Tidak ada yang nuraninya memilih seseorang hanya karena sudah diberi sesuatu. Orang memilih seorang caleg atau calon pemimpin pasti bukan semata-mata karena uang, mesti ada alasan lain,” tutur Elnino.

Hanya saja, sekarang ini sebagian besar rakyat telah bersikap masa bodoh dan apatis terhadap “pesta demokrasi”. Padahal, triliunan rupiah uang negara/rakyat dihabiskan untuk event tersebut. Di mata sebagian besar rakyat, wakilnya di parlemen tidak memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan mereka. Yang benar-benar nyata dan bisa dinikmati rakyat hanyalah ketika mereka membagi-bagikan uang, sembako, dll.

Kenapa rakyat mau money politics, menjual suaranya? Karena menurut rakyat, semua Caleg/Cabup/Cawali/Cagub…semuanya tidak bisa dipercaya. Jadi, daripada memilih seseorang tanpa dapat apa-apa, ya sudah…pilih saja yang sudah memberi sesuatu. Toh siapa pun yang kita pilih, nasib kita begini-begini saja. Begitu pikiran sebagian besar rakyat. Sangat apatis, putus asa.

Apatisme itulah yang berusaha dikikis habis oleh Elnino dan para sahabatnya—kelompok intelektual muda Gorontalo yang terdiri dari para aktifis pemuda, mahasiswa, dosen, wartawan dan PNS. Mereka mencoba membuktikan kepada rakyat, bahwa tidak semua calon tidak bisa dipercaya, bahwa pasti ada di antara calon yang masih memiliki kecerdasan dan nurani. Pasti ada yang masih pantas untuk mengemban kepercayaan orang banyak sesuai kewenangan institusionalnya.

PERJUANGAN NILAI LOKAL

Setahun sebelum Pemilu, April 2008, Elnino bersama puluhan sahabatnya bersepakat untuk memberikan warna lain dalam Pemilu 2009, yaitu dengan melakukan gerakan pencerahan politik hingga ke desa-desa. Targetnya adalah menjadikan para opinion leaders di tingkat desa memahami nilai-nilai demokrasi berdasarkan nilai-nilai luhur Gorontalo.

Nilai-nilai luhur Gorontalo itu sendiri bermuara pada empat nilai utama ; kecerdasan, akhlak, kekeluargaan dan persahabatan. Keempat nilai inilah yang menciptakan Empat Zaman Keemasan Gorontalo—dikenal dalam sejarah daerah tersebut dengan “Ilomata Wopato”—sebelum masuknya penjajah Belanda. (Masa kepemimpinan Ilahudu 1382-1427, Matolodulakiki 1550-1580, Eyato-Popa 1673-1677 dan Botutihe 1728-1755). Empat Zaman dimana para raja/presiden dan pejabat negara Gorontalo Serikat dipilih secara demokratis dengan pertimbangan empat nilai luhur tersebut.

Jadi, seseorang menjadi raja/presiden di Gorontalo dipilih oleh rakyat karena yang bersangkutan adalah orang yang paling cerdas, akhlaknya paling bagus, rasa kekeluargaan dan persahabatannya paling tinggi. Tidak ada pertimbangan uang atau pemberian atau sogokan dalam bentuk apa pun ketika memilih penyelenggara negara! Itulah jati diri orang Gorontalo.

Sebetulnya nilai-nilai luhur tersebut sifatnya universal. Ada di semua suku. Ada di semua bangsa di dunia ini. Hanya saja, perkembangan zaman belakangan ini yang menjadikan kita di Indonesia semakin melupakan nilai-nilai lokal…yang sebetulnya universal itu, kita semakin materialistik…bahkan ketika negara-negara maju mulai meninggalkan budaya materialistik,” papar Elnino.

Dari desa ke desa, Elnino dkk membawa laptop dan LCD pinjaman. Mereka presentasi menjelaskan tentang nilai-nilai tersebut. Mereka bicara dalam tiga konteks; sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia, perkembangan nasional, dan terutama nilai-nilai lokal tersebut.

Kami jelaskan bahwa peradaban yang maju seperti Mesir, Yunani, Romawi di jaman lama, serta Amerika, Eropa, Jepang, Korea, China, India di jaman baru, semuanya memiliki budaya yang bersandar pada supremasi intelektual, supremasi ilmu pengetahuan dan bukan supremasi uang atau kekuasaan,” ujarnya.

POLITIK PENCERAHAN

Pada Juni 2008 Elnino didaulat oleh kelompoknya untuk menjadi calon anggota DPD. Non partai. Alasannya ada tiga. Pertama, sebagai tindakan konkrit dalam politik. “Elnino harus menjadi contoh calon legislatif. Dia mesti terikat dengan nilai-nilai yang dikampanyekan. Dia harus memberi teladan, bagaimana menjadi calon. Dia mesti memberi contoh sikap calon yang kalah bila dia kalah atau memberi contoh bagaimana seharusnya wakil rakyat bila dia menang,” papar Ketua Tim Pemenangan, Thariq Modanggu.

Kedua, perjuangan nilai harus ikut masuk ke semua partai politik. “Bila Elnino menjadi calon anggota DPR, maka akan sulit bagi kami untuk masuk ke semua kalangan di Gorontalo karena dibatasi secara psikologis oleh dinding parpol. Karena itu, dia kami calonkan ke DPD-RI dan slogan yang kami pakai untuk menghindari benturan dengan parpol adalah “Apa pun partainya, Elnino DPD-nya”. Itu membuatnya jadi inklusif,” tutur Thariq.

Alasan ketiga, bahwa pencalonan adalah pengabdian. “Tidak ada target kami untuk menang. Kami hanya ingin mengukur sejauh mana efektifitas gerakan pencerahan politik ini. Pencalonan Elnino itu sendiri adalah pengabdian kami. Jadi, kami bergerak tanpa beban sama sekali,” kata Thariq yang juga seorang dosen itu.

Selama 11 bulan, Elnino dkk hanya sempat mendatangi 192 dari total 585 desa yang ada di Gorontalo. Di setiap desa pun Elnino hanya berdiskusi tidak lebih dari 12 orang. “Biasanya di setiap pertemuan atau tiap desa kami hanya mengundang dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh kunci saja ; aparatur desa, guru, imam, tokoh pemuda desa. Biasanya tidak lebih dari dua belas orang saja,” kisah Elnino.

Uniknya, di setiap kesempatan presentasi, Elnino nyaris tak pernah meminta untuk dipilih. Mengapa? “Dua latar kenapa tak minta dipilih. Pertama, alasan yang terdengar klasik, yaitu nabi kita tidak menganjurkan memberi jabatan kepada yang meminta. Kedua, dalam komunikasi pun akan terasa sangat tidak elegan bila kita minta dipilih. Nggak sreg gitu…rasanya kayak pengemis jabatan,” jawab Elnino.

Luar biasa akibat politik yang diperoleh Elnino dan para sahabatnya. Mereka bukan saja memperoleh pemilih atau pendukung di desa-desa yang mereka datangi, tetapi bahkan membuat para tokoh desa secara sukarela dan militan menjadi juru kampanye mereka secara informal. Tak heran bila di antara tokoh-tokoh desa itu ada juga yang sukarela menyumbangkan bantuan logistik untuk kampanye Elnino.

Berbasis kampus serta dibantu oleh para wartawan, ribuan sahabatnya dan tokoh-tokoh desa, Elnino M. Husein Mohi membalikkan asumsi di Gorontalo bahwa politik hanya milik orang berduit. Kini semakin banyak orang-orang muda Gorontalo yang mengkader dirinya sendiri untuk menjadi pemimpin. Mereka terorganisir dengan baik dalam organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa. Mereka ingin menjadi Elnino-Elnino baru yang akan mencerdaskan masyarakatnya, bukan hanya di bidang politik, tapi juga di bidang lainnya.

IDE DI DPD

Merasa dipilih melalui jalan yang “benar”, membuat Elnino memiliki beban yang cukup berat untuk membuktikan bahwa masyarakat tidak salah pilih. Hanya saja ia menghadapi kendala besar terkait minimnya wewenang DPD-RI, yakni hanya sekedar mengusulkan ke DPR-RI. Agar tidak mengecewakan konstituen, ia melaporkan seluruh usulannya di DPD-RI ke daerah pemilihannya.

Salah satu konsep penting yang sedang diperjuangkan Elnino adalah mengenai sistem otonomi daerah. “Semestinya struktur pemerintahan daerah di seluruh Indonesia bisa meniru struktur Pemda DKI Jakarta. Lebih produktif untuk membangun bangsa,” tutur Elnino.

Seperti kita ketahui, di Jakarta, hanya gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat. Bupati/walikota ditunjuk oleh gubernur. Hanya ada DPRD Provinsi, tidak ada DPRD Kabupaten/Kota. Artinya, 15 juta penduduk Jakarta ditangani oleh hanya 102 pejabat politik, yaitu gubernur, wakil gubernur dan 100 anggota DPRD Provinsi. “Bandingkan dengan Gorontalo yang penduduknya hanya 1 juta jiwa, ditangani oleh tujuh kepala daerah, tujuh wakil kepala daerah dan 215 anggota DPRD Prov/Kab/Kota. Sangat tidak efisien,” papar Elnino yang pernah menguraikan idenya tersebut beserta berbagai alasannya dalam artikel di Koran Jakarta, detik.com, dll.

Elnino juga melontarkan ide untuk memindahkan ibukota negara ke luar Pulau Jawa. “Jakarta sudah tidak representatif lagi untuk kelancaran urusan pemerintahan, karna kota ini sudah terlanjur menjadi pusat segala-galanya; ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, pemerintahan, dll. Jadi, ada baiknya urusan pemerintahan negara ini dipusatkan di tempat lain. Kalau perlu, ke luar Pulau Jawa untuk membuktikan bahwa bangsa ini benar-benar satu kesatuan, juga bahwa orang Jawa—walaupun mayoritas—tetap rela ibukota pindah ke pulau lain,” paparnya.

Sedangkan mengenai peraturan Pilkada, Elnino mengusulkan agar calon bertahan (incumbent) diharuskan cuti besar di luar tanggungan negara selama 3 bulan sebelum hari pencoblosan. Ini untuk menghindari penggunaan asset maupun aparatur pemerintah daerah dalam kampanye.

Seperti para senator lainnya, Elnino merasa harus berusaha melakukan perubahan konstitusi. Salah satu alasannya adalah kewenangan DPD-RI yang belum seperti idealnya. “Sekarang ini DPD-RI seperti majelis rendah, hanya mengusulkan ke DPR. Mestinya DPD diberi kewenangan yang sama dengan DPR, menetapkan dan mengesahkan undang-undang, walaupun hanya untuk bidang-bidang tertentu,” ungkapnya.

Ide-ide seperti di atas tentu akan mendapatkan tantangan yang berat. Banyak kepentingan yang harus dilanggar bila ide-ide tersebut menjadi kenyataan. “Tapi bagi saya, soal berhasil atau tidak, tidak masalah. Yang penting konstituen tahu bahwa saya serius berpikir dan bekerja untuk bangsa ini. Toh saya tetap meyakini, ide-ide itu akan menjadi nyata, walaupun mungkin harus menunggu 10-15 tahun lagi,” tuturnya.

SENATOR TINGGAL DI ASRAMA MAHASISWA

Lain lagi beban moral yang wajib ditanggung Elnino. Terpilih secara murni, bahkan tak mengeluarkan ongkos yang besar, Elnino menciptakan sistem untuk mengelola seluruh uang yang diperoleh dari DPD agar dapat bermanfaat bagi konstituennya rakyat Gorontalo. “Tidak elok sebetulnya bila digembar-gemborkan soal ini. Tetapi secara garis besar, seluruh pemasukan dari DPD masuk ke Tim-9, dulu adalah Tim Pemenangan Elnino, lalu Tim-9 inilah yang memanfaatkan dana tersebut untuk menggaji Elnino, menyusun program kerakyatan dan melaksanakannya,” beber Thariq Modanggu yang saat ini menjadi Ketua Tim-9 tersebut.

Sejak dilantik 1 Oktober 2009, hingga saat buku ini diterbitkan, Elnino masih menginap di Asrama Mahasiswa Gorontalo, Jl. Salemba Tengah no. 29. Sebetulnya dia sendiri risih dengan kondisi itu. “Soal tinggal di asrama sih saya sudah biasa. Sejak SMA tinggal di asrama, hingga dua tahun lalu juga tinggal di asrama ini waktu kuliah S2 di UI. Tetapi kadang saya risih karena ada saja orang yang menganggap saya sok suci, sok miskin, hehe…,” ungkap pria murah senyum itu.

DARI TUKANG BECAK, INGIN JADI DUBES

Elnino adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Bapaknya, Mustapa Mohi adalah seorang guru, sedangkan ibunya, Hadjari Ismail Lebie adalah seorang perawat. Kehidupan masa kecilnya cukup menderita karena sang ayah meninggal saat kelas tiga SMP dan disusul ibunda ketika SMA. Untungnya, Elnino dianugerahi Tuhan kecerdasan otak luar biasa yang membuatnya mampu melanjutkan pendidikan berkat beasiswa.

Dari tujuh saudara yang lain, saya paling tinggi sekolahnya. Sejak SMP, SMA Don Bosco Pondok Indah dan SMA Lab School di Jakarta, sampai kuliah di STT Telkom Bandung. Semua biaya sekolah saya dapatkan dari beasiswa yang berasal dari orang-orang Gorontalo yang sukses di Jakarta,” kisahnya.

Di samping beasiswa ia juga harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi di perantauan ia hidup sebatang kara, sehingga harus berjuang sendirian. Saat SMA di Jakarta, Elnino sempat mengamen, menjadi kenek bus kota dan tukang antar koran.

Perjuangan serupa dijalaninya saat menempuh pendidikan tinggi di STT Telkom Bandung, yang juga dibiayai “beasiswa”. “Saya sempat menjadi penarik becak di kampus, karena beasiswa hanya cukup untuk biaya kuliah. STT kan mahal, sekitar Rp 750 ribu per semester sedangkan biaya hidup saya Rp 50 ribu sendiri. Saya berhenti menarik becak setelah semester III karena malu sama adik kelas. Becak saya jual dan mulai usaha sablon,” jelasnya.

Untuk membiayai kuliah, Elnino mengajukan “proposal” kepada orang-orang kaya Gorontalo di Jakarta. Dari merekalah biaya kuliah yang lumayan besar tersebut didapatnya hingga menyelesaikan pendidikan. Memasuki semester VIII, Elnino sudah mulai “kaya” karena memiliki usaha di bidang sablon dan wartel. Sebagai mahasiswa perantauan dengan biaya sendiri, ia mampu membeli motor, TV dan buku-buku referensi.

Beroleh gelar Sarjana Teknik dari STT Telkom (1998), Elnino kembali ke kampung halaman dan bekerja sebagai wartawan. Meskipun mendapat tentangan dari saudara-saudaranya yang menghendakinya menjadi PNS, ia jalan terus. Ia beranggapan profesi wartawan adalah paling terhormat di antara pekerjaan lain.

Tersinggung saya ketika dibilang sekolah tinggi ‘cuma’ menjadi wartawan. Makanya ketika kakak meminta ijazah saya didaftarkan jadi PNS, tidak saya kasih. Bagi saya, wartawan adalah profesi yang sangat terhormat,” kata Redaktur Eksekutif Radar Gorontalo ini.

Ditanya tentang cita-citanya kedepan, Elnino hanya menjawa pendek sambil tersenyum simpul, “Duta Besar.” Dubes di mana maunya? “Di Spanyol, hehehe. Anak saya akan bisa berbahasa Inggris, Spanyol, Indonesia dan Gorontalo. Saya sendiri bisa menonton pertandingan Real Madrid vs Barcelona setiap hari, gratis pula,” katanya sembari bercanda.

KEINGINAN LUHUR

Menurut Elnino, permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia bersumber dari tidak diamalkannya UUD 1945 secara konsekwen. Di mana dalam Pembukaan UUD’45 termaktub kalimat “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Tanpa keinginan luhur, maka faktor Tuhan menjadi nihil. “Tanpa niatan luhur, korupsi di mana-mana, bahkan terjadi ‘penjajahan’ dari pihak luar negeri. Pelaksanaan sistem otonomi, sistem ketatanegaraan dan undang-undang, semua kacau balau. Dari pusat hingga daerah,” tegasnya.

Dia juga mengimbau, agar orang-orang cerdas, para cerdik-pandai, yang mengkampanyekan moralitas jangan hanya diam di kampus. Mereka tidak boleh hanya berteriak-teriak menyoroti kesalahan sistem tanpa harus terlibat di dalam sistem.

Jangan hanya menikmati status sebagai intelektual, independen dan hanya menjadi pengamat. Mari rame-rame masuk partai, menjadi anggota DPR, DPRD, atau sekalian mencalonkan diri jadi kepala daerah. Minimal seperti saya, jadi calon anggota DPD. Jangan sampai karena orang baik tidak berminat mengambil alih kekuasaan, maka kekuasaan jatuh ke tangan orang jahat. Tapi… mungkin juga mereka takut kalah dalam pencalonan, padahal pencalonan itu sendiri adalah pengabdian,” ungkapnya.

Elnino kembali mengingatkan bahwa semua peradaban maju karena supremasi ilmu pengetahuan di segala bidang, termasuk dalam politik. Uang hanyalah akibat dari diterapkannya ilmu pengetahuan pada sebuah negara. Dengan mengedepankan supremasi ilmu pengetahuan, bangsa Indonesia tidak akan lagi menjadi bangsa kuli. Bahkan bukan tidak mungkin melebihi Amerika dan negara adidaya lainnya, mengingat besarnya potensi yang dimiliki bangsa ini.

BIODATA

Elnino M. Husein Mohi

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Komite I : Bidang Otonomi Daerah, Hubungan Pusat-Daerah, Pemekaran Daerah, Politik Lokal – Pilkada.

TTL : Gorontalo, 30 Oktober 1974

Alamat : Jl. Barito No. 38, BulotadaA Timur, Kota Utara, Kota Gorontalo. Website : www.elnino.web.id.

Orang tua : Mustapa Mohi (alm), Hadjari Ismail Lebie (almh)

Isteri : Umin Kango, S.Pd

Anak : Nun Farida Aryani (6 thn), Alif Lam Mohi (3 thn), Elnino Mustafa Hussein Mohi (1 thn)

PENDIDIKAN:

  1. Leadership and Language Training”, SILC, University of Arkansas at Fayetteville, USA (2007)

  2. Universitas Indonesia, Program Pascasarjana Manajemen Komunikasi Politik (2007).

  3. STT Telkom, Bandung. Jurusan Teknik dan Manajemen Industri (1998)

  4. SMU Negeri 81 Labschool, Jakarta Timur (1993)

  5. SMP Negeri 6 Gorontalo (1990)

  6. SDN II Ayula, Tapa, Gorontalo (1987)

ORGANISASI:

  1. Ketua Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (Masika-ICMI) Wilayah Gorontalo.

  2. Perwakilan Yayasan Suharso Monoarfa (Sumo Foundation) untuk Provinsi Gorontalo.

  3. Sekretaris The Presnas Centre. (Himpunan para mantan pejuang pembentukan Provinsi Gorontalo)

  4. Wakil Ketua Aliansi Pengawal Perjuangan Provinsi Gorontalo (AP3G).

  5. Anggota Kehormatan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gorontalo.

  6. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Gorontalo (2003-2005)

PEKERJAAN

  1. Redaktur Eksekutif Harian Tribun Gorontalo (sekarang Radar Gorontalo).

  2. Redaktur Harian Gorontalo Post (2001-2002)

  3. Pemimpin Redaksi “Habari Lo Lipu” (media sosialisasi perjuangan pembentukan provinsi Gorontalo, 1999-2001)

BUKU KARYA TULIS

  • Media Politik vs. Politik Media. (draft, diambil dari intisari thesis S-2)

  • Abad Besar Gorontalo. 2003. Presnas Publishing. Gorontalo. (Ditulis bersama Alim S. Niode)

  • Walikota Medi. 2002. Presnas Publishing. Gorontalo.

  • Juga menjadi kontributor, penyunting atau editor dalam 9 buku lainnya, yakni ; Moodelo (Medi Botutihe, 2006), Mahligai Bertabur Cinta (Zulhelmi Alting, 2005), Menggagas Masa Depan Gorontalo (Funco Tanipu dkk, 2004), Gorontalo Serambi Madinah (Medi Botutihe, 2003), Nani Wartabone (Tim Diknas, 2003), Negarawan Dari Desa (La Ode Aman, 2003), Anda dan Pemilu 2004 (KPU Provinsi Gorontalo, 2003), Sang Deklarator (Hardi Nurdin, 2002), Paradigma Baru Industri Pangan Indonesia (Thamrin Djafar, 1999)

PENGHARGAAN DAN BEASISWA

  • Piagam “Arkansas Ambassador” (Duta Arkansas) dari Gubernur Arkansas, Amerika Serikat (2007)

  • Piagam “Pejuang Pembentukan Provinsi” dari Gubernur Gorontalo (2001)

  • Nominator “Man of The Year—2003” versi Harian Gorontalo Post

  • International Fellowship Program—Ford Foundation, Amerika Serikat (2005-2007)

  • Beasiswa Yayasan 23 Januari ’42 (1993-1998)

  • Beasiswa “Program Habibie” dari Pemda Kodya Gorontalo (1990-1993)